Konflik Natuna, Bukti Negara Tak Berdaya

Oleh : Layli Hawa 
(Aktivis Muslimah)

Konflik Indonesia-Cina di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Kepulauan Natuna yang belakangan ramai diberitakan sesungghunya bukan hal baru. Peristiwa serupa pernah terjadi pada Maret 2016, usai delapan nelayan Cina ditangkap petugas Kapal Pengawas Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Tanggapan yang dilontarkan pemerintah Cina pun serupa: merasa tak bersalah karena menganggap perairan Natuna adalah lokasi penangkapan ikan tradisional. Lahan itu diklaim sebagai bagian dari kawasan di Laut Cina Selatan berbentuk U—dikenal dengan Sembilan Garis Putus (Nine-Dash Line)—yang dideklarasikan Cina pada 1947.
Kapal-kapal nelayan Cina nampak tak gentar keluar-masuk meski klaim Indonesia atas ZEE Kepulauan Natuna didasarkan pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Setidaknya ada tiga potensi yang diyakini menarik perhatian Cina sehingga konvensi UNCLOS tak kunjung digubris. Salah satunya terlihat dari potensi sumber daya perikanan di wilayah itu.
Kekayaan sumber laut itu terkonfirmasi dalam Putusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 47 Tahun 2016. KKP mencatat laut Natuna dipenuhi berbagai jenis ikan, mulai dari ikan pelagis kecil, ikan Demersal, Ikan Karang, Udang Penaeid, lobster, kepiting, rajingan, hingga cumi-cumi.

Potensi kedua, Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok East Natuna mempunyai kandungan volume gas di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangan sebesar 46 tcf.

Potensi ketiga, Selain kaya secara perikanan dan migas, laut Natuna juga tercatat memiliki kekayaan situs sejarah. Dalam jurnal (Pdf) yang ditulis oleh Shinatria Adhityatama dan Priyatno Hadi Sulistyarto dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Natuna disebut memiliki situs karang antik.

Banyak peninggalan keramik utuh yang bisa diambil bahkan diperdagangkan dari dasar laut tersebut. Masa peninggalannya pun beragam mulai dari 960-1279 Masehi masa Dinasti Song, abad ke-17 masa Dinasti Qing. Sebagian besar keramik ini adalah barang niaga dari luar Nusantara atau barang impor masa silam.

Sungguh tak disangka, kekayaan alam laut Indonesia yang melimpah ruah membentang sepanjang lautan dibiarkan begitu saja dieksploitasi asing. Bahkan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersikap santai dan tidak tegas menanggapi soal ini. 

"....... Kita selesaikan dengan baik ya, bagaimanapun China negara sahabat," kata Prabowo kepada wartawan seusai bertemu Luhut seperti diberitakan Republika Minggu (5/1/2020)."

Tentunya kita sangat mempertanyakan sikap kegarangan Prabowo yang biasa melekat dalam dirinya. Namun faktor investasi dan piutang menjadikan negara kehilangan kekuatan untuk menindaklanjuti konflik laut Natuna.

Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) periode terbaru, yakni per September 2019 menurut negara pemberi kredit, utang Indonesia yang berasal dari China tercatat sebesar 17,75 miliar dollar AS atau setara Rp 274 triliun (kurs Rp 13.940).

Hakikatnya, angka yang tidak sebanding dengan kekayaan sumber alam Indonesia yang ada. Negara harusnya mampu menjaga dan mengelola SDA agar tidak dieksploitasi bebas oleh asing dan aseng. Sebagaimana yang kita tahu bahwa, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan dan membiarkan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut  bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor.

Oleh karena itu dalam memahami konflik laut Natuna, hendaknya berpedoman pada sikap tegas Rasulullah SAW dan menjadikan beliau sebagai Hakim pemutus suatu perkara.

Allah SWT telah menjadikan ketaatan terhadap apa saja yang diputuskan oleh Rasulullah saw. sebagai bukti keimanan seseorang:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Tuhanmu (wahai Muhammad), pada hakikatnya mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau Muhammad sebagai hakim dalam semua perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa berat di hati mereka terhadap apa yang telah engkau putuskan, dan mereka menerima keputusan itu dengan ketundukan sepenuhnya (TQS an-Nisa [4]: 65).

Dengan demikian, untuk mengakhiri kisruh laut Natuna sebagaimana yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.
Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post