"Diplomasi Lunak" Cukupkah Tuk Bela Uyghur?

Oleh : Dwi Suryati Ningsih, S.H

Kasus kamp deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah China kepada muslim Uyghur masih menjadi perbincangan masyarakat Indonesia dan Internasional. Kasus tersebut berembus kencang setelah sebuah laporan dari Wall Street Journal menyebut pemerintah China merayu ormas Islam di Indonesia agar bersikap lunak terhadap kasus Uyghur. Tidak sedikit yang mengutuk dari tindakan pemerintah China itu terhadap muslim Uyghur. Mengenai hal ini, pemerintah beralibi sudah melakukan diplomasi lunak mengatasi krisis Uyghur ini. 

Menkopolhukam, Mhfud MD mengatakan pemerintah sudah mengambil langkah-langkah dalam menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM kepada muslim Uyghur, China. Ia mengatakan Kemenlu sudah merespon isu tersebut. Menurtnya, pemerintah perlu mencari solusi dan tidak diam dalam masalah ini. Namun ia juga meminta agar publik tidak hanya melihat Uyghur semata, karena umat Islam cukup banyak di China. Ia mencontohkan Beijing juga ada umat Islam, tetapi tetap aman. Dalam insiden terbaru, beredar dokumen yang mengungkapkan kamp penahanan massa etnis Uyghur yang dilansir New York Times. (Tirto, 19/12/2019)

Menkopolhukam, Mahfud MD mengklaim telah berbicara kepada Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian mengenai etnis Uyghur di Xinjiang , China. Ia mengatakan bahwa Xiao menyebut etnis Uyghur sparatis karena memiliki agenda di luar kerangka negara China. Lebih lanjut, Mahfud meminta semua pihak untuk mempercayakan kepada Menteri Luar Negeri, Retno L. Marsudi untuk mengatasi polemik etnis Uyghur. Sejauh ini, ia mengatakan Kemenlu mengedepankan diplomasi lunak terkait hal tersebut. Xiao Qian menjelaskan bahwa pemberitaan mengenai tindakan represif pemerintah China terhadap muslim Uyghur tidak benar. 

Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin meminta agar pemerintah Indonesia mendorong agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk Tim Pencari Fakta Internasional untuk mengungkap kasus ini. Hal tersebut agar terbukti apakah betul ada pelanggaran HAM yang terjadi di kamp deradikalisasi di sana. Meski pemerintah China menyangkal tidak ada pelanggaran HAM, namun Muhammadiyah serta media asing memberitakan ada tindakan melanggar kemanusiaan. Ia juga mengingatkan, seyogyanya Indonesia tidak bias terhadap negara apapun ketika berbicara mengenai pelanggaran HAM, apalagi karena takut akan negara tertentu. (CNN, 20/12/2019)

Istilah diplomasi lunak dan tidak mencampuri urusan dalam negara lain adalah dua racun yang dapat membunuh ukhuwah Islamiyah seorang muslim. Muslim adalah layaknya satu tubuh, apabila terdapat tubuh yang sakit, maka akan terasakan sakit pula bagian tubuh yang lain. hakikatnya, umat muslim adalah bersaudara dan saling menjaga ukhuwah Islamiyah, tanpa melihat asal negara. 

Dari pernyataan di atas, pemerintah juga tidak segan menjadi juru bicara rezim China untuk menutupi kekejian penyiksaan yang dilakukan pemerintah China terhadap muslim Uyghur. Padalah kasus Uyghur adalah kasus yang harus segera ditindak untuk menyelamatkan para korban. Maka sudah seharusnya pemerintah mencari fakta yang sebenar-benarnya dan bertindak tegas, tidak lunak kepada pemerintah China. Indonesia sebagai muslim terbesar di dunia sudah seharusnya mengecam kekejian ini dan mengambil tindakan yang serius. 

Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan ukhuwah Islamiyah adalah kekuatan umat yang ditakuti oleh kafir, musuh Islam. Terpisah-pisahnya umat Islam saat ini adalah seperti ayam yang kehilangan induknya. Orang Islam terpisah-pisah menjadi nation state yang menyebabkan hilangnya sesuatu yang menaunginya. Adapun yang hanya dapat menaungi umat Islam dari segala ancaman kafir musuh Islam hanyalah tegaknya syariat Islam yang kaffah. Syariat Islam kaffah yang dapat menyatukan kekuatan umat dan menyelamatkan Uyghur dari tindakan keji semua musuh Islam. Maka, sudah sampai manakah kita berjuang menegakkan syariat Islam kaffah, berkontribusi menyelamatkan saudara seiman kita, atau kita berada di barisan penentang?
Wallahua’lam...

Post a Comment

Previous Post Next Post