Daulat Asing Dalam Pembangunan Ibu Kota Baru

Oleh: Anggun Permatasari


Rencana merealisasikan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan sudah ramai digaungkan. Namun, spekulasi yang bergulir di masyarakat adalah kesan bahwa langkah yang diambil pemerintah saat ini untuk memulai proyek pembangunan di sana awal tahun 2020 kurang tepat.

Pasalnya, biaya pemindahan ibu kota akan membebani anggaran yang tidak sedikit. Sedangkan masih banyak masalah krusial seperti kelaparan yang merata di seluruh pelosok Indonesia, banjir akibat pembangunan infrastruktur yang "jor-jiran" dan tingginya angka pengangguran juga beban utang yang bertambah. 

Anggaran untuk pemindahan ibu kota baru kurang lebih sekitar Rp 466 triliun. Anggaran ini akan terbagi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), swasta dan Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). (CNBCIndonesia.com)

Oleh karena itu, publik merasa was-was kalau nantinya dana yang didapat dari KPBU menambah jumlah utang berkedok investasi.

Secara ekonomi, bedol desa aparatur pemerintah ke Kalimantan akan berpengaruh pada terjadinya inflasi. Bertambahnya penduduk yang tinggal di sana tanpa didukung ketersediaan kebutuhannya pastinya akan membuat harga barang disana menjadi tinggi.

Banyaknya respon negatif dari masyarakat, pakar politik, ekonomi dan pemerhati sosial kemasyarakatan tidak membuat pemerintah pusat bergeming. Melalui Deputi Bidang Pengembangan Regional Badan Perencana Pembangunan Nasional Rudy Suprihadi mengungkapkan bahwa Peraturan Presiden Pembentukan Badan Otoritas Ibu Kota Baru direncanakan diteken oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada akhir Januari 2020.

Langkah Presiden Joko Widodo memilih putra mahkota Abu Dhabi, Syekh Mohammed bin Zayed al-Nahyan; mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair; dan CEO Soft Bank Masayoshi Son sebagai ketua dan anggota dewan pengarah pembangunan ibu kota baru terkesan terburu-buru dan serampangan. Tidak jelas benar bagaimana proses seleksinya dan tidak nyata betul apa manfaatnya. (Tempo.co.id)

Proses pengambilan keputusan siapa pihak-pihak yang digandeng pada proyek ini juga super kilat, pengumuman nama tiga tokoh dari luar negeri itupun terasa mendadak.

Dengan menggandeng orang-orang yang dianggap Jokowi mumpuni dalam proyek pembangunan ibu kota baru, pemerintah memberikan kesan ingin dipandang "wah" di mata dunia. Padahal, banyak anak negeri ini yang memiliki kemampuan tak kalah hebat dari orang asing. 

Tetapi, publik justru menilai peran besar asing dalam membuat masterplan ibu kota baru berarti memperbesar intervensi mereka di negeri ini. Masyarakat sangat mengkhawatirkan masa depan kedaulatan dan nasib negeri agraris ini jika segala pengelolaan sumber daya alam dan pembangunannya selalu melibatkan asing dan aseng. 

Pada forum internasional bertajuk Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) yang digelar di Abu Dhabi National Exhibition Center (ADNEC), Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) pada Senin (13/1). Presiden Joko widodo mengundang dunia untuk membawa teknologi terbaik, inovasi terbaik, dan kearifan terbaik bagi ibu kota baru Indonesia. (CnnIndonesia.com) 

Terbayang sudah bagaimana para investor asing kian menancapkan kuku-kukunya agar bebas menikmati surga Indonesia. Tentunya, apabila benar segala teknologi dan inovasi terbaik didatangkan dari luar maka, akan semakin mematikan produksi dalam negeri dan memandulkan karya anak bangsa yang sebenarnya berdaya saing.

Masuknya kearifan dari luar akan semakin mencengkram bangsa Indonesia dengan budaya kapitalis liberal dan gaya hidup hedonisme. Dengan kata lain, pemerintah membuka pintu lebar-lebar invasi budaya asing masuk ke negeri para wali ini. 

Wilayah Samboja dan Sepaku di Panajam Paser Utara sebagai tempat dimana ibu kota akan dibangun memiliki sekitar 3 kali luas DKI Jakarta. Dan sebagian besar wilayahnya masih berupa alas/hutan lindung dengan segala keanekaragaman hayatinya. Jika memang pembangunan akan dilakukan di sana, itu berarti Indonesia harus rela membabat hutan seluas 3 kali 661,5km².

Pendapat bahwa Kalimantan adalah wilayah bukan rawan banjir akan terpatahkan apabila hutan sebagai daerah resapan air dibabat habis untuk alasan pembangunan.

Bagaimana nasib bangsa Indonesia? Bagaimana nasib penduduk dunia? Kita tahu Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia dalam memasok oksigen dan menjaga kestabilan kondisi atmosfer bumi. Bukankah ini sangat tidak adil? 

Tentunya proyek pemindahan ibu kota ini sangat menampakan wajah buruk sistem kapitalis liberal yang selama hampir satu abad bercokol di Indonesia. 

Sangat berbeda dengan sistem Islam (khilafah) yang anti penjajahan. Islam tidak anti asing, tapi pantang bergantung pada asing. Negara (daulah) sangat menjaga kedaulatan dengan tidak bermanis muka dan tunduk di hadapan negara kafir muhariban fi'lan.

Dalam menjalin hubungan dengan asing, negara sangat tegas dan waspada terhadap pengaruhnya bagi kedaulatan negara secara jangka panjang dari kerja sama tersebut. 

Secara teknologi negara hanya memperkerjakan orang yang memang memiliki kompetensi untuk transfer ilmu kepada umat. Bukan seperti sekarang yang memberikan hak kepada WNA (Warga Negara Asing) berkarya. Apalagi seperti pada proyek pembangunan ibu kota baru yang justru mengundang asing bebas berbisnis dan mengambil keuntungan dari negeri.

Keseimbangan ekosistem akan senantiasa dijaga karena aturan Islam melarang manusia zalim terhadap lingkungan. Tapi sejatinya, keberkahan manusia yang diberikan Allah swt. bukan karena dimana dia tinggal. Namun, sejauh mana manusia tunduk dan memenuhi kewajiban yang diberikan kepadanya.

Di Jakarta atau Kalimantan, apabila sistem hidup yang digunakan adalah aturan yang menabrak syariatNya, maka tunggulah bencana datang bertubi-tubi.

Allah swt. berfirman, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rûm [30]: 41)
Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post