Damba Banjir Tak Berulang

Oleh: Ummu Syaqieb

Sepekan lebih pemberitaan banjir yang melanda berbagai daerah, mewarnai headline media massa. Seperti yang terjadi di Jakarta, sejak malam pergantian tahun 2020 justru diserang banjir yang mengakibatkan 15% wilayahnya lumpuh dan ribuan warga mengungsi. Meski kini kondisinya relatif terkendali, tetap saja menyisakan masalah yang tidak sedikit. Rumah warga yang porak-poranda, harta benda yang hanyut dan berbagai kerugian materiil lainnya membutuhkan keseriusan pemerintah daerah untuk diselesaikan.

Tak hanya di Jakarta, banjir bandang dan longsor juga menimpa wilayah Lebak-Banten dan Bogor-Jawa Barat. Berdasarkan data sementara yang dilaporkan Bupati Lebak, banjir bandang mengakibatkan setidaknya tercatat 1.310 rumah rusak berat, hanyut 1.226, 520 rumah terendam dengan jumlah pengungsi mencapai 4.368 KK yang berasal dari 29 desa di enam kecamatan.

Banjir seolah menjadi masalah laten bagi beberapa daerah. Sebagai contoh di Jakarta, ibu kota negara, di beberapa titik wilayah harus menghadapi persoalan banjir di tiap tahunnya. Tak terhitung sudah kerugian yang dirasakan masyarakat terdampak di sana. Tentu saja menyengsarakan, di tengah ketidakberdayaan. Satu pertanyaan yang muncul, sampai kapan musibah tahunan ini harus berulang?
Berbicara tentang banjir, terdapat beberapa hal yang disebut-sebut menjadi penyebabnya. Diantaranya: perilaku buruk masyarakat yang membuang sampah sembarangan, faktor alam karena curah hujan ekstrem, menyempitnya lahan terbuka hijau yang sejatinya difungsikan kawasan serapan air, dan normalisasi sungai yang belum optimal.

Beberapa pengamat dan pakar memberikan analisa terkait banjir parah yang menerjang wilayah Jakarta dan sekitarnya. Salah satunya pakar Hidrologi Universitas Padjadjaran Chay Asdak yang mengatakan banjir di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) di pekan awal Januari 2020 kemarin terjadi karena sejumlah faktor. Faktor tersebut adalah curah hujan yang tinggi, dan masifnya alih fungsi lahan di kawasan Jabodetabek (prfmnews.com, 02/01/2020).

Penanganan banjir harus menyeluruh dengan menyelesaikan setiap hal yang dianggap sebagai penyebab. Jika kita lihat, penyebab banjir terbagi menjadi dua kategori: teknis dan non teknis. Perilaku buruk membuang sampah sembarangan, normalisasi sungai, termasuk penyebab teknis yang dapat diselesaikan secara teknis pula. Faktor alam semisal curah hujan ekstrem dapat pula diselesaikan secara teknis dengan regulasi penanganan yang terencana. Sedangkan penyebab bersifat non teknis (sistemik) seperti massifnya alih fungsi lahan hanya bisa diatasi dengan langkah sistemik pula. Terlebih lagi, berdasar analisa, hal tersebut menjadi penyebab utama banjir. 

Tak bisa dipungkiri, fakta di lapangan menunjukkan alih fungsi lahan sangat massif terjadi di Jakarta. Lahan konservasi yang semestinya menjadi kawasan serapan air berubah fungsi menjadi gedung-gedung perkantoran, perumahan, mall dan bangunan lainnya. Hal ini masih diperparah dengan buruknya drainase. Pada gilirannya, ketika musim hujan datang, air tidak bisa terserap secara baik dan berujung pada banjir. 

Tata kelola kota dan pembangunan insfrastruktur tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan lahir dari kebijakan kapitalistik. Lebih condong pada kepentingan para pemilik modal (kapital) yang sudah tentu berorientasi bisnis mencari keuntungan, menyebabkan kepentingan masyarakat luas terabaikan.

Gambaran ini semakin diperjelas dengan keinginan pemerintah menghapus Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai syarat pembangunan. Pemerintah berdalih pengurusan Amdal menjadi sarang korupsi birokrasi yang menghambat laju investasi. Padahal jika dirunut kembali, Amdal amat dibutuhkan demi menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Andai ditemukan banyak kasus korupsi dalam kepengurusannya, yang semestinya dihapus adalah perilaku korupsi dan oknum yang berkorupsi, bukan regulasi Amdal.

Pada akhirnya, penanganan banjir memerlukan kejujuran penguasa untuk mengungkap akar permasalahan dan menempuh solusi mendasar. Hingga tak terjebak pada langkah-langkah penanganan yang parsial dan bersifat insidental. Tentu masyarakat dimanapun mendamba, mereka dapat melewati musim hujan tanpa kekhawatiran, karena hujan sesungguhnya rahmat untuk semesta alam. []


Post a Comment

Previous Post Next Post