Banjir, Antara Musibah dan Ulah Manusia



Oleh : Mariyatul Qibtiyah, S.Pd
Akademi Menulis Kreatif

Tahun baru 2020 ini, masyarakat ibukota mendapat kado pahit berupa banjir. Dari data terakhir yang dihimpun BNPB per 4 Januari 2020, banjir kali ini merendam 308 kelurahan dengan ketinggian air maksimum mencapai enam meter. Sementara korban meninggal dunia mencapai 60 orang, dengan jumlah pengungsi sebanyak 92.621 jiwa yang tersebar di 189 titik pengungsian.

Menurut ahli geospasial, Bintang Rahmat Wananda, tidak ada faktor tunggal penyebab banjir. Dalam konteks banjir Jabodetabek 2020, setidaknya ada beberapa faktor.
Pertama, minimnya resapan air di selatan Jakarta atau bagian hulu. Daerah hulu merupakan tempat efektif untuk menyerap air permukaan (surface run off) yang diakibatkan curah hujan yang tinggi. 

Kedua, buruknya drainase di hilir. Secara geografis, Jakarta berada di bidang datar. Akan sulit jika hanya bergantung pada sistem kanal yang mengandalkan gravitasi.

Di sisi lain, Jakarta hampir tidak memiliki ruang terbuka biru (RTB) atau tempat parkir air sebelum dialirkan ke laut. Jakarta  yang awalnya merupakan daerah rawa,  kini telah berubah tampilan menjadi permukiman dan gedung-gedung tinggi. Menurut Pemprov DKI, 90 persen lahan di DKI Jakarta saat ini sudah dibeton. Saat ini, terdapat sekitar 234 apartemen di Jakarta. Kondisi ini menyebabkan tersedotnya air tanah serta mempercepat penurunan tanah (land subsidence).

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta setiap dekadenya semakin menguning. Jika melihat peta RTRW tahun 1980, DKI Jakarta masih cukup banyak lahan hijau. Namun pada peta RTRW 1999-2005, kawasan hijau makin berkurang dan berganti dengan kuning alias untuk permukiman. Pada peta RTRW 2010-2030 nyaris semua kawasan di Jakarta menjadi kuning. (tirto.id, 07/01/2020)

Fakta ini menunjukkan bahwa banjir di ibukota bukan sekadar musibah. Buruknya tata ruang kota yang justru menjadi pemicunya. Semua itu akibat dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Sistem yang memberikan kebebasan kepemilikan dan berusaha kepada manusia. Sistem yang menjadikan materi di atas segalanya. Akibatnya, segala upaya dilakukan hanya untuk memperoleh materi yang sebanyak-banyaknya. Tanpa mempedulikan hak orang lain atau akibatnya pada alam. Maka, berbagai kerusakan alam tak dapat dihindari. Allah Swt. berfirman:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (TQS Ar Ruum:41).

Padahal, Allah Swt. telah memberi peringatan kepada manusia agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Allah Swt. berfirman:

"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (TQS Ali ‘Imran: 14). 

Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, manusia diperbolehkan untuk memiliki dan melakukan usaha. Namun, semua harus dalam batasan-batasan yang diperbolehkan oleh syara'. Dengan demikian, hak orang lain tak akan tercederai. Demikian pula, lingkungan alam juga tetap terjaga. Sehingga, datangnya hujan akan membawa rahmat bagi manusia. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. as-Sajdah: 27:

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?”

Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk menolak sistem Islam. Sebab, hanya sistem Islam yang akan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Hanya Islam yang mampu mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Wallaahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post