Kroni Dalam Lingkungan Oligarki

Oleh : Muthmainnah Kurdi

Hingga hari ini publik masih riuh membicarakan gebrakan (baca, bagi_bagi kekuasaan) yang dilakukan oleh presiden Jokowi perihal pengangkatan 12 staf khusus untuk dirinya, selama periode kepemimpinan tahun 2019_2024. 7 diantara mereka berasal dari generasi milenial: usia 20_30 tahunan. Lansir tirto.id.

Jokowi berdalih pengangkatan ke 12 stafsus itu adalah untuk bridging dirinya membahas inovasi_inovasi terbarukan demi kemajuan bangsa. Jokowi menyadari, tudingan publik yang tidak sepakat dengan tindakannya, maka untuk menjawab ketidak setujuan publik pada dirinya, Jokowi menunjuk 7 dari 12 stafsus tersebut berasal dari generasi milenial, yang mewakili suara generasi kekinian, kreatif, pebisnis, dan sosialable. Menurut Jokowi tidak rugi menunjuk stafsus dari generasi milenial, pasalnya karena keberadaan mereka akan sangat membantu kemajuan bangsa, terutama kemajuan dalam bidang industri teknologi, bridging istana dengan publik, yang modern berkemajuan dengan yang masih gagap kilahnya. 

Dalam usia NKRI yang ke 74 tahun, baru kali inilah pemerintah sangat jor_joran bagi_bagi kekuasaan ( politik akomodatif),  menambah jabatan baru, dari wakil menteri, hingga staf khusus presiden. Ada apa sebenarnya ? 

Kita tentu mafhum, dalam sistem demokrasi, penguasa adalah para kapitalis, yang sudah jamak enggan atau tak mau kehilangan kekuasaanya, selama hidup, bahkan saat ia mati kekuasaan itu harus terus dilanggengkan kan dengan cara menurunkan pada anak cucu, keluarga dekat, juga sahabat dekat, itulah oligarki kekuasaan. Kabinet Indonesia Maju  Jilid Dua yang dipimpin Jokowi memiliki 34 menteri dan 4 pejabat  setingkat menteri, 12 wakil menteri (wamen) dan masih ada narasi penambahan 6 wamen lagi,  ditambah 12 stafsusnya. Makin nyata sekali di periode ini presiden membutuhkan lebih banyak "pembantu" untuk mengokohkan cengkraman oligarkinya. 

Demokrasi dengan ide kebebasannya membuka kran makin besar bagi tumbuh suburnya liberalisasi disegala bidang, termasuk liberalisasi mengabadikan kekuasaan, dan menafikan kepengurusan rakyatnya. 

*Oligarki Politik*

Jefrey A. Winters, seorang ilmuwan politik dari  Northwestern University Amerika, mengatakan  oligarki mempunyai fakta yang mencakup dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki memiliki dasar kekuasaan_kekayaan material_ yang sangat susah dipecahkan dan diseimbangkan.Kedua oligarki mempunyai jangkauan yang luas dan sistemik meskipun mempunyai status minoritas dalam komunitas. Lansir detiknews. 

Nah dari sini kita faham, mengapa begitu tegasnya kesenjangan pemilik kekayaan dengan yang miskin (rakyat). Peristiwa demi peristiwa menunjukkan makin terpuruk  tak terurus dan terbengkalainya kehidupan rakyat, dan betapa pengusaha yang menjadi penguasa makin sejahtera dan penuh kemudahan hidupnya. Kesenjangan yang makin jauh ini  terbentuk oleh penguasaan diberbagai lini usaha, pengelolaan sumber alam, industri, teknologi, oeh sekelompok orang yang berpusat atau oligarki. Sistem demokrasi sangat memberikan peluang bagi penguasa untuk makin mengokohkan kepemimpinan oligarkinya.

Adalah penunjukan Wamen dan stafsus oleh presiden Jokowi,  merupakan jawaban sekaligus fakta makin kokohnya penguasaan kepemilikan  sumber-sumber kekayaan dan pos-pos krusial yang menentukan segala kebijakan. Tentu saja publik bertanya, apakah keberadaan stafsus ini benar-benar bekerja sebagaimana yang digadang-gadangkan oleh presiden..? Atau hanya solusi "kerokan" yang hanya difungsikan ketika negara "masuk angin" alias ketika dibutuhkan sesuai situasi, setelah itu keberadaan mereka hanya "pajangan" yang menambah deret panjang kroni oligarki kian berpusat. Sekaligus ini membukktikan analisa yang diungkapkan Winters benar adanya. Selama negara masih mengemban sistem demokrasi kapitalis dengan ide dasar sekuler, absurd cita-cita hidup sejahtera, berkeadilan, tercapai. Kesejahteraan hidup dan keadilan hanya dimiliki oleh pengendali kekuasaan dengan kroni-kroni yang mendukung kebijakan.

*Islam Solusi Oligarki*

Wamen maupun stafsus yang ditunjuk  presiden Jokowi sebagaimana sudah diuraikan,  sisejatinya hanya cara Jokowi melanggengkan kekuasaan nya, walaupun berkilah itu cara mendekati generasi milenial, yang membridging sekaligus informan apa-apa saja yang uptudate dan dibutuhkan kalangan milenial. Kesannya,  presiden Jokowi sedang  merangkul dan dekat dengan anak muda. Alih-alih menyudahi kesusahan rakyat, presiden malah sering membuat kebijakan yang menyakiti rakyat, bagaimana mungkin stafsus yang bekerja sangat santai diberi gaji 51 juta/ bulan, sementara guru honor  berbulan-bulan tidak digaji, iuran BPJS naik, TDL tiap bulan naik, sulitnya mencari pekerjaan, biaya pendidikan makin mahal, kriminalitas makin brutal, dan masih banyak problem rakyat yang seharusnya diberi jalan keluar, ketimbang mengangkat stafsus yang sebenarnya tidak krusial.  

Islam adalah agama yang mempunyai aturan syumuliyah  komprehensif, meliputi seluruh detail kehidupan manusia hingga ke alam setelah dunia ini. Tak terkecuali dengan masalah pemimpin. Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah, bahwa pemimpin itu adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah. Untuk menjadi pemimpin dengan tugas besar itu, tentu bukan orang-orang sembarangan yang tidak punya kemampuan baik, fisiknya maupun juga mampu atau cerdas aklinya. Untuk itu Islam memberikan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin (baca presiden). Sebutan pemimpin dalam Islam adalah Khalifah dengan sistem pemerintahan yang disebut Khilafah. Jika seseorang itu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, maka dia bisa mengajukan diri untuk ikut dalam pemilihan calon Khalifah. Ketujuh syarat-syarat ini wajib dipenuhi walaupun juga ada syarat yang tidak wajib, misal Khalifah sebaiknya dari keturunan Quraisy, ahli senjata, dan seorang mujtahid. Apakah Khalifah mempunyai pembantu (menteri) ?  Khalifah mengangkat seorang pembantu dalam menjalankan tanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan, yaitu Mu'awin AtTafwidh. Karena tugas seorang Mu'awin AtTafwidh itu sama beratnya dengan Khalifah, maka syarat-syaratnyapun sama dengan Khalifah. Selain Mu'awin Khalifah juga menunjuk Wuzara' AtTanfidz, yg bertugas sebagai penghubung Khalifah dengan struktur negara dan aparat yang lain, menyampaikan kebijakan Khalifah kepada bawahannya dan sebaliknya. Sekarang jabatan ini disebut sekretaris presiden dan Al Khatib  (sebutan zaman Rasul).

Karena jangkauan wilayah kekhilafahan itu mendunia, maka Khalifah mengangkat ditiap-tiap wilayah (propinsi) mn seorang Wali, yang sekaligus menjadi Amir (pemimpin) wilayah itu. Disetiap wilayah dibagi menjadi beberapa bagian yang disebut Imalah yang dipimpin oleh 'Amil atau Hakim. Jadi begitu sederhana konsep struktur kepemimpinan dalam Islam. Dan sebagai problem solving, 

Islam tampil sebagai agama sempurna, memberikan solusi paripurna yang meliputi seluruh  detail kehidupan manusia. Solusi yang diberikan Islam mengakar dan menuntaskan. Karena solusi yang ditawarkan berasal dari zat yang memberi kehidupan, yang faham dengan rinci problem dan solusi hambaNya. Berbeda sekali dengan aturan yang dibuat oleh manusia dengan demokrasinya, selamanya akan memunculkan keributan, ketidakadilan, penindasan, penistaan bahkan pembunuhan.

Islam mengatur kehidupan manusia mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, dari cara masuk WC hingga masuk Surga. Maka tak ada ruang sedikitpun untuk demokrasi, oligarki, dan apapun  aturan yang berasal dari manusia. Kita sebagai muslim selayaknya mentaati perintah Allah Ta'ala sebagai Tuhan Pencipta kehidupan, agar Rahmat diturunkanNya bagi semesta. Sebagaimana yang tercantum dalam firmanNya:
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi"..(TQS  Al-A'raf (7): 96.

Wallahu a'lam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post