Arah Pendidikan Kita Mau Dibawa Kemana?

Oleh : Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi) 

Mulai tahun 2020 akan diterapkan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. UN juga akan dihapus dan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, mulai 2021. Asesmen ini terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan matematika (numerasi) serta penguatan pendidikan karakter.

Tentang RPP, guru diberi kebebasan untuk mengembangkan format RPP, sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. PPDB juga direvisi sehingga lebih fleksibel dengan mempertimbangkan kondisi daerah. 

Bagaimana membaca arah kebijakan ini? Baik-baik saja, ataukah sebaliknya? Yang pasti, masalah ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang dan berbagai peristiwa yang mengiringinya. Dan semua itu akan mengungkap apa maksud dari kebijakan yang cukup mengundang kontroversi itu.

PISA merupakan bagian dari program organisasi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). OECD beranggotakan negara-negara yang memainkan peranan ekonomi di kancah global. Sebagaimana organisasi internasional lainnya, posisi Amerika Serikat sangat berpengaruh dalam institusi ini. Apalagi mengingat sejarah awal OECD yang juga diinisiasi pemerintah AS. 

Capaian PISA sebenarnya merupakan upaya politik untuk membakukan dan menguniversalkan sistem pendidikan di seluruh dunia agar siap dalam persaingan di kancah global dan memenuhi standar norma dan nilai yang didefinisikan oleh OECD.

Dengan demikian, PISA sebenarnya merupakan produk neoliberalisme. Ketika kebijakan pendidikan didasarkan pada penilaian PISA, maka pendidikan tidak lain ditujukan hanya untuk melahirkan manusia-manusia yang siap memenuhi kebutuhan ekonomi kapitalis abad 21. Dan makin terbukalah peluang bagi kapitalis untuk menguasai dunia pendidikan. Inilah yang menyebabkan pendidikan hanya berorientasi nilai jual pasar kapitalis.

Hal ini tentu sangat berbahaya. Sebab, tujuan utama pendidikan seharusnya memperhatikan aspek identitas/kepribadian keIslaman, termasuk pembentukan perilaku yang luhur, bukan semata aspek kognitif (pengetahuan dan capaian angka-angka dalam PISA). Apalagi jika berorientasi ekonomi sebagaimana konsep KBE (Knowledge Based Economy) yang berasal dari Barat.

Dari sini, nampaklah kekeliruan pemerintah dalam menentukan standar arah pendidikan. Dan Merdeka Belajar menjadi batu loncatan ke arah tujuan pendidikan yang lebih sekuler kapitalis.

Frasa “merdeka” mengesankan upaya melepaskan diri dari berbagai kekangan dan hambatan dalam belajar (proses pendidikan). Masalahnya, akankah kekebasan tersebut mengantarkan pada tujuan pendidikan yang sahih?

Sejatinya setiap muslim wajib terikat dengan aturan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam setiap aktivitasnya (QS. An Nisa [4]: 65). Menyangkut pendidikan pun negara wajib terikat dengan ketentuan syariat Islam.

Ketika merdeka belajar dimaknai dengan kebebasan berpikir dan berinovasi tanpa memperhatikan rambu syariat, maka jelas ini sebuah kekeliruan serius yang amat berbahaya terhadap pendidikan bangsa ini. Terlebih jika hanya mempertimbangkan manfaat materi, untung rugi dan kemajuan pendidikan ala Barat. Perbaikan apapun tidak ada nilainya karena landasannya sejak awal sudah keliru. Dan pastinya, tidak akan mengantarkan pada tujuan sahih pendidikan.

Faktanya, tujuan Pendidikan Nasional telah melenceng. Yakni, mewujudkan manusia bertakwa dalam makna sekuler dan menjauhkan peserta didik dari memiliki ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembentukan jati diri muslim. Yakni, tsaqafah Islam maupun ilmu pengetahuan lain. 

Kini lebih parah lagi, pendidikan hanyalah dirancang untuk melahirkan manusia yang siap memasuki pasar tenaga kerja (internasional), penggerak mesin industrialisasi dunia yang begitu eksploitatif terhadap potensi intelektual bahkan aspek insaniyah peserta didik. Untuk semua inikah Menteri Nadiem membenahi pendidikan negeri ini? Tragis! 

Meski kontroversi, kebijakan Merdeka Belajar sebenarnya hanya menyentuh hal-hal teknis saja. Memang, nampaknya lebih efisien. Misalnya, ujian yang tidak lagi mengandalkan soal pilihan ganda dan nilainya tidak menjadi penentu kelulusan. Demikian juga efisiensi kinerja guru dan proses penerimaan murid baru yang lebih mengakomodir kondisi daerah. Namun, masalah pendidikan sebenarnya bukan itu. Justru hal paling mendasar malah tidak digarap. 

Persoalan paradigma pendidikan, apa tujuan negara menyelenggarakan pendidikan, bagaimana kurikulumnya, metode pembelajarannya hingga tata kelolanya. Selama ini semuanya disusun dengan kerangka sekularisme kapitalisme. Dan inilah sebenarnya persoalan mendasar sistem pendidikan di Indonesia. Kini, rakyat dibuat gaduh hanya dengan persoalan teknis. Sesaat rakyat puas dengan beberapa perbaikan teknis tersebut. Tak ada lagi momok UN dan tidak lulus sekolah. Atau sekadar bisa masuk sekolah yang diinginkan. Atau guru yang tidak dibebani administrasi pembelajaran. Hal-hal seperti ini sebenarnya hanya mengalihkan dari tanggung jawab negara sesungguhnya dan menutupi kezalimannya.

Bagaimana tanggung jawab negara terhadap persoalan kualitas kepribadian siswa, ketika mereka tak lagi memahami syariat Islam kaffah, berperilaku ala Barat, juga tak memiliki idealisme untuk membangun negara dengan spirit Islam, bahkan memusuhi ajaran Islam. Bagaimana juga dengan problem kesejahteraan guru dan pemerataannya di seluruh wilayah tanah air. 

Bagaimana masyarakat bisa belajar dengan sarana prasarana mendukung, tidak terancam bangunan roboh. Bagaimana agar rakyat tak lagi dibayangi berbagai pungutan sekolah. Juga bagaimana negara mampu dan mandiri membiayai pendidikan dan tidak bergantung pada korporasi yang menyebabkan pendidikan tergadai kepada pasar ekonomi kapitalis. Mana peran negara untuk semua itu?

Dalam Islam, negara berkewajiban (diberi amanah) untuk menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi rakyat. Syariat Islam juga telah memberikan seperangkat aturan dalam bentuk sistem pendidikan Islam yang harus diwujudkan negara. Sistem pendidikan Islam mengatur paradigma pendidikan, tujuan, metode mewujudkan tujuan hingga tata kelola pendidikan berdasar akidah dan syariat Islam.

Sistem pendidikan Islam juga akan menjawab semua problem pendidikan bangsa ini. Semua itu dilaksanakan karena keyakinan akan kesempurnaan aturan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terbaik bagi manusia. Memang, hal ini tak bisa diwujudkan dalam sistem kapitalis saat ini. 
Oleh karenanya, menjadi kewajiban seluruh kaum muslim untuk mewujudkan sistem Islam kaffah dalam wadah Khilafah. Hingga keberkahannya terwujud dalam pendidikan yang unggul bagi kebaikan manusia di dunia dan akhirat. 

Post a Comment

Previous Post Next Post