Staf Khusus Milenial, Kebutuhan atau Sekedar Pencitraan?

Oleh : Yuli Ummu Raihan
Member Akademi Menulis Kreatif

"Berikan aku sepuluh orang pemuda, maka akan kugoncang dunia" 
Demikian penggalan kalimat founding father Indonesia Bapak Ir. Soekarno.

Seperti yang kita semua ketahui, baru-baru ini Presiden Jokowi telah menunjuk 13 orang sebagai staf khususnya. Dari 13 orang staf khusus tersebut, tujuh di antaranya merupakan wajah baru yang berasal dari kaum milenial. Presiden memperkenalkan ketujuh orang tersebut kepada pers di beranda Istana Merdeka Jakarta, Kamis 21/11/2019 lalu.

Mereka adalah Putri Indahsari Tanjung, usianya paling muda diantara staf khusus lainnya. Ia adalah Founder dan CEO Creativepreneur dari Chief Business of Creatif. Ia adalah anak pengusaha terkenal Khairul Tanjung. Adamas Belva Syah Devara (30 tahun) adalah CEO sekaligus Co-Founder perusahaan rintisan dan aplikasi Ruang guru. Ayu Kartika Dewi (36 tahun) yang aktif mengkampanyekan nilai toleransi dan keberagaman. Angkie Yudistira (32 tahun) satu-satunya staf khusus Presiden penyandang disabilitas. Gracia Billy Yosaphat Membrasar (31 tahun) adalah Founder Yayasan Kitong Bisa, yang fokus mengurusi pendidikan anak-anak Papua. Aminuddin Ma'ruf (33 tahun) adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) periode 2014-2016.  Dan Andri Taufan Garuda Putra (32 tahun) adalah Founder sekaligus CEO Amartha Mikro Fintek, starup yang bergerak di bidang keuangan mikro.

Selain nama-nama tersebut, Presiden Jokowi juga menunjuk dua wajah baru lainnya, yaitu politisi PDI-P Arief Budimanta dan politisi Partai Solidaritas Indonesia Dini Shani Purwono. (Kompas.com, 24/11/2019)

Menurut Presiden mereka adalah anak muda yang akan memberikan gagasan-gagasan segar yang inovatif. Sehingga kita bisa  mencari cara-cara baru, cara yang out of the box, yang melompat, untuk mengejar kemajuan negara kita.

Mereka juga diharapkan menjadi jembatan antara presiden dan anak muda, para santri muda, para diaspora, yang tersebar di berbagai tempat. (tirto.id, 23/11/2019)

Beragam komentar dan tanggapan berkembang terkait keputusan presiden ini.

Ketua  Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyambut baik penunjukkan ini. Menurutnya ini seperti memberi kesempatan kepada anak muda magang di dunia pemerintahan. Penunjukkan ini dilakukan dengan persiapan matang. Karena itu ia meyakini hal tersebut akan berdampak pada kebijakan  pemerintah yang mampu menyerap aspirasi kaum milenial.

Dengan terserapnya aspirasi kaum milenial maka mereka akan semakin terberdayakan dalam pembangunan SDM Indonesia yang unggul. (Kompas.com, 24/11/2019)

Namun, di sisi lain publik menyoroti besaran gaji yang akan diterima oleh staf khusus ini. Mereka akan digaji sebesar Rp51 juta sesuai dengan Perpres No. 144 Tahun 2015. Besaran gaji ini dianggap terlalu besar untuk ukuran seorang yang hanya bertugas memberi gagasan dan masukan kepada presiden. Bahkan mereka tidak harus bekerja setiap hari di kantor. Dalam artian fleksibel dan cukup dipanggil sewaktu dibutuhkan saja. Mereka juga diperbolehkan memiliki maksimal dua pembantu asisten. Mereka juga tidak memiliki bidang khusus. Maka wajar jika masyarakat kontra atas penunjukkan ini.

Bukankah lebih baik uang untuk menggaji mereka dipakai untuk menggaji para guru honorer. Dimana kondisinya sangat memprihatinkan. Mereka yang telah mengabdikan waktu, tenaga, pikiran demi mendidik generasi menjadi lebih baik. Selain itu, bisa pula digunakan untuk menutupi defisit BPJS agar iuran wajibnya tidak perlu dinaikkan, dan kebutuhan lain yang lebih penting.

Presiden Jokowi juga mengingkari perkataannya sendiri, yang sesumbar pada pelantikannya 29 Oktober lalu akan memangkas pejabat eselon. Sekarang malah menambah jabatan wakil menteri dan staf khusus yang jumlahnya tidak sedikit. Maka wajar publik menduga ini adalah strategi untuk bagi-bagi kekuasan. Sebagai balas budi kemenangannya menjabat kembali menjadi Presiden Indonesia untuk periode kedua.

Penunjukkan ini adalah bentuk pemborosan. Bukankah negeri ini seharusnya lebih menghemat pengeluaran karena kondisi ekonomi kita yang makin buruk. Belum lagi utang ribawi yang entah kapan akan selesai. Rakyat juga semakin tercekik akibat beragam kebijakan zalim. Bahkan dipaksa untuk mematuhi semua kebijakan tersebut. Ini menunjukkan pemerintah lebih pro kepada para penguasa dan pejabat serta pengusaha daripada rakyatnya sendiri.

Melihat latar belakang para staf khusus ini, rerata adalah para milenial pebisnis yang berprestasi. Latar belakang pendidikan mereka telah memberi sinyal. Bahwa pemerintahan Jokowi memang berfokus pada revolusi industri serta pembaharuan ekonomi.

Penunjukkan staf khusus dari kalangan milenial di era digital ini, diharapkan dapat menjadi penggerak di tengah masyarakat. Potensi ini diharapkan mampu membawa perubahan lebih baik bagi negara ini. Namun adanya fenomena tersebut semakin menguatkan politik oligarki di lingkaran pemerintahan.

Staf khusus dari kalangan milenial ini juga dirasa bisa mewakili milenial influencer, juga untuk head to head dalam merebut hati kaum milenial agar tidak terbawa arus pemahaman Islam kafah. Karena saat ini ghirah keislaman dari generasi milenial tengah mengalami peningkatan. Pergerakan mereka begitu masif. Meski isu terkait radikalisme dan intoleran terus dipropagandakan kepada mereka. Tampaknya ini adalah strategi pemerintah untuk menghalangi perkembangan gerakan Islam yang kritis terhadap semua kebijakan pemerintah.

Para staf khusus ini dianggap mewakili kaum milenial. Padahal  mereka  dipilih karena latar belakang yang sudah dijelaskan di atas. Mereka terpilih karena dipandang layak oleh rezim. Padahal di luar sana masih banyak milenial lain yang prestasinya juga tidak kalah bagus. Hanya saja tidak berkesempatan seperti mereka.

Semua kontroversi ini biasa terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis. Dimana yang bisa berkuasa atau menduduki jabatan penting adalah mereka yang memiliki kolega dengan pemerintah atau yang punya uang. Masalah kemampuan dan niat untuk mensejahterakan rakyat adalah nomor ke sekian.

Ini berbeda jika kita memakai aturan Islam. Dimana seseorang diangkat sebagai pengurus suatu urusan adalah orang-orang yang memenuhi syarat diantaranya muslim, laki-laki (khusus untuk penguasa), baligh, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan. Mereka dipilih sesuai hukum syara, bukan karena kepentingan individu atau kelompok apalagi sebagai balas jasa. Karena menjadi pemimpin dalam Islam tidak memerlukan biaya fantastis seperti saat ini. Mereka bekerja semata-mata mengurusi urusan rakyat dengan menerapkan seluruh hukum syara'.

Meski kewenangan mengangkat para pejabat negara atau pembantunya diserahkan pada pemimpin negara. Namun ada majelis umat sebagai representasi umat yang akan mengontrol dan menampakkan ketidaksukaan kepada siapa saja yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Pemimpin yang baik akan senantiasa mendengar aspirasi rakyatnya lewat majelis umat.

Kita lihat saja, Apakah staf khusus ini akan membawa perubahan yang lebih baik untuk negeri ini? Atau hanya sebagai pemanis agar pemerintah dianggap mewakili aspirasi rakyat khususnya kaum milenial? Sementara itu, untuk menyelesaikan berbagai problematika di negeri ini haruslah dari akar masalahnya. Yaitu sistem demokrasi kapitalis yang sekuler. Makanya tidak cukup hanya dengan menunjuk staf khusus meski dari segala kalangan tidak hanya kaum milenial. Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post