Nikah tersertifikasi, Nambah Masalah atau Solusi?

Oleh : Dwi Sarni 
(aktivis Muslimah Jak-Ut)

Lagi dan lagi kabinet kerja era Jokowi membuat wacana kebijakan yang menuai kontroversi, yaitu syarat nikah harus ikut sertifikasi. 

Dilansir TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi mengatakan bahwa calon pengantin tidak boleh menikah jika belum sertifikat layak kawin.

Wacana ini juga mendapat dukungan dari Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'i. Ia mengaku setuju dengan rencana pemerintah mewajibkan sertifikasi perkawinan bagi calon pengantin. "Saya setuju jika yang dimaksud sertifikasi adalah sertifikat yang diberikan pasca mengikuti suscatin (kursus calon pengantin) yang telah digagas Kementerian Agama," kata Imam dalam pesan singkatnya kepada Tempo, Kamis, 14 November 2019.

Imam menilai, wacana mewajibkan sertifikasi perkawinan merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera.

Agaknya pemerintah perlu mengkaji secara sungguh-sungguh dan tidak terlalu terburu-buru dalam pengesahan aturan ini, banyak masyarakat yang keberatan. Syarat ini makin mempersulit syarat dan prosedur nikah itu sendiri. Pasalnya bagi yang tidak lulus dalam sertifikasi maka ia tidak dapat menikah sampai ia lulus di sertifikasi selanjunya. Belum lagi sertifikasi ini akan menyita waktu calon pengantin karena diselenggarakan selama tiga bulan lamanya.

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah dengan sejuta potensi, makhluk Allah yang memiliki akal, naluri dan kemampuan untuk memilih antara yang baik atau buruk. Diantara naluri yang Allah titipkan kepada kita ialah gharizah Nau’ atau naluri kasih sayang atau naluri melestarikan keturunan. 

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh dalam memberikan solusi untuk kehidupan manusia.Di dalam Islam naluri itu bukan sekedar tentang menyalurkan dan memuaskannya tapi bagaimana naluri itu tunduk dan sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Menikah merupakan syariat yang telah Allah tentukan untuk seorang laki-laki dan wanita dalam menyalurkan naluri kasih sayang atau bisa dibilang wadah halal yang Islam legalkan untuk menyalurkan naluri kasih sayang.

Menikah adalah ibadah dan merupakan sunnah Rasul, bahkan Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan dilangsungkannya pernikahan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah. Hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya”
[Mutafaq ‘alayh]

Dalam Islam zina merupakan dosa besar maka itu hal-hal yang mendekati pada perzinahan Islam melarang keras dan memudahkan jalan bagi siapa saja yang siap untuk menikah. Karena mempersulit pernikahan sama saja membuka peluang untuk terjadinya perzinahan yang akan mengundang adzab dari yang Maha Kuasa.

Agama sudah mempermudah maka pemerintah harusnya tidak mempersulit. Jika kita lihat lebih jeli diselenggarakannya sertifikasi ini tentu tidak efisien dari segi waktu dan biaya. Walaupun secara biaya katanya tidak dibebankan pada masyarakat alias gratis, justru malah akan menambah anggaran pengeluaran negara yang seharusnya bisa dialihkan pada hal yang lebih penting dan darurat, selain itu ini hanya akan membuka lahan basah untuk terjadinya praktek korupsi. 

Adapun apabila dasar diselenggarakannya sertifikasi ini demi menurunkan tingginya angka perceraian, stunting dan gizi buruk itu adalah solusi yang tidak tepat sasaran, karena sesunggunya terjadinya semua itu adalah efek dari sistem yang ada. Buah dari lingkaran setan sistem sekuler kapitalisme. 
Aturan dan kebijakan selalu berpihak pada pemilik modal sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin, ditambah semakin jauhnya umat dari ajaran agamanya.

Stunting sendiri adalah perawakan kerdil yang disebabkan kekurangan asupan nutrisi sama halnya gizi buruk, yang dimana faktor utamanya tentu saja karena kemiskinan tinggi, lapangan pekerjaan sulit sementara kebutuhan pokok harganya melangit. Kemiskinan dan ketidakseimbangan ekonomi inilah yang menjadi biang keributan dan perceraian. Belum lagi maraknya muda-mudi berpacaran dan melakukan pergaulan bebas yang berujung hamil di luar nikah, sehingga tatkala mereka menikah pun itu hanya karena rasa malu. Ditambah tidak ada upaya pemerintah dalam menjaga aqidah umat dan wawasan tentang ajaran agamanya, yang ada justru pemerintah memfasilitasi dan mewarnai kehidupan dengan kebebasan ala barat dengan Islam moderat dan tontonan yang tidak bermartabat.

Di era kapitalistik saat ini ketahanan keluarga tidak cukup disiapkan oleh individu dengan tambahan pengetahuan dan ketrampilan tapi membutuhkan daya dukung negara dan sistem yang terintegrasi. 

Pemimpin merupakan pelayan masyarakat yang bertanggung jawab dan menjamin terhadap kesejahteraan rakyat. Yaitu berupa sandang pangan yang murah, menyediakan lapangan pekerjaan, jaminan pendidikan serta kesehatan yang berkualitas dan gratis.

Itu semua mustahil diraih dalam sistem yang ada saat ini, semua dapat terwujud dengan kembali pada aturan Islam. Islam dengan segala kegemilangannya berhasil memimpin 14 abad lamanya. Contohnya pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, rakyat nya sejahtera hingga tidak ada satupun yang mau menerima zakat. Di bawah kepemimpinannya para pemuda bahkan dinikahkan dan dibiayai, sehingga potensi terjadinya perzinahan tertutup rapat dan negera pun merasakan keberkahan dari Allah Ta’alaa.
Wallahu’alam bi Shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post