Menyoal Kontroversi Pembentukkan Staff Khusus Milenial

By : Fitria Miftasani

Baru-baru ini presiden Joko Widodo mengumumkan kepada publik terkait staff khusus presiden yang tujuh diantaranya merupakan generasi milenial. Staff khusus ini ditunjuk untuk mendampingi presiden selama periode kedua 2019-2024 yang bertugas mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang. Latar belakang staff khusus tersebut terutama dari kalangan milenial umumnya adalah entrepreneur, sociopreneur, dan edupreneur. Menurut Jokowi, ketujuh kaum milenial ini akan memberikan gagasan segar yang inovatif untuk mengejar kemajuan negara Indonesia. Mereka juga akan menjadi jembatan penghubung antara presiden dengan anak-anak muda, para santri, diaspora, yang tersebar di berbagai tempat.

Penunjukkan staff khusus dari kalangan milenial ini dirasakan masih mengandung aroma politik bagi-bagi kekuasaan. Pasalnya, sebagian besar staff khusus tersebut berasal dari pendukung Jokowi pada pilpres 2019. Hal ini sejalan dengan pernyataan peneliti forum masyarakat peduli parlemen (Formappi) Lucius Karus yang menilai bahwa politik bagi-bagi kekuasaan memang bukan barang baru di pemerintahan Jokowi. Karena jika beliau mendukung para milenial berinovasi, seharusnya tugas Jokowi adalah menyiapkan lapangan pekerjaan dengan segala kondisinya yang akan membuka ruang inovasi bagi anak muda (Tirto, 22/11/2019).

Gaji yang dinilai fantastis pun sepertinya masih kurang tepat jika diberikan kepada staff khusus yang minim pengalaman di pemerintahan. Stafsus milenial tidak punya daya tawar, tidak bisa menekan presiden sehingga suara mereka akan kalah dengan elite politik senior. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas pun berpotensi tumpang tindih dengan struktur pembantu presiden lainnya. Karena itu pembentukan stafsus presiden ini lebih terlihat bertujuan untuk menyamarkan dominasi politik oligarki di sekeliling penguasa.

Kekuasaan ini memang menjadi magnet bagi para elite dan tokoh parpol yang merasa sudah mengerahkan segala upaya dalam ajang pilpres. Sehingga setelah pilpres selesai, agenda berikutnya tentu bagi-bagi kekuasaan. Hal ini justru bertolak belakang dengan pandangan Islam yang melihat bahwa jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang sangat berat. Saking beratnya kekuasaan dalam memelihara urusan rakyat, sehingga ancaman bagi penguasa yang tidak amanah adalah tidak mampu mencium bau syurga.

“Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Generasi salafush-shalih pada masa lalu pada umumnya khawatir dan enggan untuk diberikan amanah kekuasaan. Mereka sangat memahami sabda Nabi saw;
“Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara kekuasaan itu pada Hari Kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian.” (HR Nasa’i dan Ahmad).

Tentu Islam tidak melarang siapapun yang ingin berkuasa dengan catatan bagaimana cara kekuasaan itu didapat? Umar pernah menentang pencalonan dirinya saat Khalifah Abu Bakar sakit-sakitan. Umar tidak gembira dengan pencalonan tersebut bahkan bertanya kepada para sahabat apakah mereka akan menjerumuskannya ke dalam neraka? Umar menyadari bahwa kekuasaan adalah beban yang apabila tidak ditunaikan sebaik-baiknya maka akan membawa pada kehinaan dan penyesalan. Lantas, bagaimana mungkin banyak elite politik bergembira karena adanya beban kekuasaan yang diberikan kepada mereka?
Islam mendorong pemimpin untuk amanah dan bersikap adil. Namun pemimpin yang adil tentu akan lahir dari sistem yang adil. Bukan sistem yang membuat urusan rakyat menjadi daftar terakhir setelah kepentingan-kepentingan penguasa dan pengusaha. Wallahu’alam bishowab.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post