KARHUTLA KOLTIM MEMBARA, BUTUH PERAN NEGARA

Oleh : Risnawati 
(Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)

Kebakaran hutan dan lahan tak hanya terjadi di Sumatera dan Kalimantan, juga Sulawesi seperti di Sulawesi Tenggara. Asap pekat beracun kembali mulai menggangu warga. Bahkan, kabut asap beracun ini sudah menjadi pandangan yang biasa dalam masyarakat sejak adanya aktivitas perusahaan perkebunan sawit, namun kali ini kabut asap yang terparah. Sehingga, Pemda Kolaka Timur, menetapkan kebakaran lahan gambut sebagai tanggap darurat kebakaran hutan. Dengan status ini, dia berharap ada bantuan dari pusat.
Seperti dilansir Zonasultra.Com, Tirawuta – Kabut asap bukan hanya menyelimuti wilayah desa Wesalo dan Talodo, Kecamatan Lalolae, namun kini sudah merembes masuk ke wilayah ibukota Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) di Tirawuta. Kabut asap terparah sudah berlangsung selama tiga hari. Selain menyengat hidung, asap juga sangat perih di mata. Wilayah yang paling merasakan kabut asap adalah Desa Lalingato, Simbune, Poni-poniki, dan Kelurahan Rate-rate.
Di desa Lalingato, selain rumah penduduk setempat, kabut asap juga merembes sampai ke kompleks perkantoran. Jarak pandang akibat ketebalan asap di wilayah ini hanya mencapai 20 meter saja. Sejumlah pegawai yang datang berkantor tampak mengenakan masker demi keamanan. 
Salah seorang warga Desa Lalilangato, Reski (35) mengungkapkan, kabut asap yang terjadi selama tiga hari belakangan ini sangat mengganggu dan mengkhawatirkannya. Disamping pandangannya terbatas ketika melintas saat menuju tempat kerja.
“Kalau jalan menuju tempat kerja tidak menghidupkan lampu motor maka bisa menimbulkan kecelakaan. Karena jarak pandang dekat sekali, kurang lebih 20 meter saja. Kalau tidak pakai cahaya lampu, kita tidak tau kalau ada kendaraan di depan,”katanya 
Abkari, bayi berusia 8 bulan asal desa Poni-poniki, Kecamatan Tirawuta, Kabupaten Kolaka Timur (Koltim), Sulawesi Tenggara terserang batuk akibat kabut asap yang menyelimuti daerah itu sejak tiga hari terakhir. Ines (28), ibu kandung Abkari menyebutkan bahwa anak pertamanya itu mulai terserang batuk sejak kemarin.
“Tadi malam tidak bisa tidur karena batuk terus,”katanya saat ditemui di kediamannya, Selasa (26/11/2019).

Menelusuri Akar Masalah Karhutla
Sungguh penderitaan yang luar biasa bernafas di tengah udara pekat. Terutama bagi bayi, ibu hamil, dan manula. Sejumlah penelitian menunjukkan udara beracun karhutla menyulitkan bernafas, mata terasa perih, tenggorokan kering, pusing, hilang kesadaran, dan kematian.Meskipun demikian disayangkan sikap pemerintah yang menganggap bahwa dampak yang ditimbulkan tidak separah yang diberitakan.
Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika, mengeluarkan rilis Sulawesi Tenggara, berpeluang dampak kekeringan panjang awal September 2019 hingga ke depan.
Kemarau berpotensi bencana kekeringan dan karhutla. Karhutla rentan terjadi karena kekeringan lahan. Sehingga, ancaman karhutla seperti diungkapkan BMKG yang sudah terjadi. Beberapa daerah bisa merasakan kabut asap berkepanjangan.
Lahan gambut di Kolaka Timur, sampai saat ini masih dilalap api. Tercatat dibulan September lalu, sudah 6.000 hektar lebih lahan gambut terbakar. Dan rata-rata lahan terbakar karena kesengajaan seperti di Desa Keisio, Kecamatan Lalolae, Kolaka Timur untuk pembukaan lahan pembukaan lahan untuk area perkebunan, yang lokasi karhutla ini berada 10 meter dari batas lahan perkebunan sawit milik, PT. Sari Asri Rejeki Indonesia di Kolaka Timur.
Sehingga, penyebab bencana ini adalah akibat pemerintah tidak mampu mencegah pembakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut ribuan hektare oleh pemilik hak konsesi. Ini di satu sisi, di sisi lain pemerintah sendiri menjadi penyedia ceruk bisnis puluhan juta ton Crude Palm Oil (CPO) per tahun melalui pengarusan agenda hegemoni climate change khususnya biodiesel/biofuel sawit. Sehingga, para korporasi perkebunan sawit makin tidak peduli kelestarian gambut, sebagai satu-satunya lahan dan hutan dalam jumlah luas yang tersisa bagi industri sawit. Kelalaian negara dalam bentuk memberikan hak konsesi kepada korporasi perkebunan adalah faktor penting penyebab keganasan kabut asap karhutla yang berulang selama puluhan tahun. Di saat yang bersamaan, korporasi diberi kewenangan begitu luas. Tidak saja menghalangi individu lain memanfaatkan lahan dan hutan yang berada dalam kawasan konsesi, namun juga negara tidak dibenarkan melakukan intervensi apapun sekalipun demi kemaslahatan publik.
Kelalaian negara berikutnya, karena berkomitmen menjalankan agenda hegemoni climate change, khususnya program biodiesel/biofuel sawit. Seperti pada pertemuan G20 baru-baru ini di Osaka-Jepang. Sementara, sejumlah bukti meyakinkan menunjukkan program biofuel sawit climate changesebagai solusi pemanasan global hanyalah dusta belaka. Biofuel sawit justru menimbulkan jejak karbon ratusan kali lebih besar dari pembakaran energi fosil.
Tidak saja menjadi sumber kesengsaraan bagi jutaan orang, negara sebagai regulator, pemberian hak konsesi berikut program moratorium, jelas kelalaian negara yang diharamkan Islam. Eksistensi agenda hegemoni climate change khususnya program biofuel sawit yang penuh dusta dan merusak, tidak dapat dipisahkan dari karakter sistem kehidupan sekuler yang rentan agenda hegemoni. Khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga, konsep-konsep batil ini harus diakhiri segera.

Hanya Islam Solusinya
Secara faktual, hutan gambut tropis Indonesia terluas di dunia memiliki fungsi ekologis dan hidrologis termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa. Karenanya, pada hutan dan lahan gambut sebagaimana hutan pada umumnya melekat karakter harta milik umum. Dituturkan lisan mulia Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang artinya, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Keberadaan negara adalah pihak paling bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan dan lahan gambut. Rasulullah SAW menegaskan, artinya, “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim). Artinya, apapun alasannya, negara haram sebagai regulator bagi kepentingan korporasi perkebunan sawit. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan dan dan lahan gambut. Termasuk pemulihan fungsi gambut yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila terbakar. Selain sumber bencana bagi jutaan orang, yang diharamkan Islam, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dengan demikian, agenda hegemoni Climate Change biofuel sawit wajib diakhiri, sebab Islam mengharamkan penjajahan apapun bentuknya. Allah swt berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 141, artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.
Dengan demikian, jelaslah akar persoalan berlarut-larutnya keganasan kabut asap karhutla adalah karena sistem kehidupan Islam tidak diterapkan. Artinya, hanya dengan kembali pada kehidupan Islam dalam bingkan Khilafah ‘ala minhaji an-Nubuwwah, sehingga tidak akan ada lagi keganasan kabut asap karhutla. Ini di satu sisi, di sisi lain tersedia secara sempurna ruang untuk normalisasi fungsi ekologi dan hidrologi gambut yang dibutuhkan dunia. Jadi, tunggu apalagi ? Hanya Islam yang mempunyai solusi sempurna yang menuntaskan permasalahan hingga ke akar termasuk karhutla ini. Wallahu a’lam. 

Post a Comment

Previous Post Next Post