Doyan Impor, Begini Cara Islam Mengatasinya

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih

Negeri yang makmur dan mampu mensejahterakan rakyatnya adalah ketika SDA bangsa tersebut dikelola dengan baik. Namun jika SDA tersebut lebih dipercayakan kepada pihak asing dan lebih ugal-ugalan dalam mengimpor barang, maka apa jadinya nasib bangsa tersebut. Jelas hal ini akan menimbulkan ketimpangan dalam peningkatan ekonomi akibat kalah daya saing antara produk lokal dan produk asing.

Salah satu hal yang tak bisa ditolerir mengenai impor barang ialah ketika pemerintah marak-maraknya melakukan impor pacul. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pacul sepanjang bilan Januari-September 2019 senilai US$ 101.69 ribu dengan total berat 268,2 ton. (detikfinance.com, 8/11/19)

Tak hanya itu, penetrasi produk-produk baja impor masih mendominasi pasar Indonesia. Pada tahun lalu, baja impor menguasai separuh lebih pangsa pasar baja. Demikian disampaikan oleh Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Silmy Karim dalam paparannya berjudul "Strategi Industri Baja untuk Menjadi Bagian dari Value Chain Industri Otomotif Nasional" Rabu (4/9)

Senada dengan hal itu, Silmy mengatakan konsumsi baja nasional pada tahun 2018 sebesar 15,1 juta ton, angka tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 11,03% dari tahun sebelumnya. Rinciannya antara lain berasal dari produksi domestik 10 juta ton, impor 7,6 juta ton, dipotong ekspor 2,6 juta ton. (cnbcindonesia.com, 4/09/19)

Semenjak Indonesia berkiprah menjadi pengekor negara-negara kapitalis, AS dan china yang berkiblat pada sistem ekonomi liberalisme pemenuhan akan SDA yang seharusnya dikerahkan untuk hajat hidup orang banyak justru penyediaan SDA tersebut lebih dipercayakan untuk dikelola oleh kapitalis asing dan aseng. Permasalahan impor pacul atau cangkul hal ini seharusnya mampu diproduksi oleh negeri sendiri. Namun permasalahan impor ini ternyata pernah terjadi sekitar tahun 2016 lalu dan permasalahan ini mencuat kembali ditahun 2019.

Cangkul merupakan salah satu perkakas paling fenomenal saat ini bagi para petani. Hal ini mencuat ke permukaan publik setelah pemerintah terbukti melakukan impor cangkul sejak tahun 1997.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ilmate) I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, kebutuhan cangkul rata-rata setiap tahunnya mencapai 10 juta unit dan belum bisa dipenuhi industri dalam negeri. Berkaitan dengan itu, maka diperlukan impor alat pacul ini. (okezone.com, 31/10/16)

"Sejak 1997, cangkul dikategorikan sebagai barang yang diatur tata niaga impornya berdasarkan Permen 230/1997. Sehingga pemerintah memberikan izin impor hanya kepada BUMN," ujar Putu di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (31/10/2016)

Disisi lain masuknya  impor baja yang ke Indonesia sempat berimbas pada produsen baja lokal akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2018 membuka celah masuknya penjualan baja karbon yang lebih murah dari pasar domestik.

Sehingga Permendag 22 Tahun 2018 dimanfaatkan pengimpor dengan mengubah Harmonied System (HS) number dari produk baja karbon menjadi alloy steel. Dengan kata lain, volume impor baja karbon menurun yang kemudian disubstitusi dengan naiknya impor baja paduan. Tujuannya tak lain agar mendapatkan bea masuk yang rendah (kumparan/9/01/2019).

Maraknya importir barang dari china kian merajalela. Namun, pemerintah seolah mengamini tanpa memperdulikan nasib jutaan rakyat yang mengais kehidupan melalui penjualan produk-produk dalam negeri. Miris dengan ironi nasib bangsa yang menjadi pengekor negara-negara berpaham neoliberal. Bahkan menjadi antek kepentingan kaum kapitalis global dengan kebijakan impor yang ugal-ugalan. Walhasil Indonesia pun terperangkap dalam jebakan negara-negara maju dalam bentuk perdagangan bebas dan pasar bebas yang dinaungi oleh WTO.

Dan inilah yang tak disadari oleh pemerintah saat ini  alih-alih ingin meningkatkan perekonomian bangsa dengan intervensi kapitalis asing. Namun justru menjadi mangsa negara liberal yang setiap saat bisa diterkam. Pemerintah Indonesia seharusnya sadar bahwa sistem ekonomi kapitalis sangat menyengsarakan dan membuat negara ini semakin jauh dari kemandirian ekonomi terlebih lagi ridha Allah, maka harus mencari alternatif lain yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Islam.

Dalam Islam, pada dasarnya aktifitas ekspor-impor dalam suatu negara diperbolehkan karena merupakan bagian dari aktifitas perdagangan yang masuk pada aspek muamalah baik secara bilateral maupun multilateral tetapi hanya boleh dilakukan pada saat mendesak tanpa menggadaikan kemandirian negara.

Karenanya dalam dunia perniagaan, ekspor-impor sangat memainkan peranan penting. Tak ada sebuah negara pun di dunia ini yang bebas dari ekspor-impor. Apalagi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang biasanya tergolong “negara berkembang” atau “terbelakang’; barang-barang impor akan lebih mendominasi pasaran mereka.

Mengimpor atau mengekspor barang dari negara-negara kafir pada dasarnya boleh saja tetapi dengan syarat tetap menjaga kaidah hukum syara. Hal ini dimaksudkan agar tidak membawa ketimpangan bagi umat islam. Karenanya islam sangat memperhatikan sedetail mungkin segala urusan umat, terutama terkait aktivitas impor dari negara-negara kafir.

Adapun adab mengimpor barang islam yang perlu diperhatikan agar aktivitas tersebut tidak membawa dampak negatif bagi umat Islam.

Pertama, pilihlah barang yang benar-benar dibutuhkan untuk diimpor. Hindari mengimpor barang-barang yang dapat diproduksi lokal. Hal ini agar industri lokal tetap berkembang dan tidak terjadi ketergantungan terhadap barang impor.

Kedua, pilihlah produk buatan kaum Muslimin selama hal itu memungkinkan. Niatkan sebagai ta’awun ‘alal birri wat taqwa, sehingga akan mendapat pahala lebih.

Ketiga, jika terpaksa mengimpor produk orang kafir, jangan mengimpor dari negara yang jelas-jelas menunjukkan permusuhannya terhadap Islam dan kaum Muslimin.

Keempat, jangan mengimpor barang-barang yang mendorong kaum Muslimin untuk menyerupai orang kafir.

Kelima, hindari cara pembayaran yang bersifat ribawi.

Demikianlah solusi yang diberikan dalam islam terkait aktivitas impor barang. Meskipun diperbolehkan tetapi hal ini harus menjadi titik fokus perhatian negara dengan lebih memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Maka dengan hal tersebut kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat akan terpenuhi. Dan hal ini hanya akan terwujud tat kala khilafah ala minhajji nubuwwah tegak kembali.

Wallahu A'lam Bishshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post