Distribusi Serentak Hindari Kecurangan

Oleh : Iis Nur 
(Ibu rumah tangga)

Beberapa waktu yang lalu tepatnya tanggal 26 Oktober 2019 pesta demokrasi tingkat desa telah dilaksanakan. Namun ada yang berbeda dengan pelaksanaan kali ini. Dengan alasan pertimbangan keamanan dan potensi kerawanan, distribusi logistik pilkades serentak di 199 desa sekecamatan Cileunyi di Kabupaten Bandung akan dilakukan pada hari H pencoblosan, Sabtu (26/10/2019).

Hal ini sesuai imbauan dan saran Bupati Bandung, Dadang M. Naser dengan diterbitkannya surat edaran melalui Sekda Kabupaten Bandung H. Teddy Kustiana tertanggal 24 Oktober. Surat edaran tersebut dikirim ke seluruh pihak terkait dengan memperhatikan surat dari Polres Bandung No B/2246/X/Ops 1.3/2019/Bah Ops 22 Oktober perihal permohonan distribusi logistik pilkades serentak. Surat edaran itu mengimbau dan menyarankan agar logistik pilkades serentak disimpan di desa atau di Sekretariat Panitia Pemilihan Kepala Desa (P2KD). Dan ini disambut positif oleh pihak yang terkait yaitu jajaran muspika, Panwas dan P2KD. Berkaca pada pilpres kemarin, dengan adanya tindakan pendistribusian logistik pilkades secara serentak diharapkan bisa menghindari kecurangan-kecurangan. 

Alasan ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi saat ini tidak akan pernah luput dari praktek kecurangan dan suara rakyat mudah untuk dimanipulasi oleh pihak tertentu.

Dalam demokrasi kecurangan dianggap sebagai salah satu bagiannya. Yang dimanfaatkan oleh pihak yang ingin tujuannya tercapai walau dengan berbagai cara apapun. Dalam demokrasi pemilihan mengusung asas luber dan jurdil. Di Indonesia diatur dalam pasal 22E ayat 1 sampai 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 

Pemilihan pemimpin desa yang di kenal dengan pilkades meski tidak seheboh dan semewah pilpres kemarin, pemilihan yang ditentukan dalam kurun waktu lima tahun sekali. Banyak yang menginginkan menduduki jabatan kepala desa tersebut, dengan berbagai argumen dan tujuan yang diutarakan.

Mulai dari keinginan untuk mengabdikan diri pada kampung halaman, ingin mengadakan perubahan, ingin melanjutkan program yang belum tuntas pada masa jabatannya atau sebagai batu loncatan ke tingkat yang lebih tinggi dan sebagainya.

Beberapa kecurangan yang sering terjadi pada pemilihan desa, pihak panitia yang tidak netral, penggelembungan suara, penggandaan calon pemilih, proses pelipatan surat suara yang  tidak melibatkan anggota BPD dan saksi, surat suara yang sudah tercoblos untuk salah satu calon. 

Asas luber dan jurdil ini merupakan singkatan dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Asas luber dan jurdil ini sudah diberlakukan sejak Zaman Orde Baru. Akan tetapi pada kenyataannya jauh panggang dari api. Faktanya setiap hari kita menonton, membaca dan menyaksikan di media dan media sosial berbagai kecurangan yang di gambarkan secara struktur, sistematik, massif dan brutal (TSMB).

Akan berbeda bila para pemimpin menjadikan akidah Islam sebagai pondasi kehidupan dan kekuasaan. Akan muncul rasa gentar ketika akan melakukan penyelewengan dan takut bila mengkhianati umat, karena menyadari akan kerasnya siksa Allah bagi mereka.

Jika negara menerapkan syariat Islam, segala kecurangan tidak akan di temukan kerena segalanya akan sesuai al-quran dan as-sunnah. Dalam aspek pergantian kekuasaan, sejarah mencatat bahwa sebelum wafat, Rasulullah Saw. tidak menunjuk siapa yang akan menggantikannya dalam kedudukan sebagai kepala negara. Namun, Rasulullah meninggalkan wasiat agar kaum mukmin untuk tetap berpegang pada ajaran al-qur’an dan as-sunnah nabi secara substansial. Di mana di dalam dua sumber utama umat Islam tersebut tradisi musyawarah (syura) diakui dan mendapat keutamaan tersendiri. Dari petunjuk tersebut, sistem pemilihan dan pergantian Khalifah didasarkan pada musyawarah atau kesepakatan umat, bukan semata-mata pertimbangan penunjukkan atau garis keturunan keluarga tertentu.

Sejarah Islam mencatat, pasca Nabi Muhammad wafat prinsip musyawarah dalam pemilihan kepala negara telah berjalan dengan baik. Hal ini karena kaum Muslimin sudah terbiasa menerapkan prinsip ukhuwah Islamiyah, berupaya mengedepankan kesepakatan bersama (musawah) dan menerapkan hasil musyawarah dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang telah berjalan sejak era kenabian. Sebab itu di era khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) mekanisme musyawarah beragam dan mengalami perkembangan sesuai tantangan yang ada saat itu. Perdebatan yang terjadi di dalamnya merupakan hal yang biasa. Namun pada akhirnya para musyawirin dapat mengatasi setiap perbedaan secara baik dan bijak. Khamami Zada (2018) mengutip Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa Al-Nihayat mengungkapkan bahwa terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah melalui pemilihan dan di dalamnya terdapat proses-proses yang terbuka.

Begitulah jika pemilihan pemimpin yang sesuai dengan tuntutan al-qur'an dan as-sunnah secara kaffah tak akan khawatir dengan segala kecurangan, karena meski terjadi perdebatan masih bisa diselesaikan dengan baik.
Wallahu a'kam bi ash shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post