Benarkah Rezim Jilid 2, Semakin Represif ?

Oleh: Rita Handayani 
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Islamofobia adalah istilah kontroversial, yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Muslim. Istilah itu sudah ada sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi lebih populer setelah peristiwa serangan 11 September 2001. Pada tahun 1997, Runnymede Trust seorang asal Inggris mendefinisikan Islamofobia sebagai "rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua Muslim," (Wikipedia).

Celakanya, Islamofobia tidak hanya muncul dari kalangan non-Muslim. Sebagian Muslim sendiri secara vulgar menunjukkan Islamofobia ini, sehingga mereka terdorong untuk melakukan penistaan terhadap Agamanya sendiri. Lebih bahaya lagi ketika rezim penguasa negeri yang terjangkit virus Islamofobia ini. Sudah seharusnya pemimpin negeri yang notabenenya Muslim menjadi penjaga dan penyebaran dakwah Islam. Bukan malah sebaliknya, mendiskriminasi Islam dan ajarannya juga melakukan persekusi dan kriminalisasi kepada beberapa Ulama dan organisasi Islam.

Pada periode pertama rezim ini berkuasa, isu radikalisme sudah dijadikan sebagai senjata untuk memusuhi umat Muslim, Ulama, serta Ormas Islam. Tidak pandang bulu siapapun yang kritis dan berseberangan pendapat dengan kebijakan rezim langsung di label radikalisme, anti pancasila, anti kebhinekaan, dan pemecah belah bangsa. Tidak tanggung-tanggung, isu radikalisme ini juga dipakai oleh rezim yang sedang berkuasa untuk menyerang institusi lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal semacam ini baru pertama kali terjadi, yaitu pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Ketua wadah pegawai KPK, Yudi Purnomo, membantah tudingan  masuknya paham radikalisme di tubuh KPK. Menurut dia, tudingan itu hanyalah bentuk serangan balik terhadap lembaga anti rasuah yang selama ini membongkar kasus korupsi besar tanpa kompromi. "Munculnya isu baru bahwa adanya paham radikal di KPK menjadi pertanyaan besar yang tak terjawab dikarenakan tidak ada indikasi sama sekali bahwa kaum radikal tumbuh di kpk" kata Yudi melalui keterangan tertulis yang diterima tirto.id, Rabu (19-6-2019).

Pada  tahun 2007 pemerintah mencabut Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI. Karena dinilai menyebarkan paham radikalisme. Hal ini dilakukan secara paksa melalu Perpu, tanpa menempuh jalur Hukum. Kepala Bidang advokasi kelompok minoritas dan Rentan LBH Jakarta Pratiwi Febriy mengatakan, "jika orang-orang yang bergabung dalam HTI melakukan pelanggaran hukum atau ancaman keamanan yang dilakukan HTI, maka seharusnya terhadap mereka dilakukan penegakan hukum sesuai aturan yang di KUHP atau aturan pidana lainnya bukan organisasi yang dibubarkan".

Setelah pencabutan BHP HTI secara paksa, ormas Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi target selanjutnya. Ini terlihat dari dipersulitnya perpanjangan ijin keormasan FPI di kemendagri.

Setelah Rezim ini berkuasa kembali untuk kedua kalinya, Islamofobia semakin brutal dan ganas atas nama perang melawan radikalisme. Terbukti dari isu-isu kontroversial yang disampaikan para pejabat negara terkait pemikiran, konsep Agama dan praktek Agama. Seperti larangan memakai cadar, celana cingkrang, pemisahan siswa laki-laki dan perempuan. Menteri Agama Fachrul Razi menganggap itu sebagai ciri-ciri radikalisme. Ini merupakan rasa takut dan benci terhadap Islam (Islamofobia) yang tidak relevan.

Situasi ini memang sangat mencekam bagi umat Islam. Tidak hanya bagi ASN yang menjadi sasaran khusus, namun bagi seluruh umat Islam. Terutama ketika kita ingin mengutarakan pendapat hasil dari buah pemikiran kita. Namun, umat tidak boleh takut terhadap isu-isu yang dilontarkan rezim dan jajarannya. Selama kita berada di jalan yang benar sesuai syariat. Karena ketika rasa takut terhadap manusia itu tumbuh di hati dan pikiran, maka akal kita tidak akan berfungsi dengan waras. Jadi kita harus menjaga kewarasan akal kita. Agar kita tetap bisa berpikir jernih dan tetap taat syariat. Karena sejatinya yang harus kita takuti adalah Allah. Sang penggenggam nyawa kita.

Kondisi ini tentunya menjadi momen terbaik untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan lebih mengoptimalkan ibadah mahdah dan lebih aktif lagi mengikuti kajian-kajian dan diskusi Islam, lebih banyak lagi membaca buku dan artikel-artikel Islam dan tentunya lebih sering berkumpul dengan orang-orang Soleh. Hal ini bertujuan untuk menguatkan iman dan Islam kita dan menguatkan ruh jama'i kita, juga agar persepsi kita tentang taat syari'at tetap teguh, tidak goyah. Dan kita pun bisa lantang menyuarakan kebenaran Islam. 

Kehadiran kita masih dibutuhkan umat, baik di dunia sosial media maupun di dunia nyata. Untuk membangunkan kesadaran umat, bahwa isu radikalisme dengan berbagai bentuk larangan-larangan dalam pemikiran dan praktek agama ini, merupakan pengalihan isu. Di satu sisi untuk menyerang Islam. Sisi lain untuk menutupi kelemahan pemerintah. Ketika pemerintah gagal mengurus rakyatnya, menjual aset-aset negara, dan tunduk pada tekanan asing dan aseng, dan lain sebagainya. 

Untuk itu, kita yang sudah punya kesadaran akan hal tersebut harus siap menjadi agen perang pemikiran, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Untuk membongkar kebobrokan demokrasi yang telah menutup celah muhasabah ke penguasa. Yang mengakibatkan penguasa semakin represif, tendensius dan anti kritik. Dan keberpihakan penguasa lebih kepada kapitalis asing dan aseng dari pada kepada rakyatnya.

Kita butuh perubahan secara revolusioner. Perubahan yang menyeluruh ini harus memenuhi dua syarat. Yakni, dipimpin oleh orang yang baik dan diterapkannya sistem negara yang baik. Tentu aturan yang baik adalah yang berasal dari Allah Swt. Zat Yang Menggenggam alam semesta beserta segala isinya, inilah Syariat Islam. yang harus diterapkan secara total atau menyeluruh (kaffah). Hanya Islam yang mampu membuka lebar celah muhasabah, dengan standar yang jelas yakni hukum syara.

Yakinlah, bahwa fase munculnya rezim ini adalah keniscayaan sejarah. Yang tidak akan bisa dihindari, harus terjadi dan harus kita lewati. Dan bagi pengemban dakwah, yang berada dalam kondisi seperti ini harus lebih optimis. Bahwa faktor kemenangan semakin dekat dengan kembalinya khilafah, setelah masa ketakutan dan kegentingan keamanan. 

Allah Swt Firman dalam QS. An Nur: ayat 55, Yang artinya: "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai_Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik".

Perjuangan di tengah situasi seperti ini memang tidak mudah. Tapi kita diperintahkan untuk tetap sabar dan istiqomah. Sehingga Allah menurunkan ketetapannya, hidup mulia atau mati syahid dalam keadaan berjuang. Semoga hadist di bawah ini cukup menjadi penghibur ditengah berbagai kesempitan yang kita hadapi.

"Teruskanlah olehmu untuk selalu melakukan amar makruf nahi munkar hingga engkau akan menyaksikan kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan, kehidupan dunia yang diutamakan, serta orang-orang yang terpesona terhadap berbagai pendapat yang dikeluarkannya. Hendaknya kamu hanya bergaul dengan orang-orang yang searah denganmu dan jauhilah orang-orang yang awam. Sebab setelah zamanmu itu akan datang suatu zaman penuh cobaan di mana orang yang memegang teguh agamanya ibarat menggenggam bara api. Ketahuilah, saat itu orang yang terus berusaha untuk memegangi agamanya maka pahalanya sama dengan 50 orang yang juga melakukan hal yang sama dari kalian". [HR. Abu Dawud, Al-Malâhim, hadist no. 4319]

Wallahu a'lam bish as shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post