Amandemen UUD 1945, Menakar Sebuah Harga Mati?

By : Ummu Zhafran
Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif

Wacana amandemen Undang-undang Dasar atau UUD 1945 kembali mencuat. Bukan mustahil terus menggelinding bak bola liar. Setelah sebelumnya PDIP mendorong perubahan terbatas untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). (tempo.com, 12/8/2019) 

Kini ramai orang mewacanakan seorang presiden dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode. Ada pula yang mewacanakan presiden hanya dapat dipilih satu kali, tetapi masa jabatannya diperpanjang menjadi 8 tahun.

"Iya memang wacana tentang amandemen ini memang beragam sesungguhnya, ada yang mewacanakan masa jabatan presiden menjadi tiga kali, ada yang mewacanakan untuk satu kali saja tapi dalam 8 tahun. Itu juga kami tidak bisa melarang orang untuk berwacana," ujar Ketua MPR, Hidayat Nurwahid. (kompas.com, 22/11/2019)

Padahal berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 yang masih berlaku, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Total maksimal 10 tahun lamanya.

Wacana amandemen kali ini tak pelak membuat publik khawatir. Konstitusi yang  jadi pondasi negeri lambat laun kehilangan sakralitas. Simbol negara yang digadang-gadang harga mati tak tahunya diubah terus menerus.  

Antara harga mati dan lemahnya manusia
secara bahasa. Harga mati adalah sebuah kata majemuk atau komposisi kata. Idiom ini bermakna  sesuatu yang sudah final atau sudah tidak bisa diganggu-gugat, dengan kata lain sudah tetap. 

Sejak lama slogan harga mati tersemat pada NKRI alias Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan salah bunda mengandung jika dipahami harga mati berikut dengan simbol-simbolnya. UUD 1945 salah satunya. Tetapi, mengapa faktanya terus direvisi dari aslinya?

Data amandemen yang tersaji bukan lagi hal yang baru dilakukan. Tak tanggung-tanggung, sudah sebanyak empat kali sepanjang tahun 1999-2002. Luar biasa pengaruhnya sampai mengubah struktur ketatanegaraan. Mulai dari menghilangkan kedudukan lembaga tertinggi seperti MPR, membatasi masa kekuasaan presiden menjadi hanya 10 tahun, hingga pemberlakuan otonomi daerah. Termasuk menghilangkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Juga dimulainya babak baru pemilu terbuka untuk memilih presiden dan wakil presiden setelah sebelumnya  presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 

Terakhir, amandemen terjadi pada masa sidang tanggal 1-11 Agustus 2002. Perubahan terakhir ini menyangkut beberapa pasal. Salah satunya, anggota MPR terdiri dari DPR dan DPD. (kompas.com, 12/8/2019)

Ironi menyeruak, bila konstitusi yang merupakan dasar negara bisa berulang disalin, lalu di mana letak harga matinya?

Harus diakui seperti itulah sifat dasar produk hukum buatan manusia. Rentan berubah, sangat tergantung ‘cuaca’ kepentingan dan keinginan penentu kebijakan. Walau akal yang membedakan manusia dari hewan tapi tetap saja akal tak akan mampu menjangkau hakikat terbaik dalam kehidupan. Maka mustahil sanggup merumuskan hukum yang adil bagi segenap jenis manusia. 

Ratusan abad sebelum masehi, Plato (lahir 427 SM) telah sadar hal ini. Filsuf Yunani Kuno tersebut menilai  masyarakat yang pastinya manusia merupakan hakim yang tidak becus dalam banyak masalah politik. Masyarakat cenderung memberikan penilaian berdasarkan kebodohan, dorongan hati, sentimen, dan prasangka. (Rapar, J.H. Filsafat Politik Plato, 1996)

Terbayang andai semua manusia memahami hal ini tentu sekularisme menjadi tak laku.  Demokrasi? Akan dianggap basi lalu dibuang tanpa ragu. Sebab keduanya, baik demokrasi maupun paham sekuler meniscayakan aturan berkelindan di antara keinginan manusia alias nafsu.  Kerusakan seperti tingginya kriminalitas, kemiskinan dan korupsi pada akhirnya tak lagi tabu.

Kembalikan pada Al-Khalik.
Bila ditanya siapa yang lebih tahu mengenai suatu ciptaan, Pencipta atau yang diciptakannya? Sudah tentu Sang Pencipta jawabannya. Ia yang Maha Tahu dan karenanya pasti Maha Adil dalam menimbang aturan untuk segenap makhluk-Nya. Bebas dari tendensi sekecil apapun terhadap salah satu golongan manusia di antara yang lain. Baik berdasarkan suku, bangsa maupun agama dan berlaku hingga akhir zaman.  

Allah Swt. menegaskan dalam Kitabullah, 
Artinya:

"Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (TQS. al-Anbiya: 107)

Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam Fathul Qadir menyatakan bahwa makna ayat ini adalah,

"Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat."

Maka agar selamat di dunia dan akhirat sudah seharusnya manusia hidup dengan cara yang ditunjukkan oleh Pencipta manusia yakni Allah Swt. Dengan mengikuti teladan dari Nabi Muhammad saw. Inilah harga mati sejati. Termasuk dalam perkara masa jabatan pemimpin negara. Jika sekarang terbatasnya lama menjabat dinilai membuat pemimpin tak leluasa bekerja, maka sejak awal Islam telah menetapkan hal tersebut.  

Mari simak yang dikatakan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. saat berpidato di hadapan kaum muslim yang datang untuk berbaiat:

“Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku.” (ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, II/238).                                    

Tak disebutkan rentang waktu tertentu dan oleh karenanya merupakan kesepakatan para sahabat radhiyallahu anhum. (Ijma’ sahabat).
                   
Telaah pula keadilan ar-Rahman dalam kutipan Imam Nawawi dari Imam Qadhi ‘Iyadh,

"Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariah, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepada dirinya, dan wajib atas kaum muslim untuk memerangi dan memberhentikan dirinya, sekaligus mengangkat seorang imam adil jika hal itu memungkinkan bagi mereka.” (an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/318)

Alhasil Islam rahmatan lil ‘alamin akan terwujud dengan jalan tegaknya syariah secara kafah. Seperti yang pernah diterapkan sejak masa Rasul saw. di Madinah, khulafaurrasyidin hingga kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah serta yang terakhir Utsmaniyah.

Wallaahu a’lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post