Wamena Berdarah, Bukti Sistem Tak Terarah



Oleh : Sumiati
Praktisi Pendidikan, Member Akademi Menulis Kreatif

Kabar duka kembali menyeruak di bumi pertiwi. Jerit tangis masyarakat lemah sungguh memilukan. Apa daya setiap tangan dan kaki saudara dari berbagai wilayah tak sanggup berbuat apa-apa. Hanya rintihan doa, dan muhasabah penguasa. Berharap besar penguasa segera menyelesaikan kekejian ini.

Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letkol Candra Dianto, mengatakan masyarakat pendatang dan penduduk asli Papua perlu waktu dalam mengatasi trauma menyusul kerusuhan yang terjadi Senin lalu (22/9/2019) di tengah gelombang eksodus berjumlah sekitar 400 orang dan pengungsi lebih dari 5.000 orang.

Trauma dan dendam konflik horizontal yang terjadi saat "Wamena Berdarah" pada tahun 2000 menyebabkan masih ada yang mengingat kejadian itu, kata Chandra.

"Memang perlu ada waktu, sejarah pernah terjadi tahun 2000 yang namanya Wamena Berdarah, di mana konflik horizontal antara pendatang dengan pribumi, terjadi pembantaian besar-besaran," katanya kepada BBC News Indonesia.

"Namun setelah tahun 2000 sampai tahun 2019, masyarakat hidup berdampingan. Tentunya ini perlu ada waktu untuk menghilangkan trauma dan rasa dendam, artinya bahwa banyak rumah, harta benda yang dimiliki oleh pendatang, bahkan rumah-rumah masyarakat pribumi pun banyak yang terbakar di sini, sehingga memang kita memerlukan waktu untuk bisa memulihkan situasi dan menghilangkan rasa trauma dan dendam yang saat ini mungkin masih terasa di masing-masing suku," tambahnya.

Kejadian di Wamena pada 6 Oktober tahun 2000 itu menyebabkan 7 orang Papua dan 24 pendatang meninggal.

Lebih dari 5.000 warga Wamena saat ini mengungsi di markas kepolisian dan militer menyusul kerusuhan. Sekitar 400 memilih pindah ke Jayapura hingga kondisi pulih.

Di antara mereka yang mengungsi adalah Zakaryas (56), -bukan nama sebenarnya- pendatang asal Makassar, Sulawesi Selatan. Saat peristiwa Senin (22/9/2019) lalu, ia dilempari batu oleh massa berseragam sekolah.

"Saya lari lagi, saya suruh anak saya 'ayo semua lari, tutup pintu, semuanya', jadi saya jaga di pintu, takutnya massa masuk di lorong," ungkap Zakaryas, yang mengaku trauma atas kejadian itu, kepada BBC News Indonesia, melalui sambungan telepon (26/09).

"Saya sempat menghalau masyarakat melempar, tapi saya dilempar juga."

Zakaryas menuturkan bahwa rumahnya menjadi sasaran massa. Ia mengatakan bahwa rumah warga "yang terutama dilempar itu, yang mereka ketahui (rumah warga) non Papua". "Itu mereka lempari, bahkan dibakar," imbuhnya.

Konflik yang berulang harusnya tidak terjadi, ini bukan kali pertama kerusuhan ini mengganggu keamanan masyarakat, terlebih bukan hanya mengganggu, namun menakutkan masyarakat. Seharusnya tinggal di mana pun mereka aman, sebab negeri ini memiliki konstitusi yang berkewajiban mengurus rakyatnya hingga kisah berdarah tak terjadi.

Jika penguasa serius menanganinya, tentu hal ini tidak perlu terjadi. Konflik berkepanjangan ini menunjukkan penguasa tak serius meriayah rakyat. Bahkan yang terjadi hingga berbuntut pengusiran warga non Papua. Inilah ikatan sukuisme yang menghancurkan, ikatan yang lemah, hingga hanya sekedar isu tak jelas bisa menyebabkan konflik yang menakutkan. Terlebih negara amat lemah mengungkap makar mabda lain dalam memecah belah umat.

Jika makar asing, penanganan amat lambat dan cenderung tidak diutamakan. Seakan ingin membuat senang sang pembuat makar. Pemberitaan pun tak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Berbeda dengan kasus yang terkait dengan Islam, penguasa begitu cepat tanggap menentukan tersangka, bahkan tak segan tembak di tempat. Sungguh miris bangsa yang besar.  Mayoritas umat Islam, namun tak punya kekuatan. Ibarat buih di lautan terombang-ambing sebagaimana  kepemimpinan penguasa saat ini. Tidak memiliki jati diri yang kokoh dan berwibawa. Memutuskan dan menindak hanya mengikuti siapa yang kuat dan berkepentingan. 

Berbeda dengan Islam yang memiliki aturan sempurna. Tak ada sekat sukuisme, yang ada adalah ikatan akidah yang menyatukan umat bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Tak memandang berasal dari suku mana, selama Islam agamanya, saling melindungi dan saling menjaga. Termasuk terhadap  nonmuslim pun ada pengaturan yang tepat, tidak akan ada yang dizalimi seorang pun. Islam telah mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin. Walaupun berbeda negara, namun Islam mendidik mereka saling mencintai karena Allah, berbagi harta dan tempat tinggal. Masyaallah.
Begitupun di negeri kita tercinta ini.  Seharusnya mampu menjadikan kaum Muhajirin dan Anshar sebagai teladan menyikapi hadirnya tamu di wilayahnya masing-masing.
Wallaahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post