RUU KUHP Menuai Kontroversi, Islam Solusinya

Oleh : Septi

RUU KUHP yang menjadi kontroversi akhirnya ditunda pasca gelombang aksi mahasiswa dari berbagai wilayah di nusantara. Penundaan ini dilakukan untuk meredam aksi protes masyarakat terhadap RUU yang dinilai mengandung pasal-pasal karet dan bermasalah. Mereka menilai RUU KUHP untuk menggantikan KUHP peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda (dekolonialisasi), malah justru lebih kolonial dari sebelumnya.

Di antara pasal-pasal yang dianggap bermasalah adalah:
Pertama, pasal penghinaan presiden
Dalam pasal Pasal 218 ayat 1 disebutkan, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal ini berpotensi menyasar siapa saja yang kritis menyerang presiden, baik serangan fisik maupun verbal. Lentur digunakan oleh kepentingan tertentu. Pasal ini dianggap menghidupkan kembali masa orde baru.

Kedua, hukum adat
Dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 menyebutkan, untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, RUU KUHP mengakui adanya hukum adat. Artinya, siapa saja yang melanggar hukum adat di wilayah tersebut, bisa dikenakan pasal ini.
Bila hukum adat tak menentang syariat Islam mungkin tak menjadi masalah. Namun, bila hukum adat tersebut menentang syariat Islam, bukankah ini sama halnya membatasi setiap muslim menaati syariat Islam?

Pasal ini bakal kontradiksi dengan hal-hal yang berkaitan langsung dalam hal menjalankan ibadah umat Islam. Sebab, standar perbuatan bagi seorang muslim adalah halal haram, bukan hukum adat.
Ketiga, pasal pengenaan denda untuk gelandangan.

Hal ini tercantum dalam pasal 432 RKUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang bergelandangan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp 1 juta.”

Pasal ini dianggap membatasi hak warga negara. Menjadi gelandangan bukanlah cita-cita setiap orang. Bila para gelandangan itu ditanya, mereka pasti juga tidak menginginkan menjalani kehidupan di jalanan. Karena fitrah manusia pasti menginginkan kesejahteraan.

Sayangnya, penerapan sistem kapitalisme telah membuat masyarakat tak berdaya. Pendidikan rendah tak dapat pekerjaan layak. Tak beroleh kerja, terpaksa mereka mengemis di jalan, bahkan menjadi gelandangan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah, bagaimana jadinya bila gelandangan itu dikenai denda? Uang dari mana? Padahal menurut UUD 1945 pasal 34 menyebutkan, (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Artinya, masyarakat yang menggelandang di jalanan harusnya dijamin kebutuhannya oleh negara. Lantas, sudahkah negara (baca: pemerintah) sudah menjalankan mandate UUD 1945 yang katanya menjadi dasar negara ini berdiri?

Janganlah menambah beban rakyat sementara hak-hak pokok rakyat selama ini belum dipenuhi secara maksimal. Memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan adalah kewajiban negara sebagai pelayan dan pengurus rakyat.

Persoalan gelandangan dan kemiskinan adalah masalah sistemik. Selama akar masalah-yakni sistem kapitalis- masih diterapkan, persoalan ini akan tetap bermunculan. Bahkan penerapan pasal ini hanya akan menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan.

Keempat, tentang korupsi
Pelaku korupsi dalam pasal kontroversial RUU KUHP hanya dipidana selama dua tahun. Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dalam KUHP yang lama, yakni hukuman paling sedikit enam tahun penjara. Pasal ini juga dinilai terlalu memanjakan koruptor. Ditambah dengan hadirnya UU KPK yang baru disahkan, RKUHP melengkapi hak-hak istimewa terhadap para napi korupsi.

Bila produk hukumnya begini, pemberantasan korupsi hanyalah mimpi belaka. Ada UU lama saja mereka tak jera, apalagi UU baru yang dinilai banyak menguntungkan para maling berdasi.

Kelima, tentang suami perkosa istri
Hal ini tercantum dalam pasal 480 ayat 1 yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Pasal ini mengarah untuk merusak relasi antara suami dan istri. Tak ada lagi kedudukan suami sebagai qawwam (pemimpin) atas istrinya termasuk dalam hubungan yang amat privat sekalipun.

Karena dalam kaca mata sekuler liberal Barat, istri berdaulat (kontrol seksual) atas tubuhnya. Seorang istri bebas dan berhak menolak ajakan suaminya, berhak menolak hamil, bahkan berhak untuk meluapkan orientasi seksualnya pada apa pun atau siapa pun.

Keenam, tentang perzinahan
Hal ini tercantum dalam Pasal 419 Ayat 1 yang berbunyi,” Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II”

Pasal ini jika dibaca lebih detail terdapat pengecualiannya, bahwa seseorang yang dikenakan pidana perzinaan, HANYA jika ada pengaduan dari suami, istri, orang tua, atau anaknya bahkan kepala desa (pasal 419 ayat 2). Artinya jika tidak ada pengaduan maka dibolehkan.

Hukum Manusia Bermasalah
Dalam menjalani kehidupan, Islam sudah memberikan seperangkat aturan. Allah sebagai Pencipta sekaligus Pengatur hidup manusia tak mungkin membiarkan manusia hidup bebas tanpa aturan. Di sinilah perbedaan mendasar manusia dengan makhluk lainnya.

Allah beri kita akal untuk memahami dan menerapkan ayat-ayat-Nya. Berbeda halnya dengan hewan, tak terdapat akal pada penciptaan mereka. Dan akal inilah yang menjadikan manusia disebut sebagai makhluk termulia. Sebab, dengan akalnya ia mampu membedakan hal baik dan buruk.

Maka dari itu, Allah turunkan Alquran sebagai pedoman hidup manusia. Dengan Alquran itulah baik dan buruk itu dinilai. Perbuatan baik dan buruk dinilai mengikuti perintah dan larangan Allah, bukan akal dan nafsu manusia saja.

Manakala standar baik dan buruk dikembalikan pada penilaian manusia, maka berapa banyak hukum yang dihasilkan dari penilaian tersebut? Sebab, nilai manusia itu relatif. Tidak sama dan berubah-ubah tergantung selera. Oleh karenanya, Allah sudah memberi rambu-rambu yang wajib ditaati berupa syariat Islam.

Ketika manusia mengatur kehidupan dengan pandangannya sendiri, maka hukum itu bias berubah-ubah sesuai kehendak dan kepentingan.

Sebagaimana yang kita lihat saat ini, RUU KUHP menuai kontroversi. 74 tahun kita merdeka, namun masih berkiblat pada UU warisan Belanda. Saat UU ini mau diubah, protes masyarakat tak terhindarkan. Pro-kontra tak terelakkan.

Dari peristiwa ini kita bisa mengambil hikmah. Bahwa hukum buatan manusia dari ‘sono’-nya sudah bermasalah. Tak memiliki konsep filosofi dan ideologi yang jelas. Sering dikatakan bahwa Indonesia berideologi Pancasila. Namun, RUU yang bermasalah itu justru tak berpijak pada Pancasila.

Artinya, dalam melegalkan produk hukumnya saja negeri ini tak jelas merujuk kepada apa. Hukumnya tumpang tindih dan banyak kontradiksi. Banyak UU yang dihasilkan, namun hukumnya tak mampu menurunkan angka kriminalitas. Tak memberi efek jera.

Islam sebagai Hukum Terbaik
Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).

Ketika Islam diterapkan selama 13 abad, sangat jarang terjadi kriminalitas. Syariat Islam ditegakkan bertujuan untuk mencegah kemungkaran dan mendatangkan kemaslahatan. Sistem sanksi dalam Islam diterapkan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Oleh karenanya, sistem sanksi (uqubat) dalam Islam memiliki dua fungsi, sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah, yaitu memiliki efek jera). Islam memiliki landasan filosofis dan ideologis dalam menetapkan hukum. Yaitu memiliki sistem pencegah dan sanksi tegas bagi yang menyalahi syariat Islam.

Banyaknya RUU bermasalah menunjukkan bahwa hukum buatan manusia itu lemah. Mudah diintervensi bahkan direvisi bila tak sesuai dengan kepentingan dan nafsu manusia.

Alhasil, hukum manusia tak memiliki standar baku yang jelas dan tetap. Berbeda dengan Islam. Hukumnya bersumber dari Alquran dan Sunah, manusia hanya menjalankan apa yang termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Standar perbuatan sesuai pandangan Islam, bukan manusia.

Sistem demokrasi telah meniscayakan manusia berhak membuat aturan. Sejauh negeri ini menerapkan sistem demokrasi-kapitalis, tak ada indikasi kebaikan yang diraih. Yang terjadi justru berbagai macam kerusakan, baik spiritual maupun moral. Bukankah kini saatnya kita melakukan evaluasi total?

Ada yang salah di negeri ini. Salah penerapan sistem dan aturan. Saatnya sistem itu diganti dengan sistem yang memberi jaminan penghidupan dan kesejahteraan.

Sistem Islam yang diterapkan oleh negara yang dicontohkan Rasulullah saw dan para Khalifah setelahnya. Yakni sistem Khilafah Islamiyah, bukan demokrasi ala Amerika ataupun komunisme ala Cina.
Sumber : https://www.muslimahnews.com/

Post a Comment

Previous Post Next Post