Revisi UU Pernikahan Solusi KDRT?

Oleh : Annadia Kirana
(Mahasiswi UIN Raden Fatah Palembang)

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengapresiasi DPR (dewan perwakilan rakyat) untuk menyetujui usulan pemerintah soal perubahan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun dan akan dilanjutkan ke tingkat pengesahan.

Hasil rapat kerja Badan Legislatif (Baleg) dan Panitia Kerja (Panja) DPR bersama pemerintah telah mencapai kata sepakat atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu pasal yang direvisi adalah pasal 7 ayat 1. (Beritasatu.com)

Diketahui, keputusan Panja dan Pemerintah saat ini berbeda dari keputusan rapat pada tanggal 3 September 2019. Saat itu, Panja RUU Perkawinan telah menyepakati 18 tahun merupakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki.  

Batas usia pernikahan di UU Perkawinan ini menuai kritik karena dianggap membuka peluang pernikahan anak. Bagaimana hal ini tidak menuai kritik jika soal pernikahan saja usia minimalnya dibatasi bahkan keputusan ini sudah jelas tanpa memperhatikan tingkat kesanggupan seorang yang akan menikah baik dari faktor biologis, faktor ilmu, maupun faktor-faktor yang mendukung lainnya. 

Pernikahan yang tidak dipersiapkan dengan matang tidak akan mampu mencegah adanya percobaan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), UU Perkawinan sesungguhnya  tak mampu dijadikan sebagai solusi.

Sudah kita ketahui bersama bahwasannya meskipun sudah ada UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tetap saja masih ada yang menjadi korban. Hal ini jelas dalam catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus kekerasan perempuan dengan angka yang tertinggi. 

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, menurut salah satu Komisioner Komnas Perempuan Riri Khoriroh angka tertinggi laporan KDRT mencapai 60% dari total seluruh kasus kekerasan pada wanita. (Wolipop.com/senin, 23 September 2019 07:50 wib).

Dalam perspektif Islam ikatan pernikahan merupakan ikatan yang sangat serius. Allah SWT menyifati pernikahan itu sebagai perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizhan). Allah SWT berfirman: “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (TQS. An-Nisa’ [4]:21).

Disifatinya ikatan pernikahan sebagai mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang kuat) menunjukkan betapa seriusnya ikatan itu dihadapan Allah SWT. Di dalam al-Quran sendiri ungkapan mitsaqan ghalizan hanya digunakan sebanyak tiga kali untuk menyifati tiga ikatan (perjanjian) yang diambil oleh Allah SWT. Dari kaum Bani Israel dan perjanjian yang diambil Allah SWT. Dari para Nabi Allah SWT berfirman: “Dan telah kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: “Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud” dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu”, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh” (TQS. An-Nisa’ [4]: 154).

Jika ikatan pernikahan di hadapan Allah SWT, sedemikan serius, maka dalam menyambut ikatan pernikahan itu tentu tidak layak jika hanya kita sambut dengan persiapan biasa-biasa saja atau dengan persiapan minimal atau bahkan tanpa persiapan. Seharusnya untuk menyambut ikatan pernikahan harus melakukan persiapan yang sebaik-baiknya Yakni persiapan maksimal sesuai dengan kemampuannya. 

Kriteria seorang yang sudah siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan beserta tugasnya sebagai bagian dari masyarakat tidaklah dapat diukur hanya berdasarkan usia saja, karena usia tidak dapat dijadikan sebagai sebuah patokan dewasa atau tidaknya seseorang. Dewasanya seseorang dapat dilihat dari bagaimana sikapnya dalam menyelesaikan sebuah masalah yang dihadapinya, dan di dalam kehidupan rumah tangga tak selamanya pengalamannya selalu mulus mesti sedikit paling tidak akan ada masalah yang akan dialami sebagai pengujian seorang yang berumah tangga, karena hal inilah seorang yang akan menikah harus menyiapkan dirinya dengan sangat matang. Persiapan yang harus diwujudkan untuk menyambut ikatan pernikahan ini setidaknya dapat kita kelompokkan menjadi tiga. Pertama, persiapan yang bersifat fisik, Kedua, persiapan yang bersifat psikologis, dan Ketiga persiapan yang bersifat keilmuan.

Kriteria seorang yang sudah siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan beserta tugasnya sebagai bagian dari masyarakat tidaklah dapat diukur hanya berdasarkan usia saja, karena usia tidak dapat dijadikan sebagai sebuah patokan dewasa atau tidaknya seseorang. Dewasanya seseorang dapat dilihat dari bagaimana sikapnya dalam menyelesaikan sebuah masalah yang dihadapinya, dan di dalam kehidupan rumah tangga tak selamanya pengalamannya selalu mulus mesti sedikit paling tidak akan ada masalah yang akan dialami sebagai pengujian seorang yang berumah tangga, karena hal inilah seorang yang akan menikah harus menyiapkan dirinya dengan sangat matang.

Bagi mereka yang akan menjalani kehidupan rumah tangga, persiapan yang harus diwujudkan bukan hanya hal-hal diatas. Karena keduanya, yakni suami dan istri itu, nantinya akan hidup di tengah masyarakat dengan status dan predikat yang baru. Artinya ia juga memiliki peran dan posisi sebagai bagian dari masyarakat. Oleh karena itu persiapan untuk menjalani peran sebagai bagian dari masyarakat tidak boleh dilupakan. Keduanya harus berupaya agar memiliki keterampilan bersosial di lingkungan masyarakatnya. 

Dalam hal ini peran negara tidak hanya cukup bila hanya membentuk suatu peraturan saja namun tidak memberikan pelatihan khusus bagi masyarakat yang akan menjalani kehidupan rumah tangga. Untuk itu dalam menyelesaikan aneka problem dan memperbaiki kehidupan masyarakat, yang harus dilakukan justru kembali pada jalan Islam, yaitu dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian. (TQS. Al-Baqarah [2]: (208).
Wallah a’lam bi ash-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post