Kegagalan Demokrasi dalam Mengurus Negeri



Oleh  : Sumiyah Ummi Hanifah
Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik


Sepertinya tak habis-habis persoalan yang mendera negeri ini. Dari waktu ke waktu selalu ada petaka yang menyapa. Entah itu seperti bencana alam ataupun bencana yang lebih parah dari itu. Yaitu bencana yang disebabkan karena hancurnya sendi-sendi negara dan faktor keserakahan manusia.

Negeri ini sarat dengan multi krisis yang membuat warga negaranya seperti layang-layang yang mudah dikendalikan oleh pihak lain. Bahkan hanya oleh angin sepoi-sepoi yang kekuatannya tidak terlalu besar, tapi sudah bisa menggoyang si layang-layang.

Memang inilah yang terjadi, jika negara tidak memiliki pondasi yang  kuat dalam mengatur negara, landasan yang dipakai terlalu lemah dan banyak aturan yang ditarik-ulur sehingga  masalah sekecil apapun akan menjadi terlihat besar. Hal ini karena ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu dan masalah besar akan dianggap kecil (bila tidak ada kepentingan pihak lain di dalamnya) maka akan dibiarkan mengecil dan semakin mengecil, kemudian hilang dengan sendirinya. Seolah-olah tidak pernah ada. Contohnya ratusan bahkan ribuan kasus mega korupsi yang telah menjadi tradisi di negeri ini. Padahal  seharusnya negara  memberikan  perhatian yang serius terhadap tindakan telah terbukti merugikan negara dan masyarakat ini. Tapi faktanya tidak demikian, justru negara terlihat begitu lemah dan tidak sungguh-sungguh dalam memberantas tindak pidana korupsi. Yang terjadi malah berupaya untuk  memadamkan (menghilangkan) satu-satunya lembaga yang menangani masalah korupsi di Indonesia, yaitu Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Sungguh ironis.

Contoh lainnya adalah ketika pemerintah kita  menangani masalah pekatnya asap karhutla yang menyerang wilayah Sumatera, Kalimantan dan sebagian kota Jambi, beberapa waktu yang lalu. Pemerintah hampir tidak bisa  menemukan solusi jitu untuk mengakhiri permasalahan yang selalu muncul secara rutin tiap tahun ini. Penyebabnya sudah jelas, karena negara masih menggunakan sistem konsesi lahan (yang sangat luas), hingga mencapai ratusan ribu hektar kepada swasta. Padahal inilah yang menjadi biang keladi terjadinya pembakaran hutan. Selain itu, maraknya kebakaran lahan ada kaitannya dengan sistem politik demokrasi yang sarat biaya.
Hingga saat ini negara belum sanggup menghilangkan sistem monopoli penguasaan tanah oleh segelintir orang milik asing dan aseng tersebut.
Negara takut kehilangan para investor asing yang saat ini tengah menikmati kekayaan alam Indonesia.

Kegagalan sistem yang dianut oleh negara terlihat jelas pada saat aparat negara  berhadapan dengan aksi para demonstran. Contohnya seperti yang terjadi di Kendari. Belum lama ini aksi yang bertujuan untuk  menyampaikan  aspirasi kepada anggota DPRD, Sulawesi Tenggara, Kota Kendari, pada Kamis 26 September 2019 yang lalu untuk menolak RKUHP dan UU KPK justru  menimbulkan jatuhnya korban jiwa yaitu La Randi (21 tahun) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19 tahun). Keduanya mahasiswa Fakultas Perikanan dan Fakultas Tehnik Universitas Halu Oleo (UHO) Dan menurut hasil otopsi dokter dan pernyataan Kapolda Sulawesi Tenggara, kedua mahasiswa tersebut meninggal karena tertembus peluru tajam.
Pertanyaannya, kenapa pemerintah tidak sanggup melindungi warganya? Sedangkan untuk melindungi para koruptor kelas kakap dan melindungi aset milik asing selalu sanggup.
Mengapa setiap berhadapan dengan aksi demonstrasi dari masyarakatnya sendiri, aparat negara langsung menggunakan cara-cara lama yang tidak elegan? Yaitu dengan kekerasan. Sehingga seolah-olah terkesan memerangi para demonstran.
Padahal cara tersebut terbukti gagal dan hanya menambah kisruh suasana. Pemerintah  bertindak otoriter dan melampaui batas dalam upaya penjagaan dan pengamanan negara.

Di tengah-tengah  suasana panas tragedi berdarah di Sulawesi Tenggara tiba-tiba mencuat kabar dari bumi Cendrawasih, tepatnya di Wamena, Papua Tengah, yaitu kerusuhan dan perusakan sampai kepada aksi  pembantaian yang dilakukan kepada kelompok minoritas (kaum pendatang) oleh sekelompok massa yang tidak lain adalah Orang Asli Papua (OAP). Peristiwa itu pecah pada tanggal 23 September 2019.
Sebanyak 33 orang menjadi korban kebiadaban kelompok radikal tersebut. (BBC News Indonesia).

Menurut Kodam Jaya Wijaya Letkol Candra Dianto, masyarakat pendatang dan juga penduduk asli Papua perlu waktu untuk menghilangkan trauma atas peristiwa berdarah ini, tutur beliau saat berada di tengah-tengah ribuan pengungsi.
Seperti kabar yang sudah beredar kencang akhir-akhir ini, bahwa penyerangan dan pengusiran yang disertai dengan pembantaian itu mengakibatkan terjadinya gelombang pengungsian besar-besaran di sejumlah tempat.
Mereka mengungsi ke markas kepolisian dan militer di wilayah itu. Mereka berebut menaiki pesawat milik TNI agar segera bisa angkat kaki dari daerah itu.
Namun karena jumlah pengungsi yang mencapai kurang lebih 9000 orang, tentu tidak semua bisa diangkut. Sejumlah 400 orang pengungsi lebih memilih untuk pindah sementara ke Jayapura, sampai keadaan menjadi kondusif kembali.

Korban kerusuhan di Wamena itu kebanyakan disiksa dan dibakar hidup-hidup. Massa yang beringas merusak dan membakar  rumah-rumah, toko-toko dan semua yang bukan milik warga asli Papua.
Diduga ada semacam Ethnic Cleansing (pembersihan etnis) di Wilayah itu. Serangan keji tersebut dilakukan secara masif dan brutal, terlihat dari bagaimana mereka memperlakukan para korban seperti sengaja menunjukan kebiadaban mereka. Contohnya ada bayi yang  ditemukan dengan luka bacok di kepalanya. Sungguh termasuk tindakan yang di luar batas kemanusiaan.
Dari beberapa sumber  mengabarkan bahwa korban pembantaian itu berasal dari luar Papua seperti  Minangkabau, Jawa, Bugis, dan Madura.

Seorang Dokter asal Semarang, Jawa Tengah, yang telah mengabdikan diri sebagai petugas kesehatan di Wamena selama 15 tahun. Ternyata ia harus meninggal dunia secara tragis (dibakar oleh massa) dengan tidak mengindahkan norma dan etika kepada seorang dokter.

Ketua BPN Hidayatullah Papua, Ustaz Muallimin yang merupakan salah seorang ulama yang berasal dari luar Papua dan bekerja sebagai pengajar di Pondok Pesantren al-Istiqomah, di Walesi, Kab Wamena.
Beliau sangat terpukul dengan adanya kerusuhan yang berbau rasis ini. Dilema melanda para da'i tersebut, karena nyawa mereka terancam, sementara pihak keluarga  menghendaki agar anggota keluarga  mereka segera meninggalkan wilayah konflik dan pulang ke kampung halamannya. Namun berat bagi mereka bila harus meninggalkan para santrinya yang kebanyakan orang asli Papua, sekaligus tak rela jika jerih payah perjuangan dakwah mereka untuk menyebarluaskan pemahaman dan  ajaran Islam akan berakhir dan kandas. Sebab tanpa adanya para pengurus (guru) yang mendampingi,  para santri dikhawatirkan akan kembali kepada zaman kejahiliahan.
Begitu pula dengan para santri yang menolak jika ditinggalkan oleh guru-guru mereka, bahkan mereka rela menjaga sang guru siang dan malam.

Warga Papua sangat membutuhkan tangan-tangan penguasa untuk ikut terjun langsung ke daerah mereka,  agar konflik yang terus-menerus dihembuskan itu bisa mereda.
Persoalan pelik seperti itu jelas tidak bisa ditangani sendiri oleh Pemda setempat, organisasi atau pihak swasta lainnya. Tapi harus diurus sendiri oleh negara. Karena negara berkewajiban menjaga seluruh wilayah kekuasaannya dari gangguan dan ancaman pihak manapun. Serta melindungi nyawa rakyatnya. Bila nyawa rakyat saja tidak dilindungi, lantas apa fungsinya negara?

Bila kita amati kasus di Wamena, Para korban dibantai hanya karena mereka warga pendatang, apa salahnya menjadi pendatang? 
Toh banyak pejabat yang sekarang sedang duduk manis di Gedung DPR Dan gedung-gedung pemerintahan  lainnya di Jakarta, bukankah mereka juga termasuk warga pendatang?

Apapun alasannya,  tindakan brutal seperti yang terjadi di Wamena itu tidak bisa dibiarkan. Tetapi harus segera diselesaikan dengan tindakan tegas. Seorang kepala negara memiliki kebijakan dan wewenang untuk mengatasi kemelut di Wamena. Jadi bukan sebatas menunjukkan rasa empati belaka, karena penanganan kasus-kasus besar itu perlu langkah nyata bukan teori semata.

Sebagai umat manusia kita tentu  mengutuk keras tindakan sadis tersebut, terlebih lagi kebanyakan korban adalah saudara kita muslim. Sedangkan dalam ajaran Islam, satu nyawa umat muslim itu sangat berharga lebih berharga dari dunia dan isinya. Ada juga  pembunuhan yang diperbolehkan oleh syariat Islam  seperti hukum  qishas, rajam bagi para pelaku zina (yang telah menikah) dan  hukum dibunuh bagi orang-orang yang murtad (memusuhi Allah dan Rasul-Nya). Hal itu tentu harus melewati syarat-syarat sesuai hukum syariat Islam.
Islam adalah satu-satunya agama yang diridai oleh Allah Swt Zat yang Maha Pengatur setiap aspek kehidupan.

Sabda Baginda Rasulullah Saw, dalam hadits shahihnya.

"Dari A'isyah Ra dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: "Tidak halal membunuh orang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga sebab: orang berzina muhshan, maka dirajam, lelaki yang membunuh orang muslim dengan sengaja, maka ia dibunuh, dan lelaki yang keluar dari agama islam dan ia memusuhi Allah dan utusan-Nya, maka Ia dibunuh atau disalib atau dibuang dari bumi".
(H.R. Abu Dawud dan Nasa'i).
Hadistts ini dishahihkan oleh Hakim.

Melihat realita yang ada rakyat jadi mempertanyakan sikap pemerintah yang santai di saat korbannya adalah umat Islam. Coba saja jika pelaku pembantaian itu adalah umat Islam, maka pasti negara akan ribut dan langsung bergerak cekatan untuk menangani para korban. Dengan alasan kemanusiaan dan akan segera bertindak tegas terhadap pelaku pembantaian yang kemudian dituding telah melanggar HAM.

Semua orang akan berpikir, bagaimana mungkin seorang kepala negara bersepeda ria dan kemudian berdendang mesra dengan artis-artis Ibu kota, sedangkan rakyat di ujung timur Indonesia sana bermandikan darah? Sikap dan karakter pemimpin negara seperti itukah yang pantas menjadi teladan bangsa?

Pemimpin seperti itu memang selalu ada di alam demokrasi- kapitalisme.
Negara kita termasuk salah satu negara yang sudah berpuluh tahun hidup dalam kungkungan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini tolok ukur  perbuatan adalah materialistik bukan keridaan Allah. Sehingga setiap aktivitas hanya bermotif mencari keuntungan semata.
Begitupun dalam mengatur negara, prinsipnya banyak yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya, tapi kurang peduli dalam mengurusi kepentingan umum atau masyarakat luas.

Pemerintah menitik beratkan daerah Papua dengan program-program fisik, seperti pembangunan infrastruktur yang menghabiskan dana hingga 105 triliun, dari tahun 2002- 2018 silam, dan diketahui bahwa proyek raksasa tersebut melibatkan investor-investor  asing yang berarti melalui pinjaman luar negeri  dengan iming-iming pemerataan hasil-hasil  pembangunan. Namun faktanya infrastruktur yang dibangun sarat politik tersebut tidak menjamin kesejahteraan dan kedamaian rakyat Papua.

Tatanan dasar kapitalisme yang mendewakan visi materialistik terbukti gagal memanusiakan manusia. Sehingga mereka nampak bagai srigala pemangsa (Homo Homini Lupus).

Demokrasi-kapitalisme adalah sistem atau aturan  buatan manusia yang penuh dengan kekurangan di sana-sini sehingga sering direvisi. Karena dinilai sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi yang ada.

Berbeda sekali dengan sistem Islam (khilafah) yang tidak perlu  diotak-atik lagi oleh manusia. Karena hukum Syariat Islam itu merupakan satu-satunya hukum yang diciptakan oleh Allah Swt. Karena Allah juga yang telah menciptakan manusia itu sendiri tentu dijamin kebenarannya dan mustahil ada keraguan di dalamnya.

Sistem khilafah merupakan satu-satunya institusi politik yang memiliki visi dan misi yang shahih (benar), bersumber dari kitabullah, dan telah terbukti selama 1300 tahun lamanya menempatkan manusia pada posisi yang mulia.
Sistem khilafah telah berhasil memimpin dunia dan menorehkan tinta emas peradaban Islam yang agung, mampu mensejahterakan manusia, muslim maupun non muslim.
Menjadikan bumi Ini baldatun, toyibatun, wa rabbun ghafur.
Saat ini khilafah tidak diterapkan dan yang terjadi adalah munculnya tindak kekerasan, kerusuhan, sampai pada pembantaian manusia, karena khalifah adalah Perisai (pelindung) bagi seluruh warga negaranya.

Sudah saatnya masyarakat sadar, bahwa sistem yang ada saat ini adalah sumber permasalahan di dunia dan akhirat.
Sistem demokrasi terbukti gagal, tak mampu mengatasi setiap problematika kehidupan, sistem yang mudah dipatahkan kebenarannya karena berasal dari buah pikir akal manusia yang lemah dan terbatas. Bukan berasal dari wahyu Allah Swt.
Kegagalan dan  kejanggalan mendominasi  kebijakan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi-kapitalisme ini. Hal ini menjadikan semua orang semakin yakin betapa lemah dan rapuhnya bangunan negara yang berasaskan  demokrasi, sudah saatnya kini  mengganti sistem warisan penjajah ini, dengan mengunakan sistem yang berasal dari Sang Khaliq, yaitu  Khilafah Rasyidah 'alaa Minhajin Nubuwwah. Insya Allah.

Wallahu a'lam bi  ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post