Infrastruktur Untungkan Kapital

Oleh : Tri maya 
(Anggota Revowriter)

Desain Jembatan Tol Balikpapan-Penajam Paser Utara (PPU) masih kemungkinan berubah lagi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) menyebut, hingga sekarang belum ada desain yang final. Termasuk tinggi jembatan tol laut yang dipersoalkan masyarakat pelayaran Kota Minyak. Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR Endra Saleh Atmawidjaja menuturkan, penyusunan desain Jembatan Tol Balikpapan-PPU baru dilakukan pada tahapan lelang pembangunan. Saat ini baru memasuki tahapan persiapan lelang investasi di Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Sebab, ucap dia, nantinya pembangunan jembatan tol atas laut pertama di Kalimantan itu tidak akan menggunakan APBD maupun APBN. Namun, menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Murni dibiayai swasta atas prakarsa badan usaha atau unsolicited project melalui konsorsium PT Tol Teluk Balikpapan. “(ketinggian jembatan tol) Itu enggak ada masalah. Sebab, masih desain usulan awal. Jadi, nanti kami akan melakukan penyesuaian. Sesuai masukan stakeholder terkait,” kata dia saat dihubungi Kaltim Post. Lanjut dia, perubahan desain akan terlihat saat memasuki tahapan lelang pembangunan. Desain resmi Jembatan Tol Balikpapan-PPU akan dibahas pada tahapan tersebut. Termasuk ketinggian jembatan tol di atas laut tersebut. Apakah tetap 50 meter sesuai izin dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) atau 65 mdpl sesuai permintaan pengusaha. Jika perubahan desain dilakukan, konsekuensinya terjadi penambahan biaya pembangunan Jembatan Tol Balikpapan-PPU. Dengan ketinggian 50 mdpl dan panjang sekitar 7,9 kilometer, perkiraan biaya pembangunannya sekitar Rp 16 triliun. “Tetap ada risiko seperti itu. Enggak apa-apa. Kan ini masih tahapan persiapan (lelang investasi). Apapun usulannya, tetap akan kami pertimbangkan,” imbuh pria berkacamata itu.

Pihaknya mengupayakan lelang investasi bisa segera dirampungkan. Dilanjutkan dengan lelang pembangunan Jembatan Teluk Balikpapan. Yang ditargetkan bisa diselesaikan paling lambat akhir 2019. “Masih ada beberapa bulan lagi. Semoga lelangnya bisa selesai tahun ini,” harap pria lulusan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Dihubungi terpisah, Bupati PPU Abdul Gafur Mas’ud mengatakan, soal ketinggian Jembatan Tol Balikpapan-PPU sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Termasuk masyarakat pelayaran yang diwakili Indonesian National Shipowners Association (INSA) Balikpapan. Keberatan juga disampaikan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Balikpapan.

Pasalnya, para pengusaha jasa maritim menilai, ketinggian jembatan tol 50 mdpl bakal membatasi lalu lintas kapal besar di perairan Teluk Balikpapan. “Jadi, sudah tidak perlu dibahas lagi. Sudah klir dan sudah masuk lelang (investasi). Wali Kota (Balikpapan) juga sudah setuju kok. Masalah ketinggian (jembatan tol) itu urusan Kementerian Perhubungan. KSOP tidak perlu keberatan karena hanya UPT Kementerian Perhubungan,” ketus dia.

Dari paparan fakta yang terjadi terkait dengan pembangunan jalan tol ini, maka sudah sangat jelas terlihat untuk kepentingan siapa kah pembangunan infrastruktur (jalan tol )ini? Lantas bagaimana sebenarnya sudut pandang Islam tentang pembangunan infrastruktur. 

Masalah yang dihadapi oleh dunia Islam, termasuk Indonesia, dalam membangun proyek infrastuktur adalah kesalahan dasar, akibat pilihan sistem ekonomi yang salah dan merusak. Akibatnya, dengan seluruh kekayaan yang dimilikinya, tidak mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Jangankan untuk membangun infrastuktur, untuk membiayai biaya penyelenggaraan negara saja harus berhutang. Itupun sudah ditambah dengan pendapatan melalui pajak yang prosentasenya mencapi 80 persen. Ini karena kekayaan tersebut tidak masuk ke kas negara, tetapi masuk ke kantong swasta, baik domestik maupun asing. 

Kebijakan Pembangunan
Kebijakan mendasar dalam negara khilafah terkait dengan pembangunan tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan. Negara khilafah yang pasti akan membuang jauh-jauh sistem yang digunakan sekarang. Sebagai gantinya, khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam secara utuh dan murni. Ini menyangkut kepemilikan, pengeloaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya itu, negara khilafah juga memastikan berjalannya politik ekonomi dengan benar. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, khilafah akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga.

Dengan begitu, ketika negara mengalami situasi di mana harus membangun infrastuktur, baik karena ledakan penduduk, maupun keterbatasan sarana dan prasarana, maka negara mempunyai banyak pilihan. Karena, masalah penyelenggaraan negara sudah selesai. Masalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya juga sudah selesai. Dengan kata lain, negara lebih leluasa membuat kebijakan. Pada saat yang sama, kebijakan itu tidak akan membebani rakyatnya, sebagaimana yang dialami oleh rakyat di negeri ini.

Bagaimana Caranya? 
 Pertama, tentu khilafah bisa membangun infrastruktur dengan dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Apakah itu mungkin? Tentu, sangat mungkin. Dengan kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara, maka tidak ada yang tidak mungkin. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah khilafah di masa lalu, baik di zaman Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah. Contoh mutakhir adalah proyek pembangun rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul. Proyek ini dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun. Bukti peninggalan ini masih bisa dilihat di Madinah. Bahkan, hebatnya Sultan Abdul Hamid II membangunnya dengan dana pribadinya. Hal yang sama juga bisa kita temukan pada proyek saluran air bersih di Jalur Armina [Arafah-Mina-Muzdalifah]. Di sini bisa kita temukan Qanat Zubaidah [Jalur Air Zubaidah]. Zubaidah adalah istri Khalifah Harun ar-Rasyid dari Khilafah ‘Abbasiyyah. Bahkan, proyek ini terhubung hingga ke Baghdad dengan Birkah [Situ] dan ‘Ain Zubaidah [Mata Air Zubaidah]-nya. Proyek ini pun dibiayai oleh istri sang Khalifah.

Kedua, jika Baitul Mal tidak ada dana, baik karena terkuras untuk peperangan, bencana maupun yang lain, lalu bagaimana? Dalam hal ini, harus dilihat. Jika proyek infrastuktur tersebut memang vital, karena merupakan satu-satunya fasilitas umum yang dibutuhkan, atau karena satu dan lain hal, sehingga harus ada guna mengatasi ledakan penduduk maupun ketidakcukupan daya tampung. Dalam kondisi seperti ini, negara bisa mendorong pastisipasi publik untuk berinfak. Jika tidak cukup, maka kaum Muslim, laki-laki dan mampu dikenakan pajak khusus untuk membiayai proyek ini hingga terpenuhi. Pada saat yang sama, negara bisa mengajukan fasilitas kredit, baik kepada negara maupun perusahaan asing, tanpa bunga dan syarat yang bisa menjerat negara. Negara akan membayarnya dengan cash keras, setelah dana infak dan pajak tersebut terkumpul. Namun, kebijakan ini ditempuh dalam kondisi yang sangat terdesak. Meski, kemungkinan ini sangat kecil, mengingat sumber kekayaan negara khilafah yang membentang di 2/3 dunia saat sangat fantastis dan luar biasa.

Adapun, jika proyek infrastuktur tersebut tidak vital, maka negara tidak perlu menarik pajak dari masyarakat. Artinya infrastruktur ditujukan murni untuk kemaslahatan umat. Bukan pesanan atas kepentingan capital. Dan Negara juga tidak boleh mengambil fasilitas kredit, termasuk berutang kepada negara atau perusahaan asing untuk membiayai proyek ini.  Utang luar negeri dikucurkan langsung oleh negara, atau melalui badan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Faktanya, baik langsung maupun melalui badan internasional, utang luar negeri ini sama-sama berbahaya. Karena utang luar negeri ini telah digunakan sebagai alat untuk menguasai dan menjajah sebuah negara. Selain menggunakan riba, di dalamnya juga ditetapkan berbagai syarat yang mengikat negara penerima utang.

Oleh karena itu, negara khilafah tidak akan mengambil utang luar negeri yang seperti ini untuk membiayai pembangunan proyek infrastukturnya. Mengambil pembiayaan dari utang ataupun investasi telah membuka pintu penjajahan bagi negara. Dalam kasus-kasus seperti ini, negara khilafah akan cermat, dan tidak mudah tertipu, sehingga masuk dalam perangkap penjajahan. Wallahu a’lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post