HEALTY DIET, SOLUSI TAK MENGAKAR SOAL PANGAN

Oleh : Risnawati 
(Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)

Topik swasembada pangan menarik untuk diperbincangkan mengingat Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara butuh ketahanan pangan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Desember 2014 silam pernah berjanji mengupayakan swasembada pangan dalam tiga tahun pemerintahannya, namun belum sepenuhnya tercapai. Apa tantangan dan bagaimana solusinya, ternyata Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla memberikan sedikit bocorannya. 

Pada Desember 2014, tepatnya dalam acara kuliah umum di Balai Senat Balairung Universitas Gajah Mada (UGM), Presiden Jokowi pernah mengatakan RI bakal swasembada pangan dalam 3 tahun. Ketika itu Jokowi baru sekitar 2 bulan menjabat sebagai Presiden RI.

“Sudah hitung-hitungan, tiga tahun tidak swasembada, saya ganti menterinya. Yang dari fakultas pertanian bisa antre. Tapi saya yakin bisa, hitung-hitungannya ada. Konsentrasi 11 provinsi,” kata Jokowi di Balai Senat Balairung UGM, Yogyakarta, Selasa (9/12/2014) silam.

Namun, kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Berdasarkan data Ombudsman RI, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton, sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton. Jumlah total impor akan meningkat jika Pemerintah melakukan kembali pada tahun 2019. Namun dengan jumlah stok yang relatif memadai (2,1 juta ton di akhir 2018), diperkirakan Pemerintah tak perlu memerlukan impor di tahun 2019, kecuali terjadi krisis besar. Sedangkan total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton. Terkait swasembada pangan, Wapres JK membandingkan kondisi swasembada beras saat ini dengan era Presiden Soeharto. Menurutnya, upaya swasembada sekarang sulit diwujudkan karena situasinya berbeda. “Waktu zaman Pak Harto kita bangga swasembada (yang dimulai tahun) 70-an,” ujar JK dalam acara Dialog 100 Ekonom di Jakarta Selatan, Kamis (17/10).

Ekonomi Neoliberal, Akar Masalah Pangan
Negeri subur ternyata tidak selamanya makmur. Kebijakan pertanian dan perdagangan yang amburadul terbukti telah membuat Indonesia sebagai negara agraris ini terus menerus dihantui krisis kelangkaan pangan. Rakyat kembali jadi korban, terutama mereka para perajin dan pemilik industri kecil, sebagaimana terjadi dalam kasus tempe-tahu belakangan ini. Jika ini terus terjadi dalam jangka panjang, tentu akan memengaruhi pertumbuhan dan kualitas hidup rakyat. Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak dalam rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Program swasembada hanyalah isapan jempol semata. Sementara permainan kartel benar-benar telah membuat harga terus melambung tinggi, meski harga internasional menurun.

Persoalan hilir dari buhul besar masalah ketahanan pangan adalah kemiskinan dan kurang gizi. Kemiskinan di pedesaan yang berimbas pada ketidakmampuan masyarakat memenuhi pangannya secara berkualitas dan kontinyu adalah buah penerapan sistem ekonomi neoliberal kapitalisme. Disamping itu tampak pula lepas tangannya pemerintah dalam mengurusi rakyatnya dengan cara memandirikan keluarga-keluarga petani dan petani-petani rakyat namun disisi lain, korporatisasi pangan tidak dihentikan. Ketahanan pangan bagi seluruh rakyat akan terwujud hanyalah jika pemerintah hadir secara utuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat disertai penghentian implementasi sistem eko neolib kapitalisme yang menyebabkan terjadinya korporatisasi pangan. 

Hal ini menjelaskan sebagian persoalan pangan Indonesia yang besar dan rumit merupakan bukti kapitalisme sebagai biang dari krisis sektor pangan serta lemahnya kebijakan dan tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi hak atas pangan seluruh rakyat.

Islam Solusi Tuntas Persoalan Pangan 
Lalu bagaimana Islam memberikan jawaban dalam masalah ini? Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan. Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).

Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mustlâ mengungkapan, dalam Islam, pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama: dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi), seperti melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas tanah. Kedua: dengan ekstensifikasi (perluasan), seperti menambah luas area yang akan di tanam. Supaya lebih strategis, kebijakan politik pertanian ini harus dipadukan dengan strategi politik industri. Sebab, berbicara tentang peningkatan produktivitas pertanian, mustahil kita menafikan adanya mekanisasi pertanian yang dihasilkan dari mesin-mesin pertanian produk industri.

Syaikh al-Maliki juga menyebutkan, politik industri ditegakkan untuk menjadikan suatu negara sebagai negara industri. Menjadi negara industri bisa ditempuh satu jalan saja, yakni dengan menciptakan industri alat-alat (industri penghasil mesin) lebih dulu, termasuk peralatan mesin mekanisasi pertanian. Selama berbagai peralatan pertanian kita masih bergantung pada Barat, selamanya pula Barat terus berkesempatan untuk mendikte dan menguasai kita. Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian. Di samping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut dirampas oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR. Bukhari). 

Dengan demikian, maka tanah akan terdistribusi kepada rakyat. Dan lebih dari itu akan terjamin bahwa tanah yang ada akan produktif dan meminimalkan bahkan menghilangkan adanya tanah terlantar. Dan ketahanan pangan pun adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, hanya sistem Islam dibawah naungan Khilafah yang memiliki solusi tuntas dan komprehensif dalam masalah pangan (paduan kebijakan politik, ekonomi dan pertanian). Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Maka, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya. Walhasil, kuncinya adalah satu, yakni segera kembali pada aturan-aturan Islam. Lagi-lagi, di sinilah pentingnya penguasa negeri ini untuk segera menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan, termasuk dalam bidang pertanian. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Post a Comment

Previous Post Next Post