Derita Rakyat Dalam Lingkaran Pajak

By : Ratna Munjiah 
(Pemerhati Masyarakat)

Meski saat ini penghasilan sarang burung walet di Bontang tergolong minim, namun tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak menyetorkan pajak kepada daerah. Ini ditegaskan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bontang Sigit Alfian. Ia mengatakan, hal tersebut sudah menjadi kewajiban bagi setiap pengusaha dalam mendirikan usahanya. "Ini menjadi salah satu pendapatan pajak daerah," ujarnya.

Apalagi telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Bontang Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet. Meski beberapa tahun terakhir, pendapatan pajak daerah bidang walet nihil. Mantan Sekretaris Badan Kepegawaian, Pelatihan, dan Pendidikan (BKPP) Bontang, itu menyampaikan diupayakan mulai tahun depan akan dioptimalkan kembali penarikan pajak walet tersebut."Tergantung kesadaran mau bayar pajak atau tidak," ucapnya.

Dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan memungut pajak bisnis sarang burung walet, Pemkot Bontang menetapkan sebesar 10 persen, dari hasil total produksi pengusaha. Besaran pokok pajak sarang burung walet yang terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif pajak sarang burung walet 10 persen dengan dasar pengenaan pajak. Sigit memperkirakan dengan kondisi penghasilan walet saat ini, daerah masih mampu mengumpulkan pajak Rp 200 juta lebih setiap tahunnya. Jika dirata-ratakan setiap pengusaha menghasilkan 1 kilogram sebulan dari perkiraan 461 bangunan sarang walet.

Anggap lah sekilonya Rp 10 juta. Kemudian diambil pajaknya sekian persen sesuai aturan," jelasnya. Sementara itu, jika dibandingkan dengan jumlah bangunan sarang burung walet dengan pendapatan pajak tentu sangat tak sesuai. Bangunan sarang walet terus berjejer setiap kelurahan di Kota Taman. Potensi pajak sarang burung walet di wilayah Bontang cukup besar, akan tetapi pundi-pundi rupiah itu belum tergali secara maksimal dan memberikan sumbangsih kepada daerah. Sosialisasi kepada petani maupun pengusaha tentu masih perlu dilakukan. Sehingga, para pelaku bisnis usaha tersebut dapat memahami kebijakan yang dilakukan pemerintah.( https://bontang-prokal.co/eead/news/62186-air-dan-batu-bara-jadi-masalah.html)

Sistem Kapitalis Memaksa Rakyat Membayar Pajak

Pajak saat ini telah benar-benar dijadikan sebagai alat bagi negara untuk memalak rakyatnya. UU terkait pajak pun semakin diperluas dan menyasar semua usaha tak peduli usaha rakyat itu mendapatkan keuntungan atau justru malah buntung.

Ya, inilah yang terjadi pada negeri yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai pendapatan utamanya, bahkan tak segan-segan memberikan sanksi bagi rakyat yang dianggap melanggar untuk tidak membayar pajak. Saat ini semakin terasa bagaimana negara terus mencekik rakyatnya, memeras darah dan keringat rakyatnya, melalui kebijakan-kebijakan zhalim, sementara disatu sisi kita melihat bagaimana penguasa dan pengusaha justru dibebaskan dari pajak. Sungguh sebuah kebijakan yang sangat menyakitkan.

Dalam sistem kapitalis pajak ditarik melalui semua sektor usaha untuk dijadikan sebagai PAD (Penghasilan Asli Daerah). Dan pajak yang ditetapkan pun nilainya tidak main-main, yang membuat para usahawan atau para pekerja mengerenyitkan dahi. Pemungutan pajak dalam sistem kapitalis dilakukan terhadap seluruh warga negara secara permanen dan berkelanjutan. Dalam sistem ini pemerintah akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan dana besar dari pajak. Tidak ada lagi pelayanan kepada rakyat, apalagi rakyat  miskin.

Pajak semakin mencekik rakyak merupakan akibat dari adanya pelaksanaan kebijakan negara menerapkan sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Dakam sistem sekuler kapitalis liberal menghalalkan segala cara untuk menghisap darah rakyat. Dalam sistem ini pajak merupakan jantungnya perekonomian liberal. Apapun akan dikenakan pajak. Sistem ini menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara sehingga merugikan bahkan menzhalimi rakyat banyak.

Sesungguhnya penetapan pajak bagi rakyat adalah pekara yang menzhalimi rakyat, saat sistem ini dipertahankan maka tentu akan mencari berbagai dalih agar penetapan pajak ini bisa dianggap benar.

Pajak Dalam Pandangan Islam

Terdapat perbedaan yang mendasar antara pajak dalam sistem Islam dan pajak dalam sistem kapitalis. Dalam pandangan Islam pajak disebut dharibah, dan hanya dipungut dalam kondisi kas negara kosong dan dipungut hanya dari orang-orang kaya saja. Penarikan dharibah ini juga dilakukan secara temporar hingga kas negara terpenuhi. Selebihnya, pemasukan negara dalam Islam didapatkan dari berbagai macam pos-pos pemasukan yang diijinkan oleh Asy-Syari'e berupa harta-harta fai dan kharaj, pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dan pos khusus pemasukan zakat. ( Khusus pos pemasukan yang terakhir, ia tidak boleh bercampur dengan pemasukan-pemasukan lainnya dan tidak boleh dialokasikan selain kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat).

Allah SWT tidak pernah membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah SWT dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama.

Allah SWT berfirman:"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil..."(An-Nisa: 29). Dalam ayat tersebut Allah SWT melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang bathil untuk memakan harta sesamanya.

Dalam sebuah hadist yang shahih Rasulullah SAW bersabda:' Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya" Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadist yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi penatiknya, di antaranya bahwa Rasulullah SAW bersabda:" Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka"(HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah:7).
Dan hadist tersebut dikuatkan oleh hadist lain, seperti :"Dari Abu Khair Radhiyallahu'anhu beliau berkata,"Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu'anhu, maka ia berkata:"Sesungguhnya pajak (diadzab) di neraka" (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).

Imam Nawami Rahimahumullah menjelaskan bahwa dalam hadist ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung di antaranya ialah:"Bahwasanya pajak termaksud sejahat-jahatnya kemaksiatan dan termaksud dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti" (Lihat:Syarah Shahih Muslin 11/202 oleh Imam Nawawi).

Sejatinya sistem ekonomi Islam tegak di atas paradigma lurus, dengan mengoptimalkan anugerah kekayaan alam yang diberikan Allah SWT dengan pengaturan yang benar dan membawa manfaat bagi semua. Islam memiliki aturan yang khas tentang bagaimana mendapatkan sumber pemasukan keuangan negara sehingga tidak menindas rakyatnya dengan pajak untuk mendapatkan pemasukan. Oleh karena itu sudah selayaknya sistem Islam diterapkan untuk mengatur urusan umat sehingga seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan.Wallahua'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post