Yang Tua Jangan Mau Kalah Dengan Anak Muda

Oleh: Ummu Muslimah

Jadi pengemban dakwah? Hmm di mata ibu-ibu bisa nggak sih ngurus anak, ngurus suami dan sederetan aktivitas yang lainnya. Sepertinya jabatan ini kalah menarik dibanding kontes menduduki bagian-bagian penting dalam anggota DPR. Zaman sekarang katanya emansipasi, jadi banyak nih perempuan-perempuan berlomba- lomba duduk di pemerintahan, tetapi kalau diajak dakwah ehm... Mikir-mikir lagi, katanya sibuk urus anak. Meski kagak pakai audisi atau ekstradisi yang bikin sensasi, tetep aja ibu-ibu yang terjun ke dunia dakwah bisa dihitung menggunakan jari. Padahal untuk jadi pengemban dakwah, nggak kudu harus pintar, guru, dosen atau aggota DPR. Ya, cukup bermodalkan keimanan, ilmu, dan kemauan. Sayangnya, justru tiga faktor itu yang lumayan langka ditemukan pada ibu-ibu masa kini  yang kian terhipnotis dengan gaya ala sosialita. 

Banyak ibu-ibu ketika ditanya  kenapa nggak atau belum mau ikut berdakwah? Pasti mereka segera ngeluarin kunci pamungkas dengan berbagai alasan, namun disisi lain sebagian dari mereka paham jika dakwah itu wajib. Masalahnya adalah banyak yang merasa belum siap menghadapi resiko dakwah. Emang apa sih resiko dakwah? 

Itu lho, dikucilkan sama para ibu sosialita, ada sebagian rumor yang beredar bahwa ada ibu-ibu dimarahin suami karena sibuk dakwah hingga tidak memperhatikan kondisi rumah, ada yang berdebat dengan suami gara-gara beda pendapat tentang sistem demokrasi, ada yang sibuk mengurus kehidupan orang lain tetapi hidupnya sendiri belum benar, dan lain sebagainya. Hmm itu sih sederetan gosip seputar ibu-ibu, tapi ketika diberi penjelasan masih aja ada alasan, duh dakwah itu ribet deh apalagi kalau anak-anak masih kecil.

Hal seperti ini yang terkadang menjadikan orang ragu untuk terjun ke dunia dakwah, belum mencoba dan terjun langsung dalam dunia dakwah eh malah mundur duluan. Masalah seperti ini lebih dikhawatirkan manusia dibanding ridho Allah yang menyertai setiap aktivitas dakwah. Rasa takut dan cemas pada akhirnya menjadi alasan disaat ada kesempatan untuk berdakwah. Jangankan jadi pengemban dakwah, sekadar menyuarakan Islam aja sudah ciut duluan, dengan alasan  belum punya ilmu yang memadai, gimana mau punya ilmu kalau belajarpun enggan. 

Pengemban Dakwah Disayang Allah
Ini menjadi peringatan bagi kita sebagai ibu-ibu yang masih sibuk dengan urusan dunia, kalo jadi pengemban dakwah udah pasti disayang Allah, sebagaimana firmanNya dalam surat Fushilat, yang artinya:
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru manusia menuju Allah?" (TQS. Fushhilat [41]: 33) 

Menurut Imam al-Hasan, ayat di atas berlaku umum buat siapa aja yang menyeru manusia ke jalan Allah (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi). Mereka, menurut Imam Hasan al-Bashri, adalah kekasih Allah, wali Allah, dan pilihan Allah. Mereka adalah penduduk bumi yang paling dicintai Allah karena dakwah yang diserukannya. Jadi jelas kan menjadi seorang pengemban dakwah akan menjadi kesayangan Allah Ta'ala.

Selain itu, pujian bagi para pengemban dakwah senantiasa disampaikan Rasulullah Saw untuk mengobarkan semangat para sahabat dan umatnya. Seperti dituturkan Abu Hurairah: 
"Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah, maka ia mendapatkan pahala sebesar yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka." (HR. Muslim) 

Nggak heran kalo para sahabat Rasulullah begitu gigih dan pantang menyerah dalam berdakwah. Sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, harta benda, keluarga bahkan nyawa pun rela mereka korbankan untuk mendapatkan ridho dan pahala dari Allah. Jika tanpa dakwah dari mereka, bagaimana mungkin Islam bisa tegak dan sampai kepada kita.

Sesungguhnya, kita pun bisa seperti para sahabat. Walau tidaj hidup di zaman Rasulullah, tapi warisan Beliau berupa al-Quran dan as-Sunnah tetep eksis sampe sekarang dan terjaga kemurniannya. Tinggal kemauan kita untuk serius mempelajari, memahami, menyakini, dan mengamalkan warisan itu. 

Nilai Plus Seorang Pengemban Dakwah
Ketika terjun ke dunia dakwah, seorang akan menemukan arti dan tujuan hidup yang hakiki, manusia diciptakan oleh Allah Swt untuk beribadah. Untuk itu, Allah menurunkan aturan hidup yang lengkap dan sempurna tanpa cela, agar manusia bisa beribadah bukan hanya di masjid atau majelis ta'lim saja, tetapi beribadah di mana saja, kapan saja selama terikat dengan aturan Allah. Selain itu, dengan pemahaman yang kuat dan lurus, manusia akan termotivasi dan terarah dalam membingkai masa depan ideal di dunia sampai akhirat sesuai identitas kemuslimannya. 

Dalam lingkungan dakwah, kita dilatih untuk berpikir secara mendalam, merunut setiap permasalahan dan mencari pemecahannya sesuai aturan Islam yang pasti mendatangkan maslahat. Ketegasan sikap kita bisa lahir dari kemandirian yang ditopang oleh pemahaman Islam. Kita juga dilatih untuk mengambil hikmah dalam setiap musibah atau kegagalan yang menimpa kita. Karena kita paham, apa pun yang menimpa diri kita, itu adalah jalan terbaik yang Allah berikan.

Nikmati Segala Resiko Dakwah 
Risiko dakwah sudah  sunatullah alias wajar terjadi. Bayangin aja, yang kita dakwahkan ajaran Islam. Sementara obyek dakwah kita yang di rumah, sekolah, kampus, atau tempat kerja semuanya telah kadung diselimuti aturan sekuler yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Otomatis dakwah kita nggak akan berjalan semulus jalan tol. 

Oleh karena itu kita harus memahami bahwa dakwah itu bukan tanpa rintangan. Justru kita kudu siapkan nyali dan mental untuk hadapi risiko dalam dakwah demi meraih ridho Allah. Kita bisa meneladani bagaimana perjuangan 75 orang muslim dari suku Khajraj saat terjadi peristiwa Bai'atul Aqabah kedua. Saat itu salah seorang paman Nabi yang melindungi dakwah Beliau meski bukan muslim, bernama Abbas bin Ubadah, mengingatkan kaum muslim dari Khajraj akan risiko dakwah yang akan dihadapi jika tetap membai'at Nabi. 

Kaum itu pun menjawab, Sesungguhnya kami akan mengambilnya (membai'at Nabi Saw) meski dengan resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya banyak tokoh. Kemudian mereka berpaling pada Rasulullah dan berkata, Wahai Rasulullah, jika kami memenuhi (seruan) mu, maka apa balasannya bagi kami? Surga, jawab Beliau dengan tenang. (Negara Islam, Taqqiyuddin an-Nabhani) 

Nah ibu-ibu, ternyata risiko dalam dakwah adalah jalan menuju surga Allah yang selama ini kita rindukan. Seberat apapun jalan itu, kita hanya perlu bersabar dan tetep istiqomah. Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad hasan: Setelah engkau akan datang masa kesabaran. Sabar pada masa itu seperti menggenggam bara api. Orang-orang yang bersabar akan mendapatkan pahala sebagaimana lima puluh orang laki-laki yang mengerjakan perbuatan tersebut. Para shahabat bertanya , Wahai Rasulullah, apakah pahala lima puluh (laki-laki) di antara mereka? Rasul menjawab , Bukan, tetapi pahala lima puluh orang laki-laki di antara kalian.

Kita sejatinya tidak memiliki alasan untuk berdiam diri membiarkan kemaksiatan merajalela karena khawatir akan dekatnya ajal, seretnya rizki, dianggap tidak perduli keluarga dan lain-lain.

Pengemban Dakwah Islam Ideologis 
Satu hal lagi yang kita nggak boleh lupa, hendaknya kita tidak merasa cukup hanya dengan mendakwahkan sebagian dari ajaran Islam. Seolah perbaikan moral atau peningkatan akhlak individu masyarakat menjadi solusi pamungkas dalam setiap permasalahan. Padahal syariat Islam itu begitu luas mencakup solusi dalam permasalahan pemerintahan, ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. 

Karena itu kita wajib memahami dan mendakwahkan Islam sebagai Nidzhomul hayah alias aturan hidup yang tidak hanya mengatur ibadah atau akhlak semata. Islam yang memiliki peran sebagai qaidah fikriyah (landasan berpikir) dan qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir). Sebagai qaidah fikriyah, Islam akan menjadi filter alias penyaring sekaligus tameng menghadapi serangan pemikiran dan budaya Barat yang sekuler. Dan sebagai qiyadah fikriyah, Islam akan membimbing kita dalam menyelesaikan dan mencegah terulangnya setiap masalah hidup yang mampir ke dalam kehidupan kita dengan tuntas dan berpahala. 

Nah ibu ibu, mari bergandengan tangan,  jangan mau kalah dengan anak muda. Mari kita libatkan diri kita untuk memperkuat barisan perjuangan dalam menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi, dan mencetak generasi-generasi yang tangguh dalam memperjuangkan Islam. Jangan sampai jalan menuju surga dalam aktivitas dakwah, kita pandang sebelah mata. Padahal umur kita tinggal selangkah, jangan sampai kita gadaikan hidup ini hanya untuk kesenangan belaka. Dengan begitu meskipun usia sudah tidak muda lagi namun semangat dalam berdakwah tetap menjadi salah satu prioritas utama.
Wallahu a'alam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post