Waspadai Program Dibalik Bina Pemodal Asing

Oleh : UqieNai
(Alumni BFW 212)

Dinas Penanam Modal  dan Pelayanan Satu Pintu Terpadu (DPMPST) Kabupaten, Jawa Barat, kini tengah membina sekitar 700 Penanam Modal Asing (PMA) dalam kegiatan workshop Penanaman Modal yang bertempat  di Hotel Sahid, Soreang beberapa hari yang lalu. Kegiatan ini dimaksudkan agar para pemodal tersebut betah tinggal di Bandung sekaligus mau berinvestasi (dara.co.id, Kamis, 29/08/2019).

Masih Dikutip  dari  laman yang sama, Kepala DPMPTSP Kabupaten Bandung, H Yudhi Haryanto, mencatat hingga kini jumlah perusahaan PMA di daerah mencapai 4.700 perusahaan dengan kualifikasi 4.000 perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) dan sisanya perusahaan PMA.

Menurut Yudhi, PMA mempunyai lebih banyak kelebihan, antara lain sifatnya jangka panjang, banyak memberikan andil dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen, membuka lapangan kerja baru, yang sangat diperlukan oleh negara berkembang terlebih minimnya kemampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja saat ini.

Workshop yang diselenggarakan DPMPTSP kabupaten Bandung adalah salah satu upaya dari beragamnya kegiatan di negeri ini membiarkan asing masuk tanpa hambatan. Indonesia dan beberaapa daerahnya disiapkan sedemikian rupa sebagai tempat memanjakan diri kaum kapitalis asing. Keberadaan mereka seolah ‘bank berjalan’ yang menggiurkan, namun berpotensi jadi bumerang.

Apresiasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah RI yang begitu ramah terhadap orang asing menjadi ‘angin segar’ para komprador. Keinginan terselubung mereka menguasai kekayaan alam (SDA) dan manusianya (SDM) menjadi jalan mulus untuk melenggang, mencengkeram satu persatu wilayah Indonesia dengan bermacam perjanjian dan kerjasama. Halus dan samar adalah strategi awal sebelum tujuan tercapai.

Disadari atau tidak, terbukanya kran secara besar-besaran bagi mereka menjadi sarana tersingkirnya pengusaha  dan pekerja lokal. Aturan rezim yang lebih memihak orang luar dan menganaktirikan penduduk lokal semakin hari semakin kentara, jelas tanpa bias. Pemahaman masyarakat terkait bahaya ‘laten’ sepertinya masih jauh dari harapan. Aturan dan kebijakan negeri ini yang berkiblat pada faham kapitalis-sekuler sudah sedemikian melekat dalam mindset umat hingga uang, kekayaan dan keuntungan materi begitu mendominasi. Ironisnya, pemahaman keliru tersebut sudah hampir 95 tahun (sejak runtuhnya Dawlah Islamiyyah di Turki Utsmani) bercokol dalam benak masyarakat menjadi pandangan hidup dalam segala aktivitasnya. Dampaknya, kehancuran demi kehancuran terus membayangi, sebut saja kehancuran pemikiran, perasaan dan juga aturan. 

Islam dengan seperangkat aturannya memiliki mekanisme luar biasa mengatur segala urusan umat, dari mulai urusan pribadi, rumah tangga, masyarakat bahkan negara (pemerintahan). Begitu juga dalam  urusan kerjasama regional maupun internasional, antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, individu dengan negara, baik muslim maupun non muslim seluruhnya terikat dengan hukum syara’. Pemikiran, perasaan dan aturan yang ada terkondisikan dengan arahan Islam. Pasalnya, Islam bukan sekedar agama tapi sebagai  mabda (ideologi) bagi kaum muslim dan mukmin.
Kerjasama yang terjalin dengan non muslim haruslah kerjasama yang aman, tanpa bunga, sesuai tuntunan syara (al-Qur’an dan as-Sunnah), tidak merusak apalagi mengancam kedaulatan bangsa dan negara, terlebih lagi bukan ahlu ar-riyyab, yakni mereka yang dikhawatirkan menimbulkan kemadharatan, mengancam institusi negara, jamaah dan individu. Memata-matai orang-orang kafir harbi fi’lan  wajib atas negara. (kitab Ajhizah ad Dawlahal Khilafah, hal 98).

Dengan demikian, pembinaan yang dilakukan pejabat kabupaten Bandung terhadap pemodal asing tidak akan terjadi dalam sistem yang menerapkan aturan Islam. Kerjasama yang terjadi dalam dawlah Islam betul-betul spesifik mengarah kepada siapa orang asingnya (harbi atau dzimmy), berapa lama kerjasama dilakukan, berapa lama tinggal serta wajib mengikuti aturan dan kebijakan negara (khalifah). Hal tersebut diberlakukan sebagai upaya dakwah, mengenalkan aturan Islam hingga peradaban agung Islam benar-benar terlihat dan dirasakan orang asing (kuffar). Harapannya, kaum kuffar yang betah menjalin kerjasama dengan kaum Muslim atau negara karena alasan ingin menjadi muallaf, menjadi warga negara atau ingin mendapat perlindungan negara Islam, bukan alasan imperialis-kapitalis seperti saat ini.

Maka, untuk mewujudkan indahnya perlindungan dan riayahnya dalam sosok penerap syariah Islam, mampu mengurusi urusan umat di segala aspek kehidupan, akan segera terwujud manakala pemikiran, perasaan dan juga aturan yang diterapkan adalah aturan Islam.
Wallahu a’lam bi ash Shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post