Utang Menggunung, Ibukota Bakal Hengkang?



Oleh:  Ummu Zhafran
 (Member Akademi Menulis Kreatif)

Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari, kesengsaraan di malam hari. - Umar bin Abdul Aziz

Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah mencapai Rp4.603,62 triliun pada Juli 2019. Utang tersebut meningkat Rp33,45 triliun dibanding Juni 2019 yang baru Rp4.570,17 triliun pada Juni 2018. (cnnindonesia, 26/8/2019).  Fantastis.  Satu kata yang tepat menggambarkan angka-angka di atas. 

Anehnya di tengah cengkeraman utang yang membelit, wacana pemindahan ibukota justru semakin menggeliat.  Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengumumkan lokasi ibukota baru Indonesia di Kalimantan Timur dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta. (tribunnews.com, 26/8/2019).  Sontak menuai sejumlah tanggapan.  Baik yang pro dan kontra.  Lepas dari semua itu memang wajar jika tanya terbetik.  Dari mana diperoleh anggaran untuk boyongan yang diperkirakan 466 T?  Dengan menambah utang baru?  Sungguh ironis.  

Utang, Sebuah Keniscayaan 

Menarik analisa Noreena Hertz (akademisi, ekonom, penulis Inggris, 2001) yang mengisyaratkan bahwa utang menjadi niscaya dalam negeri yang menganut demokrasi-kapitalisme.  Ia mengatakan bahwa akibat globalisasi ekonomi, akan terjadi the death of democracy. Demokrasi sebagai konsep sederhana yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan berubah haluan menjadi dari rakyat, oleh elit, untuk “para investor kapitalis.” Apa buktinya? 

Para pemimpin negara bangsa post kolonial saat ini, demikian kata Hertz, memang dipilih oleh rakyat, tetapi mereka ternyata lebih sibuk untuk “melayani” pelaku kapitalis global yang tidak memilihnya. Sebab, para pemimpin negara-bangsa post kolonial, walau masih memperhitungkan para pemilih dalam negeri (domestic constituent), tetapi justru demi untuk mengelabuhi para konstituen inilah para pemimpin akan melakukan apa saja, asal para kapitalis yang telah mengglobal itu mau datang di negaranya.

Dengan segala cara, para pemimpin negara mengundang, merayu dan mendatangkan investor kapitalis agar menanam uangnya di negara yang ia pimpin. Tentu saja para pemimpin negara bersaing dengan keras karena para investor kapitalis hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka. Kemudian, dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (economics borderless), pemerintahan nasional tidak lebih dari sekedar the transmission belts bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh.   

Terimpit di antara mekanisme pengaturan global. Negara menjadi “daerah omong kosong,” pemimpin negara menjadi “budak kapitalisme,” pemerintahan nasional menjadi “mitra manis,” dan rakyat menjadi tumbal para pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis yang mendunia, cukong yang menguasai jagat raya.

Apa yang diulas Noreena seolah tak jauh dari kenyataan di zamrud khatulistiwa ini.  Seakan tanpa beban utang demi utang ditangguk.  Ribuan trilyun seakan belum mampu puaskan dahaga ambisi demi mahkota kekuasaan dan prestise segelintir golongan.  Sadis.

Kiranya benar yang disadari oleh Surya  Paloh meski terlambat.  Menurutnya, negara ini selalu mendeklarasikan diri sebagai negara Pancasila lantaran malu-malu kucing untuk mengakui bahwa sistem yang dianut sesungguhnya adalah kapitalis liberal.  Dengan kata lain kekuatan uanglah yang berbicara , bukan lagi akhlak, kepribadian maupun ilmu pengetahuan.  
“Above all, money is power," kata Surya.  (cnnindonesia, 14/8/2019).

Jika Surya Paloh baru bicara sekarang,  John Perkins sejak lama sudah mengakui dalam bukunya, “Negara akan memastikan anak–anak hari ini dan cucu mereka di masa depan menjadi sandera (dengan utang –pen).  Mereka harus membiarkan korporasi kami menjarah sumber daya alam mereka, dan harus mengorbankan pendidikan, jaminan sosial hanya untuk membayar kami kembali.” (Penulis buku Confessions of an Economic Hit Man).

Apa pun Masalahnya, Islam Solusinya

Jujur, menilik kondisi ibukota kini amat kompleks permasalahannya.  Banjir dan macet sukses membuat wacana kepindahan pusat negeri ini menjadi masuk akal.  Hanya saja tentu tak semudah membalikkan telapak tangan sebab utang harusnya tak lagi jadi opsi.

Seperti yang diungkap Peneliti Badan Informasi Geospasial Prof Fahmi Amhar yang menilai, pemindahan ibukota itu perlu dengan catatan tidak boleh dibiayai dengan utang. 

Dengan keadaan ekonomi negara Indonesia saat ini, apabila biaya di bawah Rp 25 triliun perpindahan itu bisa dijalankan selama 5 tahun, atau Rp 5 triliun/tahun. Index harga bangunan pemerintah itu Rp 4 juta/m2.

Jadi Rp 5 triliun bisa dapat gedung-gedung kantor dengan total luas bangunan 1.250.000 m2. Itu mencukupi, asalkan dikombinasi dengan teknologi 4.0 (IoT, Bigdata, AI). PNS pemerintah pusat cukup 25.000 orang saja.

Lalu Rp 5 triliun untuk perumahan PNS. Karena tanahnya tidak beli, itu cukup untuk 25.000 PNS, pejabatnya, beserta keluarganya. Harga setiap rumahnya full furnished rata-rata cukup Rp 200 juta. Sedangkan Rp 5 triliun untuk infrastruktur seperti jalan baru ke bandara terdekat, Fasum dan Fasos. lalu Rp 10 triliun lagi untuk transisi perpindahan.
“Jadi dengan nilai-nilai Islam (tawadhu’ & qanaah), perpindahan ini bisa smooth. Kalau dengan kapitalisme, perpindahan ini akan gagal, atau berhasil tapi terjebak utang,” jelas Fahmi. (mediaumat, 27/5/2019).

Nyata, berpijak pada Islam niscaya menghadirkan solusi.  Tak harus dengan utang, baik ke swasta ke lokal maupun asing.  Mengapa demikian?  Ya, sebab utang seperti yang penulis kutip di awal tulisan ini hanya mengantar pada kehinaan  bagi umat dan rakyat seluruhnya.  

Selain bisa membangkrutkan negeri ini, tentu seluruh utang itu disertai bunga alias riba yang diharamkan oleh Islam. Justru di situlah masalah terbesarnya. Pasalnya, utang disertai riba itu pasti akan memunculkan bahaya terbesar: datangnya azab Allah SWT.
 Rasul saw. bersabda:
“Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri.” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).

Selain itu, perekonomian yang dibangun di atas fondasi riba tidak akan pernah stabil. Akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis secara berulang. Akibatnya, kesejahteraan dan kemakmuran yang merata untuk rakyat serta kehidupan yang tenteram akan terus jauh dari capaian.

Alhasil, utang dalam negeri maupun luar negeri itu harus segera diakhiri. Perekonomian juga harus segera dijauhkan dari riba. Perekonomian harus segera diatur sesuai syariah Islam. Hanya dengan kembali pada syariah Islamlah keberkahan akan segera dilimpahkan kepada bangsa ini.

Bukankah hanya Allah,  Dzat Maha Penolong lagi Maha Perkasa?    
“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”(QS Asy Syu’ara:9).  

Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post