Tafakur Dalam Kegetiran


By : N & N

Duuuh, pagi ini hujan mengguyur membasahi bumi dengan lebatnya, selimut hangat serta lembutnya bantal dan kasur, membuatku enggan untuk bangkit dan meninggalkan tempat tidur. 

Apalagi, dinginnya udara yang memenuhi ruangan kamar, rasanya ingin terus berkutat berlama-lama didalam kehangatan selimut dan bantal.

Sesaat, kain selimut, mulai kudorong dengan ibu jari kaki. Seluruh anggota badan, mulai digerakan perlahan, agar peredaran darahku lancar dan bisa mengusik dingin yang menusuk.

Aku teringat, tugas rangkap jabatan, menjadi seorang ibu sekaligus kepala rumahtangga siaga, yang harus dijalani, membuat udara dingin yang ada, harus kutepis. 

Sebelum berdiri, kutatap dulu wajah polos bayi perempuan, yang masih tertidur pulas disampingku. 

Satu persatu duplikat wajah, rambut, jidat, hidung, mulut dan Alis nya yang tersusun indah, serta mulutnya yang manyun, diriku, tergambar dari dalam dirinya. Didalam hati, kuberkata, "ini amanah Illahi yang akan selalu kujaga, agar Ia tidak merasakan pahit nya lika-liku kehidupan yang kualami. 

Kenangan beberapa puluhan tahun silam pun kembali membentang jelas dihadapanku.

Sos.... itu nama panggilan kecilku..
Lahir dan tinggal disalah satu sudutnya Kota Metropolitan Sumatera Barat, tepatnya di Kota Padang. 

Saat menginjaki bangku kuliah, aku sering aktif dan terlibat berbagai kegiatan kampus. Selain cantik, pintar, supel dan energik (kata orang sih). Namun aku tipe orang yang serius dan juga mahir dalam berbahasa Inggris. 

Hal ini dibuktikan, baru pertengahan semester I saja di Universitas Negeri Padang, aku sudah dipercaya menjadi asisten dosen dan memberi privat berbahasa Inggris kepada masyarakat dari berbagai kalangan.

Sehingga dengan anugerah Allah yang diberikan itu, membuat akumenjadi salah satu Idola dan rebutan dikalangan cowok-cowok kampus… (bukan nyombong nih) 

Maklum, karena masih muda dan selalu ingin mencari yang terbaik, sehingga dalam hal perjodohan sendiri, Aku sempat-sempatnya menolak keinginan orang tua ku, yang berharap memilih mantu sendiri untuk menjadi Imam Ku. 

Pada saat itu, didalam diri, terbersit kata, “ini bukan zaman nya kuda gigit besi lagi papa and mama, tetapi zaman millennium, yang penuh dengan glamour”.

Dan so pasti, setiap wanita berkeinginan mempunyai pacar atau suami yang ganteng, kaya dan hidup modern. 

Apalagi harapan tersebut dapat ku raih, karena diantara semua cowok-cowok yang melirik dan mengejarku dikampus, ada yang memenuhi semua persyaratan tersebut, maklum deeeh…. mumpung lagi bisa memilih, napa harus jodoh-jodohin, ucapku didalam hati.

"Sos, apakah kamu sudah ada calon? Jika belum papa yang akan mencarikannya" 
Saat selesai makan malam papa kembali melontarkan pertanyaan yang sangat enggan untukku jawab.

"Belum pa" jawabku singkat, tuk menutupi keadaan sebenarnya..

"Sos, kenapa kau tidak menerima tawaran mama dan papa saja. Kami berdua ingin pendamping yang terbaik untukmu" kali ini mama pun angkat bicara.

"Ma, pa. Berapa kali Sos katakan, Sos ingin mencari sendiri pendamping hidup. Tidak mau di jodoh-jodohkan. Memangnya ini zaman Siti Nurbaya" aku segera meninggalkan meja makan. Membahas hal ini tidak akan ada ujungnya.

Dari sudut mataku, masih terlihat mimik kekecewaan Papa dan Mama, atas ucapan yang rada ketus, saat aku berlalu meninggalkan meja makan.

Seiring waktu, akhir nya keinginanku untuk mendapatkan pacar dan pendamping hidup sesuai harapan terkabul juga. Kedua orang tua tak mampu membendung keinginan yang aku sampaikan.

Masih tergiang pertanyaan kedua orang tua ku, sebelum acara pernikahan dilangsungkan.

"Sos … apa benar kamu yakin nak, bahwa Romeo itu pilihan mu? Papa dan Mama sih, tidak apa-apa, yang penting kamu bahagia atas pilihan hidupmu"

Kali ini papa bicara dengan lembut kepadaku. Mungkin sekarang papa sudah menyerah atas keinginannya. Kemudian Papa melanjutkan kata-katanya.

"Nak, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, itu tidak semudah yang kita bayangkan. Apalagi sebagai isteri, kita harus bisa melayani suami dengan baik, serta mampu beradaptasi dengan keluarga suami. 

Kesabaran dan ke ikhlasan merupakan hal utama tuk menjalani nya. 
Jangan banyak menuntut, dan apabila ada hal yang kurang berkenan terhadap sikap suami, upayakan selesaikan dan berkomunikasi lah dengan tutur bahasa yang elok. Karena sekeras-kerasnya laki-laki atau suami, mereka akan luluh dengan kelembutan" panjang lebar Papa memberikan nasehat kepadaku. Tentu saja aku sangat bahagia. Kini Mama dan Papa telah mendukung keputusannya.

Sosok Ibu yang ku kenal lembut dan penyayang, saat itu duduk disampingku, turut memberi dukungan, atas ucapan yang disampaikan Papa.

"Betul nak, apa yang Papa kamu bilang. Karena kami sudah pernah menjalani itu semua. Jangan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Sebab sesuatu hal perlu dipahami manfaat dan mudhorat nya, baik untuk kita maupun untuk keluarga"
ucap ibu menambahkan.

Karena tekad telah bulat, akhirnya mereka merestui pernikahan AKu dengan Romeo. 
Suasana pernikahanku dengan Romeo, berlangsung meriah dan khidmat. Semua undangan, karib kerabat dan teman-teman kampus menyalami dan mendo’akan agar pernikahan kami Sakinah, Mawaddah dan Warahmah.

Kebahagianku tiada terkira, serasa kehidupan ini, kalau bisa berputar berulang-ulang dan berhenti cukup dihari ini saja. 

Namun, takdir berkehendak lain. Impian mereguk kebahagian bersama Romeo, hanya berlangsung ditahun-tahun pertama saja. Seiring waktu, hari-hari gelap mulai menyelimuti keluarga kecilku. Jati dirinya yang kasar dan ringan tangan mulai kurasakan. Pernah suatu hari hanya karena hal sepele, Rome berkata kasar kepadaku.

"Sos, kemari!"
Kudengar suara menggelegar Romeo. Bergegas aku datang menghampirinya.

"Ada apa?" Kulihat dia sedang duduk di ranjang kamar.

"Mana baju kemeja yang baru ku beli beberapa hari lalu"?

Aku teringat baju itu masih di mesin Cuci.

"Hmm. Itu masih di mesin cuci" jawabku gugup. Aku takut karena tidak pernah melihat mimik wajah dan amarah Romeo meledak seperti itu.

"Kau kan tahu aku ingin memakainya hari ini, hah!. Dasar istri tidak berguna". Dia beranjak keluar kamar dan kudengar suara bantingan pintu.

Aku hanya mampu terisak. Kenapa Romeo berubah?  Tidak semanis awal menikah dulu.
Aku jadi berfikir. Apakah aku sudah salah memikih pendamping? Seketika kuenyahkan pikiran itu. Lagi pula ada anak-anak sekarang yang harus kupikirkan. Aku tidak boleh egois.

Hari-hari sama seperti biasa. Aku dengan tugasnya sebagai ibu, dan juga tugasku diluar rumah untuk bekerja. Romeo tetap seperti itu. Tapi demi anak-anak aku tetap bertahan. Hingga hari ini terjadi pertengkaran hebat diantara kami.

"Baiklah sekarang kita cerai saja!"

Serasa mendengar petir disiang bolong. Mendengar kata-kata Romeo barusan.

"Bang,.. apakah abang sadar dengan apa yang telah diucapkan, ucapku dengan nada getir pada Romeo"? sambil terisak, sementara butiran-butiran bening, mulai mengalir dari pelopak mataku.

Aku mencoba menahan dan menghadapinya dengan sabar, sebab masih tergiang wejangan kedua orang tuaku.

"Iya. Kita bercerai saja!" Dia menatapku nyalang.

"Bukankah dulu kita menikah karena kita saling mencintai?" Aku mencoba mengingatkan bagaimana kami bisa berakhir di pernikahan ini.

"Iya, itu dulu Sos, tapi seiring waktu rasa cintaku menguap dan hilang entah kemana.

Ya Allah, mendengar pengakuannya barusan membuat hatiku terasa di iris. Sakit dan pedih.

"Kau, tega Romeo" tangisku kembali pecah.

Akhirnya pernikahanku dan Romeo berakhir di meja hijau. Sekarang kami resmi bercerai. Dengan hak asuh anak jatuh padaku. 

Meski getir, namun aku tetap harus melanjutkan hidup. Anak-anak sementara kutitipkan dengan mama dan Papa.

"Assalamualaikum. Mama" hari ini aku kerumah mereka untuk menjemput anak-anakku.

"Walaikumsalam Sos, masuklah" mama mempersilahkan aku masuk.

"Mana anak-anak Ma?"

"Ada didalam sedang menonton"

"Sos, apakah kau baik-baik saja?" Mama bertanya dengan menatapku lembut.

"Aku baik-baik saja Ma. Ada anak-anak yang membutuhkanku. Ma, maafkana Sos ya. Dulu tidak tidak menuruti kemauan Mama dan Papa. Ternyata pilihan Sos salah" aku kembali terisak.

"Sudahlah Sos, jangan pernah menyesali semua yang terjadi. Mungkin ini sudah jalan hidupmu" Mama memelukku lembut.

Waktu berlalu, aku mencoba melupakan luka akibat kegagalan pernikahanku.

Aku teringat pembicaraan dengan Mama dan Papa beberapa hari lalu.

"Sos, apakah kau tidak ingin menikah lagi? Kau masih muda Sos" Papa memulai obrolan kami.

"Belum pa"

"Sos, tidak ada salahnya jika kau ingin menikah lagi. Dan lihatlah, anak-anakmu butuh sosok seorang Ayah" Mama ikut menimpali.

Aku terus memikirkan obrolan kami tempo hari.
Yah, bagaimanapun anak-anakku butuh sosok seorang Ayah.
Pada akhirnya akupun mengikuti saran kedua orang tua, dan melangsungkan pernikahannku yang kedua kalinya.

Sama, diawal pernikahan kami berjalan lancar. Tapi semakin kesini. Banyak ketidakcocokan diantara kami. Karena ketidakcocokan itulah akhirnya mengantarkan kami pada perpisahan. Kembali biduk rumah tanggaku kandas..

Ya Allah, kenapa takdir seakan mempermainkan hidupku saat ini.
Aku bertekad untuk menjalani kehidupan ini hanya dengan anak-anakku saja. Sudahlah, kupikir gagal dua kali pernikahan sudah cukup.

Hari ini aku ke kantor seperti biasa. Aku sudah melupakan segala luka akibat kegagalan pernikahanku.

"Ibu Sos, mari makan siang" aku melihat salah satu staf kantor menawariku untuk makan siang.

"Iya Mel, mari kita makan siang bersama" akupun mengikuti langkah Melati untuk makan siang bersama.

"Bu Sos, hmm maaf apakah ibu tidak ingin menikah lagi?" Tanya Melati hati-hati.
Aku sebenarnya tidak mau membahas hal ini.

"Belum untuk waktu sekarang Mel"

"Iy buk, saya mengerti. Tapi kalau ibu mau saya ada kenalan seorang pengusaha muda yang tengah mencari pendamping hidup bu" lalu panjang lebar Melati menceritakan tetang laki-laki yang ditawarkan kepadaku.
Aku sedikit tertarik mendengar penjelasan Melati barusan.

Akhirnya setelah memikirkan beberapa waktu akupun bersedia membuka hatiku lagi. Dengan mengenal Reno. Laki-laki yang dikenalkan Melati tempo hari.

"Bang, apakah kau serius dengan hubungan ini" tanyaku pada Reno saat kami makan sianh bersama.

"Insyaallah Sos. Aku sudah memantapkan niatku" Reno menjawab dengan mantap. Aku memang sudah menceritakan tentang statusku dan segala kegagalanku yang lalu.

Reno sosok suami ideal. Dia orang yang religius, dan selama kami berkomunikasi selalu nyambung. Inilah yang membuat kau memutuskan membawa hubungan ini ke jenjang pernikahan. Maka, hari ini menikahlah aku untuk ke-tiga kalinya.

Aku sangat bahagia mendapatkan suami seperti Reno. 
Didalam hati aku berucap Syukur kepada Allah, ternyata apa yang Engkau tardirkan, merupakan hal terbaik bagi diriku. 

Namun, beberapa bulan pernikahan, Aku dikejutkan dengan sisi lain dari Reno yang selama ku kenal dan tidak kuketahui. Ternyata Reno pria kasar dan suka memukul. Seperti hari ini.

"Sos, Hari ini kau sebaiknya di rumah saja!"

"Kenapa bang. Aku harus ke kantor"

"Kau sudah berani membantahku ya!" Dia mulai membentakku. Kali ini aku tidak ingin terlihat lemah didepannya.

"Iya. Memang kenapa" tantangku

Plakk
Sebuah tamparan mendarat mulus dipipiku. Lagi, dan lagi dia melayangkan tangannya untuk menyakitiku. Tanpa kata maaf dia berlalu meninggalkan rumah.

Akankah aku terpenjara dalam pernikahan yang bak neraka ini? Yaa Allah apakah aku tidak berhak bahagia? Ratapku.

Puncaknya saat kami bertengkar hebat dan tanpa kami sadari Papa datang kerumah.

"Hentikan Reno! Kau berani menyakiti putriku"suara Papa menggelegar. Kami melihat Papa berdiri di depan pintu.

Lalu, papa menarik tanganku.
"Kau ceraikan saja Sos sekarang. Dari pada selalu kau siksa begitu. Dia bukan binatang" meledak amarah Papa.

Saat itu juga, aku dan anak-anakku diboyong kerumah Papa.
Akhirnya permintaan Papa dikabulkan Reno. Kamipun berpisah. Entah aku harus senang atau sedih. Ini pernikahanku yang ke-tiga. Dan, ke-tiganya berakhir dengan perceraian.

Aku meringkuk menangis didalam kamar. Meresapi apa yang tengah terjadi dengan kehidupanku saat ini. Apakah ini bentuk dari teguran Allah Swt? Karena selama ini aku begitu jauh darinya. bahkan melawan kehendak orang tua. Dan aku menganggap akan dapat meraih semua, karena apa segala kelebihan yang kumiliki, akan dapa meraih kebahagian. ????

Mengingat itu semua aku semakin terisak.
Setelah sedikit tenang aku ke kamar mandi dan segera berwudhu. 
Kekerjakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Selesai sholat, aku berdoa dengan airmata yang tidak henti mengalir.

Aku merasa malu kepada Allah Swt. Selama ini aku terlalu jauh dari _Nya. Aku terlalu mengejar kebahagian dunia. Yanh justru membawaku pada jurang kehancuran.

Aku meletakkan dunia didepan mataku. Dan mereguk sepuas-puasnya. Padahal dunia ini hanyalah fatamorgana. Kesenangan yang semu.

Aku mulai berazzam untuk menata hidupku dengan melibatkan selalu Allah Swt didalamnya. Biarlah apa yang terjadi dalam hidupku jadi pelajaran berharga untuk kedepannya, ucapku sambil mengelus wajah polos anak perempuanku, dengan penuh kasih sayang.

**Mohon ma'af, apabila dalam penulisan ini, ada kesamaan nama, tempat kejadian dan tokoh bagi pembaca. Cerita ini semata-mata hanyalah fiksi belaka.**

Post a Comment

Previous Post Next Post