Sister Province Langkah Tepat Atasi Konflik Papua?



Oleh: Widhy Lutfiah Marha
 Member Akademi Menulis Kreatif

Akhir-akhir ini tuntutan Papua merdeka semakin membara. Mahasiswa Papua menggelar unjuk rasa di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2019. Mereka mengibarkan bendera bintang kejora dan mengecam diskriminasi rasial yang diterima oleh mahasiswa Papua serta menyuarakan keinginan untuk merdeka (https://nasional.tempo.co).

Masih dari sumber yang sama, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyatakan punya konsep untuk mengatasi konflik Papua yang sudah terjadi. Salah satunya, pengembangan sektor pendidikan dengan konsep sister province. Konsep ini sangat tepat digunakan untuk memperkuat tali persahabatan satu sama lain. Nanti bisa dilakukan pertukaran pegawai. PNS Papua bisa menjadi magang PNS di Jatim selama dua hingga tiga tahun. Ini pembagian peran strategis antara Jatim dengan Papua dan Papua Barat dengan konsep sister province, kata Khofifah, di Surabaya. (21/8/2019).

Tidak hanya sister province, program yang terjalin juga bisa serupa sister city. Misalnya, kabupaten mana dengan Jayapura, kabupaten mana dengan Manokwari dan seterusnya. Sehingga kalau ada sejumlah PNS atau CPNS yang akan magang kami bisa berbagi penempatannya sesuai SK CPNS mereka, ujarnya. Kerja sama antar provinsi yang biasanya dijalin dengan provinsi di luar negeri itu, kata Khofifah, juga akan menyangkut tentang pelatihan vokasi. Menurutnya, banyak hal berkaitan kualitas SDM yang bisa dilakukan.

Faktor Pemicu

Jika pemerintah memandang masalah Papua hanya satu sektor  yaitu pendidikan saja, maka masih kurang efektif. Karena di dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), pada 2009 telah dituliskan akar masalah Papua yang meliputi: Peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia. Tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua, proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas, siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas. Pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.

Papua yang memiliki luas 808.105 km persegi ini merupakan pulau terbesar kedua di dunia dan terbesar pertama di Indonesia. Selain itu, Papua memiliki keindahan dan potensi alam yang luar biasa dari mulai hutan dan hasil hutannya seperti buah merah, anggrek hitam, satwa yang berada di hutan tersebut yaitu cenderawasih, hingga keindahan dan kekayaan lautnya yang belum tersentuh tangan manusia seperti raja ampat dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, kekayaan yang tersimpan di perut bumi seperti gunung emas  hasilnya sangat melimpah dan dari sisi geopolitik pun, Papua dinilai sangat strategis.

Sayang  beribu sayang, bergelimang kekayaan alam tak lantas membuat rakyat Papua ikut menikmatinya. Mengapa? Karena nyatanya justru asing yang mencengkeram SDAnya. Gemerlap pesona tanah mutiara hitam memang menggiurkan. Tak heran jika Papua menjadi incaran negara-negara kapitalis dengan mengatasnamakan korporasi. Salah satunya Amerika Serikat dengan PT. Freeport-nya. Dibandingkan berpuluh tahun masa konsesi perusahaan tambang tersebut yang diperoleh masyarakat Papua hanyalah sedikit. Papua hanya menjadi pundi-pundi kekayaan para kapitalis dan sapi perahnya. Terlebih masyarakat Papua hingga kini masih jauh dari kehidupan yang layak.


Kondisi inilah yang mendorong sebagian masyarakat Papua (lebih tepatnya; elite politiknya) menyuarakan tuntutan referendum (yang arahnya adalah merdeka atau minimal berformat federalisme). Referendum dianggap sebagai pilihan akhir untuk mengubah keadaan itu semua.

Kita patut prihatin, karena di Papua sedang terjadi upaya disintegrasi dengan menuntut referendum. Dimana pangkal masalah utamanya adalah adanya pihak yang berkepentingan terhadap wilayah Papua. Sehingga terus dikobarkan api permusuhan bahkan mendorong terjadinya kegiatan sparatis hingga disintegrasi. Apalagi upaya disintegrasi ini memang telah dilakukan secara sistematis, salah satunya dengan cara membawa isu Papua ke ranah Internasional. Asing, terutama AS, sangat jelas telah merancang upaya pemisahan Papua ini dari wilayah Indonesia.
Indonesia harus mencermati dalang di balik tuntutan referendum ini. Sebab, sebagian besar masyarakat kecil sebenarnya tidak begitu paham dengan referendum tersebut. Sekelompok elite politiklah yang sebenarnya bermain dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring internasional (LSM-LSM asing). Namun, sesungguhnya mereka hanyalah alat. Kepentingan negara-negara besarlah yang sebenarnya memainkan peran penting di Papua. Kekuatan asinglah yang punya kepentingan dan akan  meraih keuntungan jika Papua merdeka atau memisahkan diri melalui referendum yang sedang diusahakan oleh mereka. Jika  tidak dicermati Pemerintah, boleh jadi nasib Papua  tidak akan jauh berbeda seperti Timor Timur; lepas begitu saja dari pangkuan Indonesia.

Islam Adalah Solusi

Terlihat jelas bahwa  politik sekuler  melalui program Sister Province tidak memiliki kapasitas untuk membangun seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua, menjadi makmur, sejahtera dan berkeadilan.

Maka dari itu harus dijelaskan kepada penduduk bahwa haram memisahkan diri dan memungkinkan penjajah menguasai kita-masalah lebih besar. Firman Allah surat an- Nisa ayat 141:

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman."

Seharusnya Papua berkaca dari Timor Timur, setelah 17 tahun silam Republica Democratica de Timor Leste atau Republik Demokratik Timor Leste, resmi sebagai negara. Kondisinya bukan semakin membaik. Justru akibat pemisahan diri dari Indonesia menimbulkan krisis di berbagai aspek. Rakyatnya semakin tidak makmur serta jauh dari kata sejahtera. Bahkan Timor Leste menjadi salah satu negara termiskin.

Maka dari itu pemerintah pusat harus menerapkan hukum yang adil tanpa diskriminasi kepada seluruh rakyat, termasuk rakyat di Papua. Juga menerapkan politik ekonomi dengan menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Pengelolaan keuangan terpusat. Seluruh harta benda milik umum dan milik negara menjadi pemasukan baitul mal. Seluruh anggaran belanja baik untuk keperluan pemerintahan pusat maupun daerah, akan dipenuhi tanpa melihat pemasukan daerahnya kecil atau besar. Baik daerahnya miskin atau tidak, desa atau kota, maka pembangunan tidak berdasarkan pendapatan daerah, tapi sesuai kebutuhan. Termasuk di sini pembangunan infrastruktur. (Sistem Keuangan dalam Negara Khilafah, Abdul Qadim Zallum, hlm 65).

Dari sini bisa diambil hikmah dan peringatan bahwa, sudah saatnya penguasa negeri ini menerapkan sistem Islam. Penguasa wajib menerapkan hukum syariah yang berasal dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya atas semua wilayah di negeri ini tanpa diskriminasi, antara satu provinsi dan lainnya. Dalam sistem Islam (khilafah), semua orang yang menjadi warga negara akan memiliki hak yang sama, terlepas dari keturunan, warna kulit dan agama
Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post