Sekulerisme ; Mesin Pemroduksi Kekerasan Seksual

Oleh : Deslina Zahra Nauli, S.Pi
Pemerhati Sosial

Kemajuan teknologi tak selalu membawa kebaikan bagi hidup manusia. Ibarat pisau bermata duayang bisa bermanfaat untuk kebutuhan manusia sebagai alat pemotong makanan, tetapi juga bisa digunakan melukai orang lain atau bahkan diri sendiri. Media sosial sebagai salah satu produk kemajuan teknologi bertumbuh sangat pesat bahkan kini penggunanya didominasi oleh generasi muda. 
Woman Crisis Center (WCC) mencatat sejak 2017 hingga Agustus 2019, ada 321 kasus kekerasan seksual di wilayah III Cirebon. Jumlah tersebut merupakan kasus yang ditangani. Namun tidak sedikit korban yang enggan melaporkan kasusnya. Dari kasus  tersebut perempuan merupakan jumlah terbanyak yang menjadi korban. Sedangkan untuk usia, paling banyak dialami oleh remaja usia 13-18 tahun.Sebanyak 30 persen penyebabnya berawal dari media sosial (www.citrust.id, 6 September 2019).
Komnas Perempuan dalam laporannya menyatakan kekerasan berbasis cyber mendominasi pada tahun 2018, yaitu kekerasan dengan menggunkan teknologi untuk menyebarkan konten-konten yang merusak reputasi korban (malicious distribution). Kekerasan ini ditujukan untuk mengintimidasi atau meneror korban, dan sebagian besar dilakukan oleh mantan pasangan baik mantan suami maupun pacar. Pola yang digunakan korban diancam dengan menyebarkan foto atau video korban yang bernuansa seksual di media sosial, jika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku atau korban tidak mau kembali berhubungan dengan pelaku (www.komnasperempuan.go.id, 12 Maret 2019).
Hasil kemajuan teknologi berupa benda dan aplikasi di dalamnya sejatinya hanya benda yang tak berpihak. Manusia sebagai pengguna barang tersebut menentukan benda tersebut akan digunakan untuk kebaikan atau keburukan.Penentuan ini dilandaskan oleh pemikiran dan pemahaman seseorang. Usia remaja 13-18 tahun dianggap belum dewasa sehingga labil dalam bersikap, cenderung mengikuti trend yang ada.Keadaan ini menyebabkan mereka mudah terseret dalam arus media sosial yang telah menjelma menjadi“pintu ajaib” dalam menyebarkan informasi tanpa batasan. Di tengah arus ini remaja tak memiliki penyaring baik dan buruk karena gaya hidup sekuler. Gaya hidup yang memisahkan agama dari kehidupan dan negara telah menyebabkan seseorang kehilangan petunjuk dalam aktivitas sosial. Agama sekedar dijadikan petunjuk dalam aktivitas pribadi seperti ibadah khusus seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan aktivitas sosial diatur dengan kebebasan menurut akal manusia. 

Tak hanya individu bahkan negara yang terdahulu menerapkan gaya hidup sekuler ini.  Negara menjadikan akal dan kebebasan sebagai landasan dalam mengatur kehidupan rakyatnya. Negara memberi kebebasan kepada media untuk menayangkan informasi apapun, tak peduli informasi tersebut akan membawa kebaikan atau keburukan. Sehingga media sosial menjadi ladang subur bagi pornografi, pornoaksi dan kekerasan. Masyarakat termasuk remaja  yang terus dikepung oleh informasi ini akan cepat bangkit naluri seksualnya dan segera menuntutpemenuhan. Bahkan tak segan melakukan kekerasan seksual. Kehidupan sekuler bak mesin yang terus menerus memproduksi kekerasan seksual. 

Saatnya individu, masyarakat dan negara mencampakkan sistem hidup sekuler ini. Menggantinya dengan sistem Islam yaitu dengan memenuhi kewajiban mengambil Islam secara keseluruhan. Sebagaimana perintah Allah “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208). Dengan landasan ini, seluruh komponen dalam masyarakat akan menjadikan Islam sebagai penentu dalam perbuatan. Halal dan haram akan menjadi penyaring informasi yang akan menghentikan kekerasan seksual bahkan akan membawa manusia menuju kebaikan yang lebih banyak. 

Negaraakan menjadi pelindung masyarakat dari kekerasan seksual dengan penerapan sistem Islam secara keseluruhan. Diawali dengan pencegahan yaitu menerapkan sistem pendidikan Islam dan menjadikan kemajuan teknologi terutama media sosial sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat yang bertujuan membentuk pribadi beriman dan bertaqwa kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Selanjutnya jika terjadi kekerasan seksual maka negaraakan menjatuhkan sanksi hukum yang tegas dan berat agar memberi efek jera bagi pelaku dansebagai tindakan preventif untuk mencegah ‘penularan’ penyakit ini di masyarakat. Pedofilia akan dijatuhi hukuman mati, pun juga pelaku homoseksual. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw “Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).

Ijmak sahabat menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati, meskipun di antara mereka berbeda pendapat tentang cara eksekusi hukuman mati. Hal tersebut tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshon) ataupun belum pernah menikah (ghayru muhshon). Apabila kekerasan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi tetapi dalam bentuk pemerkosaan, maka harus dilihat: 1. Jika pelaku sudah menikah (muhshon) maka akan dirajam sampai meninggal. 2. Jika pelaku belum menikah (ghoiru muhshon) maka akan dijilid seratus kali. Jika kekerasan seksual tidak sampai kondisi sodomi atau pemerkosaan, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir yang bentuk dan kadar sansinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah dan qadli (hakim).

Post a Comment

Previous Post Next Post