Pemindahan Ibukota Negara Untuk Siapa?

Penulis : Rahmi Jamilah 
(Pemerhati Sosial Masyarakat)

Presiden Joko Widodo  akhirnya mengumumkan rencana pemindahan ibukota ke Penajam Paser Utara, dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Jokowi mengatakan, Jakarta saat ini menyangga beban yang sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa. Bahkan, sebagai lokasi bandar udara dan pelabuhan laut terbesar di Indonesia. Kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah, polusi udara dan air harus segera ditangani. Kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa yang terus meningkat, meski sejak 2001 sudah dilakukan otonomi daerah. Selain itu, beban Pulau Jawa juga semakin berat. Penduduknya sudah 150 juta atau 54 persen dari total penduduk Indonesia, dan 58 persen PDB ekonomi Indonesia itu ada di Pulau Jawa. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) salah satu alasan mengapa perlu memindahkan ibukota, agar tercipta pemerataan pembangunan. (tribunnews.com)
Melalui konferensi pers di istana negara pada Senin 26 Agustus 2019, Jokowi mengungkapkan alasan mendasar memilih Kaltim sebagai lokasi ibukota baru, yaitu pertama, Infrastruktur lengkap. Kaltim memiliki infrastruktur yang lengkap berupa bandara internasional, pelabuhan laut, dan tol. Kedua, fasilitas olah raga internasional. Kaltim memiliki tziga stadion bertaraf internasional. Ketiga, potensi bencana alam minim (gempa bumi dan tsunami). Keempat, minim konflik sosial. Wakil Gubernur Kalimantan Timur Hadi Mulyadi menyebut di Kaltim tidak pernah terjadi konflik sosial yang massif meskipun masyarakat Kaltim heterogen, perpaduan semua suku dan agama berbaur secara alami dan damai. Kelima, lahan yang luas. Tersedia lahan dikuasai pemerintah seluas 158 ribu ha, lebih luas dari Jakarta.
Sejumlah pengamat berpendapat, pemindahan ibukota kental nilai politis dan bisnis. “Bisa saja ada deal politik sebelum Pilpres 2019. Dan itu hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu," tutur pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin. Menurut Ujang, pemindahan Ibukota tidak memiliki urgensi apapun selain berorientasi bisnis. Sebab, masih banyak pembangunan di DKI Jakarta yang belum diselesaikan pemerintah. 

Pemindahan Ibukota yang hanya akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 93 trilun dari kebutuhan mencapai Rp 466 triliun, sedangkan sisanya digarap pengembang atau pihak swasta. Sehingga bukan untuk kepentingan rakyat, tapi hanya kepentingan elite politik dan para pengusaha. “Kita dapat bocoran yang akan garap Agung Podomoro Group. Arahnya yang akan garap pengusaha yang dekat dengan pemerintah.” Pangkasnya.(rmolsumsel.com/read/Pemindahan-Ibukota-Sarat-Kepentingan-Politik)

Pemerintah juga dituding kongkalikong dengan pihak swasta dalam penentuan lokasi ibu kota baru itu. 
Tudingan itu pun muncul bukan tanpa alasan. Pasalnya, sehari setelah Jokowi mengumumkan lokasi ibu kota baru, pengembang kelas kakap seperti PT Agung Podomoro Land Tbk memasang iklan satu halaman penuh di Harian Kompas edisi Selasa (27/8/2019). Dalam iklan tersebut, PT APLN memajang foto apartemen bernama Borneo Bay City dengan disertai embel-embel "Investasi Terbaik di Ibu Kota Negara". Atas dasar itu, muncul tudingan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur hanya untuk kepentingan swasta. 

Selain tudingan kongkalikong dengan swasta, muncul pula tudingan terkait adanya "deal" politik antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terkait pemindahan ibu kota. 

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menduga ada kompensasi politik bagi Prabowo Subianto pasca-Pilpres 2019 di balik rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Dinamisator JATAM Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, sebagian besar lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara, khususnya di Kecamatan Sepaku, dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama. Kedua perusahaan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) itu disebut milik Prabowo dan Hashim Djojohadikusumo sebagai komisaris utama. Selain itu, Rupang juga menduga pemindahan ibu kota hanya akan menguntungkan pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur. Pemindahan berkedok mega proyek ini hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur. (money.kompas.com)

Sederet fakta diatas menggambarkan apa yang disebut corporate state atau korporatokrasi. Negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Negara  menyerahkan urusannya kepada korporasi dengan kedok investasi. Harus disadari inilah bentuk penjajahan gaya baru berwatak neoliberalisme. 

Neoliberalisme yang bersumber dari paham sekulerisme telah dijadikan landasan pemerintah dalam setiap pengambilan keputusan serta kebijakan. Dengan menyerahkan lebih dari 90% pendanaan proyek pemindahan ibukota negara kepada pihak swasta, mencerminkan watak neoliberal pemerintah. Negara mengabdi kepada kepentingan korporasi pemilik modal. Sehingga pindah ibukota negara jauh dari tujuan untuk kepentingan rakyat.

Kaltim yang kaya SDA, wilayah dengan sumber batubara, minyak, gas, hutan, tentu menjadi peluang besar bagi korporasi domestik apalagi asing, jangan sampai Kaltim bernasib seperti Papua, wilayah dengan sumber emas yang luar biasa, namun dikuasai korporasi asing (Freeport). 

John Perkins dalam bukunya an economic hitman menceritakan bagaimana korporasi besar bermain dengan penguasa dan politikus negara-negara berkembang untuk menguasai sumber daya alamnya. 

Oleh karena itu, bentuk-bentuk pengkhianatan penguasa dengan korporasi harus dihentikan dengan mewujudkan Islam kaffah. 
Sebagaimana Rasulullah SAW diutus dengan membawa risalah Islam untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dari sistem jahiliyah yang menjajah serta menyengsarakan menuju peradaban mulia yang gemilang dibawah naungan Khilafah yang terbukukti selama 14 Abad memimpin dunia. wallahu'alam

Post a Comment

Previous Post Next Post