Pelajaran dari Hijrah Nabi

Oleh: Al Azizy Revolusi 
(Penulis, Editor, Direktur @dakwahremajakonawe)

Banyak orang yang menganggap bahwa hijrahnya Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan kaum Muslim dari kota Makkah ke Madinah adalah sebuah eksodus (pelarian); menghindar dari kekejaman, penganiayaan, dan pembunuhan orang-orang Quraisy yang dilakukan secara sistematis terhadap Rasulullah dan para pengikutnya. Hijrah Rasulullah dan kaum Muslim dari Makkah ke Madinah sangat berbeda latar belakang dan tujuannya dengan hijrahnya sebagian kaum Muslim ke Habasyah, yang pernah dilakukan mereka pada masa sebelumnya.

Anggapan atau tuduhan bahwa hijrahnya Rasulullah dan kaum Muslim ke Madinah itu tindakan eksodus lantaran takut dibunuh oleh kaum Quraisy sama sekali tidak benar. Sebab Rasulullah tidak pernah menghitung kematian dalam menempuh jalan dakwah. Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah dan kaum Muslim yang merupakan perintah Allah kepada mereka adalah demi dakwah Islam dan tegaknya Daulah Islamiyah. Justru orang-orang Quraisy bersekongkol untuk membunuh Rasulullah lantaran takut Beliau hijrah dari Makkah ke Madinah. (an-Nabhani, Daulah Islamiyah, hal 47).

Hijrahnya kaum Muslim ke Madinah dengan sendirinya menuntut pengorbanan yang sangat besar. Banyak di antara mereka yang terpaksa meninggalkan perniagaannya di kota Makkah; tidak sedikit kaum Muhajirin yang terpaksa meninggalkan suami atau istrinya yang masih tetap kafir, atau bahkan anak-anak, orangtua dan keluarga/sukunya; banyak pula yang meninggalkan rumah tempat kediamannya. Yang tidak sanggup pergi berhijrah—karena ditawan oleh keluarga atau kabilahnya, atau dihalang-halangi oleh majikannya—juga dituntut untuk berkorban. Ibn Ishaq berkata, “Kaum Muslim Makkah yang tidak sanggup berhijrah pasti ia disiksa atau ditawan oleh orang-orang Quraisy.” (Sîrah Ibn Hisyâm, jilid II/116).

Begitulah kondisi Rasulullah dan kaum Muslim Muhajirin, mereka mengorbankan apapun yang dimilikinya, semata-mata untuk menunaikan perintah Allah dan meraih keridhaan-Nya. Di samping itu mereka melihat harapan baru bagi tumbuhnya Islam di Madinah yang kondusif. 

Dalam sejarah perkembangan Islam, hijrah merupakan garis batas pemisah antara fase dakwah kepada Islam dengan fase mewujudkan masyarakat dan negara yang menjalankan pemerintahan dengan Islam dan menerapkan hukum syariatnya. Batas antara dakwah menggunakan dalil dan argumentasi dengan kekuatan negara yang melindungi dakwah dari berbagai kekuatan jahat.(an-Nabhani, Daulah Islamiyah, hal 48).

Setibanya Rasulullah di Madinah, sambutan kaum Muslim Anshar sangat antusias. Berhari-hari kaum Muslim Anshar rela menanti Rasulullah di luar kota Madinah, rela berpanas-panas di bawah terik matahari. Hal itu merupakan ungkapan kecintaan mereka terhadap Rasulullah, serta konsekuensi dari perjanjian mereka dengan Rasulullah (dalam Baiat Aqabah II) yang mengharuskan mereka (kaum Anshar) untuk menjaga dan melindungi Rasulullah. Kecintaan mereka terhadap Rasulullah melebihi kecintaan mereka terhadap harta kekayaan mereka, anak, istri, dan keluarga mereka; bahkan terhadap jiwa mereka sekalipun.

Meskipun demikian, kecintaan kepada Rasulullah tidak serta-merta diwujudkan hanya dengan menyambutnya dengan perasaan was-was dan gembira. Akan tetapi, lebih dari itu, kecintaan kepada Rasulullah harus disertai dengan mengikuti dan menjalankan amal perbuatan Rasulullah yang telah ditaklifkan kepada kaum Muslim, termasuk mengikuti manhaj Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wasallam di dalam berdakwah. Itulah yang dilakukan sahabat Muhajirin dan Anshar. Bagaimana dengan kita?[]

Post a Comment

Previous Post Next Post