Khilafah Menjaga Papua ?

Penulis : Salasiah, S.Pd
(Pendidik & Owner Rufidz Ahmad)


Kepala kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jendral Pol Tito Karnavian mengakui, pengiriman pasukan ke NDuga, Papua karena adanya pembantaian 34 karyawan PT Istaka seusai pertemuan dengan  tokoh agama dan masyarakat di Jayapura (eramuslim.com 29/8/1019). 

Masyarakat jadi heran mengapa hanya 300 brimob yang dikerahkan untuk mengamankan papua (CNN Indonesia, 29/8/2019) yang menjadi ladang OPM bersenjata dan menelan korban aparat TNI. Padahal dalam catatan radikalisme ala pemerintah yang ditujukan pada umat Islam, polda metro jaya mampu mengerahkan 35 ribu brimob untuk mengamankan aksi 212 yang hanya membawa kelengkapan alat shalat dan al-qur’an yang baham pernah dijadikan barang bukti terorisme. Menghadapi OPM aparat diamanatkan untuk bersikap persuasive menghadapi provokasi OPM yang bersenjata lengkap.

Sumber di Kodam XVII Cendrawasih membenarkan adanya anggota Polri dan TNI yang terkena panah, dan mengakibatkan anggota TNI. Serda Rikson, prajurit Kodam II Sriwijaya, gugur mengenaskan di panah di Papua. Unjuk rasa jilid 2 ini berlangsung di Kabupaten Deiya pada Rabu, 28 Agustus 2019. Setelah sebelumnya berakhir rusuh terjadi pada 24 Agustus lalu di Manokwari.

Organisasi seperti OPM yang secara terbuka menghendaki disintegrasi, tidak disebut membahayakan persatuan dan kebhinekaan. Kelu sekali suara pemerintah untuk menyatakan OPM sebagai gerakan saparatisme (Upaya memisahkan diri) dari NKRI. Berndera mereka telah dikibarkan di depan Istana dengan lantang dan menantang. Berbeda dengan sikap sangar, kriminalisasi yang ditujukan terhadap bendera tauhid yang bahkan hanya dikibarkan oleh anak sekolah.

Anton Permana, Direktur Executive Forum Musyawarah Majelis Bangsa Indonesia (alumni PPRA LEMHANNAS RI) menghubungkan insiden rusuh Papua yang berdarah-darah penuh anarkisme sebagai sambutan pengumuman pindah ibukota pada tanggal 16 Agustus yang lalu. Anton permana menganalisa pindahnya ibukota ke Kalimantan mempunyai peran penting dan strategis bagi program OBOR (One Belt One Road) sebagai pintu masuk China untuk menancapkan hegemoninya lebih dalam di kawasan Asia. Ibukota adalah Centre Of Gravity sebuah Negara. Di dalam peperangan militer adalah symbol penaklukkan dari sebuah Negara. Apabila ibukota ditaklukkan, berarti itu akan sama dengan keberhasilan menaklukan dan menguasai Negara. Scenario peta jalan pepindahan ini langsung terbaca oleh si adi kuasa Amerika bersama aliansinya. 

Kalau Kalimantan menjadi pintu masuk program OBOR China. Maka papua adalah pintu masuk program TTP (Trans Pacific Partnership) Amerika dan aliansinya untuk membendung hegemoni China di Asia Pasifik. Amerika tidak akan rela “ladang” suburnya selama ini diambil alih China.  Karena sumber kekayaan alam  Papua yang melimpah, serta letak geografis papua yang tepat berada di tengah kawasan yang menghubungkan Amerika dengan Asia-Pasific-Australia. 

Berbeda dengan black campaign radikalisme yang disematkan kepada kelompok-kelompok Islam yang keras menyuarakan halal-haram sebagai kelompok pembuat onar, anarkis, dan membahayakan Indonesia dengan tujuan pembubaran, pembekuan, dan pelarangan organisasi-organisasi mandiri berbasis Islam.  Pemerintahan yang tergadai pada dua kubu kepentingan asing pada akhirnya tidak mampu mengambil tindakan. Padahal tindakan refresif terhadap gerakan Islam ideologis, yang notabene mereka tidak menerima anggaran dana dari pemerintaha dan pihak asing, mereka sesungguhnya ditengarai bisa membahayakan mulusnya cengkraman asing terhadap Indonesia.

Apa solusi Pancasila untuk mengatasi masalah saparatisme OPM? Kemana hilangnya suluh suara penjaga pancasila, BPIP. Dimana meraka yang keras bersuara “Aku Pancasila, Aku Indonesia”. Apakah tidak ada gelontor dana yang menggiurkan untuk mengintip  rakyat di Maureke? Kemana hilangnya kegagahan banser penjaga bendera yang berani mencap bendera tauhid sebagai bendera makar, namun tertunduk layu ketika bendera OPM berkibar di depan istana. Gerakan OPM dilakukan oleh radikalis Kristen, di mana pemuka agama mereka? Dikirimkah mereka untuk menetralisisr atau memberi pencerahan dari sudut pandang agama?

Seperti ungkapan Presiden AS  Franklin D Roosvelt, tidak ada yang kebetulan dalam politik. Kalau ada yang kebetulan itu direncanakan.  Indonesia telah pernah memperkecil wilayahnya dalam peta dengan melepas Timor-timur dari pangkuan NKRI berkat peran aktif Australia. Belakangn diketahu motif utama Australia mensponsori kemerdekaan Timor-Timur adalah celah Timor yang ditengarai kaya akan minyak.

Sejarah Indonesia mengingatkan kita bagaimana Papau di selamatkan NKRI dengan harga yang tidak murah. Operasi Trikora, pertempuran laut Aru yang menenggelamkan KRI Macan Kumbang, hingga gugurmya Komando Yos Sudarso. Operasi Ampibi terbesar di Indonesia dalam operasi Jaya Wijaya melibatkan 1000 wahana tempur  dan 16000 pasukan TNI yang siap membawa Papua ke dalam pelukan NKRI, yang akhirnya membuat Belanda mengakui Papua sebagai bagian wilayah kesatuan Indonesia. Maka kelompok Islam  Ideologis  bergerak secara pemekiran untuk mengingatkan pemerintah bersikap tegas agar Papua tetap  Maureke yang menjadi satu bagian Indonesia.

Jika tuduhan Teddy Gusnaidi dalam twitt-nya bahwa yang memframing Papua mencekam hanyalah para pendukung Khilafah, berarti Teddy dan pendukungnya mengakui bahwa pendukung khilafah lah sebenarnya yang memahami arti persatuan. Karena bangunan khilafah adalah kesatuan dalam kepimimpinan umum. Khilafah merangkul semua elemen untuk bersatu dalam bangsa yang besar dan mandiri, bukan bangsa yang lemah dan terpecah oleh hegemoni asing.

Khilafah sebagai kekuatan ideologi yang ingin disunyikan oleh kekuatan ideologi Sosialis China dan ideologi Sekularis Amerika akan menyerahkan rusuh Papua ke tangan TNI sebagai benteng penjaga kedaulatan. Badan intelegen TNI bergerak sigap atas pergerakan OPM dalam pergerakan  referendumnya, dan menutup rapat campur tangan asing, serta merangkul OPM kembali ke pangkuan ibu pertiwi. TNI bersama rakyat membasmi habis OPM  yang masih melakukan pembangkangan.  Indonesia sebagai Negara mandiri semestinya mampu muncul di tengah dua himpitan kekuatan itu sebagai kekuatan baru, bergantung kepemimpinan yang bersedia mandiri. Suara pemilih presiden Jokowi begitu besar di Papua, mengapa yang terdengar adalah referendum  pisah dari NKRI? Wallahu’alam Bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post