Karhutla, antara Kepentingan Koorporasi dan Teguran dari Yang Mahakuasa!

Oleh : Mardina

Indonesia sebuah negeri kaya raya membentang dari Sabang di ujung Aceh sampai Merauke di tanah Papua. Beraneka ragam flora dan fauna yang unik dan langka masih terdapat di negara ini. Indonesia juga dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia karena memiliki hutan yang sangat luas. Hutan Indonesia merupakan hutan yang menduduki urutan ketiga terluas di dunia dengan hutan tropis dan sumbangan dari hutan hujan (rain forest) Kalimantan dan Papua.

Ini merupakan satu prestasi membanggakan mengingat hutan merupakan salah satu pendukung yang sangat penting bagi keseimbangan alam. Namun betapa memprihatinkan mengingat laju kehilangan hutan di Indonesia begitu cepat dikarenakan kebakaran yang setiap tahunnya terjadi, termasuk  Kalimantan Selatan.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalsel terus bertambah. Jumat (13/9) kemarin kembali menjadi puncaknya, Stasiun Meteorologi Kelas II Syamsudin Noor mencatat pada pagi hari ada 419 titik panas atau hotspot yang mengepung Kalsel. Jumlah tersebut menjadi yang terbanyak sepanjang 2019(PROKAL.CO, BANJARBARU, 14/09/2019)

Alhasil, banyak hewan habitatnya terganggu. Asap akibat kebakaran menjadi polusi udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat dan menghambat aktivitas mereka. 
Berbagai upaya telah dilakukan agar bencana ini segera berakhir, mulai dari mengerahkan helicopter water boombing, UU pidana bagi pelaku pembakaran sampai doa bersama yang sudah dipanjatkan dalam sholat hajat maupun sholat istighotsah. 

Faktor penyebab terjadinya karhutla memang tidak tunggal. Karhutla bisa dipicu faktor alam seperti bencana kekeringan yang berkepanjangan. Pada kasus seperti ini, gesekan daun atau ranting kering saja bisa menjadi penyebab terjadinya kebakaran besar. 

Namun kebanyakan kasus karhutla justru disebabkan oleh faktor human error, baik yang disengaja atau pun yang tak disengaja. Aktivitas yang tidak disengaja misalnya akibat buangan puntung rokok atau sisa api unggun yang tidak benar-benar dimatikan. Sementara yang disengaja misalnya, pembukaan ladang oleh petani tradisional, maupun oleh perusahaan pengelola HTI yang hanya ingin mencari kemudahan membuka hutan tanpa berpikir dampak jangka panjang. Yang terakhir inilah yang disinyalir menjadi penyebab utama kasus-kasus besar karhutla.

Ironisnya, mereka yang seharusnya bertanggungjawab sangat sulit disentuh hukum. Kalaupun ada ancaman hukuman, maka sifatnya hanya administratif saja, seperti pencabutan izin atau denda. Itupun ternyata tak mampu membuat kasus-kasus karhutla berkurang apalagi hilang. Tak sedikit kasus-kasus yang sudah sampai ke pengadilan, ujungnya tidak pernah jelas. Usut punya usut, ternyata salah satu penyebabnya adalah karena rata-rata korporasi pemilik HTI termasuk perkebunan sawit itu adalah para pejabat negara atau para cukong yang dibacking oleh para pejabat negara.

Negara harus menindak tegas para pelaku tanpa pandang bulu karena fungsi negara sebagai pengurus dan penjaga umat. Yakni dengan menerapkan seluruh aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan, yang sedianya memang diturunkan oleh Sang Pencipta sebagai rahmat bagi seluruh alam, namun mustahil bisa dilakukan di sistem sekarang. 

Salah satu aturan Islam yang menyangkut hutan dan lahan gambut adalah adanya penetapan As-Syaari (yakni Allah SWT) atas kedua sumber daya ini sebagai milik umum, bukan milik individu atau milik negara. Rasulullah Saw bersabda :Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api; Harganya (menjual-belikannya) adalah haram. (HR Ibn Majah dan Abu Dawud)

Para ulama terdahulu sepakat bahwa air, api dan padang rumput adalah milik bersama, tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang.  Islam mengharamkan semua harta milik umum diserahkan kepada swasta, baik swasta nasional apalagi swasta asing. Harta milik umum itu harus dikelola oleh negara yang mewakili masyarakat, dan hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Seharusnya musibah demi musibah yang melanda negeri ini menjadikan manusia menyadari betapa lemah dan tidak berdayanya kita di hadapan Allah. Dan menyadari bahwa bencana alam yang terjadi adalah teguran dan peringatan dari Allah agar manusia kembali kepada Allah dengan menerapkan aturan Allah  SWT secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bisshowwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post