*Hubungan Antara  Akhlak, Iman dan Tauhid*

Oleh: Sumiati  
Praktisi Pendidikan dan Member AMK 

Akhlak adalah ciri khas yang di miliki umat Islam. Bukan hanya untuk sesama muslim, namun untuk orang non muslim sekalipun. Orang yang memiliki akhlak yang baik akan banyak di senangi orang walaupun orangnya sederhana Di senangi secara tulus tanpa suatu kepalsuan. Ada pandangan di tengah-tengah masyarakat  tentang kehidupan, bahwa seseorang yang di senangi akan  mendapatkan keuntungan materi saja. Ketika materi tak di dapatkan, maka ia pun akan meninggalkan begitu saja. Untuk itu akhlak mulia bagi seorang wajib diperhatikan.

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan, terutama  sebagai penuntut ilmu agama, dimana akhlak menjadi cerminan langsung apa yang ada di hati, cerminan keikhlasan dan penerapan ilmu yang diperoleh. Lihat bagimana A’isyah radhiallahu ‘anha mengambarkan langsung akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan teladan dalam iman dan tauhid, A’isyah radhiallahu ‘anha berkata,

 كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

 “Akhlak beliau adalah Alquran” [HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad 6/54]

Yang mengucapkan demikian adalah A’isyah radhiallahu ‘anha, istri yang paling sering bergaul dengan beliau, dan perlu kita ketahui bahwa salah satu ukuran ahklak seseorang adalah bagaimana akhlaknya dengan istri dan keluarganya. Rasulalluh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” [H.R. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan Al-Albani menilai hadits tersebut sahih].

Akhlak di rumah dan keluarga menjadi ukuran karena seseorang bergaul lebih banyak di rumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya bergaul sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak buruknya dan hal ini jarang di ketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak buruknya, baik karena statusnya yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut di nilai oleh orang lain.

Dan tolak ukur yang lain adalah takwa sehingga Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa salam menggabungkannya dengan akhlak, beliau bersabda,

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan hadist ini,

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, merealisasikan ketakwaannya dan berakhlak kepada manusia -sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka- dengan akhlak yang baik, maka ia medapatkan kebaikan seluruhnya, karena ia menunaikan hak hak Allah dan Hamba-Nya. [Bahjatu Qulubil Abror hal 62, cetakan pertama, Darul Kutubil ‘ilmiyah]

Demikian pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa salam,

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ اَلْجَنَّةَ تَقْوى اَللَّهِ وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ

 “Yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Al-Haakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Tingginya ilmu bukan tolak ukur iman dan tauhid

Karena ilmu terkadang tidak kita amalkan, yang benar ilmu hanyalah sebagai wasilah/perantara untuk beramal dan bukan tujuan utama kita. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman,

 جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

 “Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” [Al-Waqi’ah: 24]

Allah tidak berfirman,

جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ

 “Sebagai balasan apa yang telah mereka ketahui.”

Dan cukuplah peringatan langsung dalam Alquran bagi mereka yang berilmu tanpa mengamalkan:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَْ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

 ”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 3)

Dan bisa jadi Ilmunya tinggi karena di karuniai kepintaran dan kedudukan oleh Allah sehingga mudah memahami, menghapal dan menyerap ilmu.

Ilmu Agama hanya sebagai wawasan ?

Inilah kesalahan yang perlu di perbaiki bersama, sebagian kita giat menuntut ilmu karena menjadikan sebagai wawasan saja, agar mendapat kedudukan sebagai seorang yang tinggi ilmunya, dihormati banyak orang dan diakui keilmuannya. Kita perlu menanamkan dengan kuat bahwa niat menambah ilmu agar menambah akhlak dan amal kita. Bukan untuk penilaian dari makhluk, namun untuk melayakan diri hingga cinta Allah diraihnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah juga tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.” [Al-Fawa’id hal 171, Maktabah Ast-Tsaqofiy]

Sibuk belajar ilmu fiqh dan Ushul, melupakan ilmu akhlak dan pensucian jiwa.

Yang perlu kita perbaiki bersama juga, sebagian kita sibuk mempelajari ilmu fiqh, ushul tafsir, ushul fiqh, ilmu mustholah hadist, ilmu Alquran,  dalam rangka memperoleh kedudukan yang tinggi, mencapai gelar “ustadz”, menjadi rujukan dalam berbagai pertanyaan. Akan tetapi terkadang kita lupa mempelajari ilmu akhlak dan pensucian jiwa, berusaha memperbaiki jiwa dan hati kita, berusaha mengetahui celah-celah setan merusak akhlak kita serta mengingat bahwa salah satu tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].

Ahlak yang mulia juga termasuk dalam masalah akidah

Karena itu kita jangan melupakan pelajaran akhlak mulia, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memasukkan penerapan akhlak yang mulia dalam permasalahan akidah. Beliau berkata:

“Dan mereka (al-firqah an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada (penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, “Yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.“ Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzalim dan permusuhan terhadap orang lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk.” [lihat Matan ‘Aqiidah al-Waashithiyyah]

Bagi yang sudah “ngaji” Setan lebih mengincar akhlak bukan akidah.

Bagi yang sudah “ngaji”, yang posisinya  Insya Allah sudah mempelajari ilmu tauhid dan akidah, mengetahui sunnah, mengetahui berbagai macam maksiat, tidak mungkin setan mengoda dengan cara mengajaknya untuk berbuat syirik, melakukan bid’ah, melakukan maksiat akan tetapi setan berusaha merusak akhlaknya. Setan berusaha menanamkan rasa dengki, hasad, sombong, angkuh, merasa paling benar, paling sempurna dan berbagai akhlak jelak lainnya.

Setan menempuh segala cara untuk menyesatkan manusia, tokoh utama setan yaitu Iblis berikrar untuk hal tersebut setelah Allah azza wa jalla menghukumnya dan mengeluarkannya dari surga, maka iblis menjawab:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَْ ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan(menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 16-17)

Umat membutuhkan teladan akhlak dan takwa.

Saat ini, dikala sistem yang diterapkan bukan Islam, betapa berat bagi umat untuk taat dan tunduk, penguasa saja tak peduli dengan akhlak bangsanya, ilmu fiqih begitu pesat namun tak seimbang dengan adab. Umat tidak hanya butuh terhadap teladan ilmu tetapi kita lebih butuh teladan ahklak dan takwa, sehingga kita bisa melihat dengan nyata dan mencontoh langsung akhlak dan takwa orang tersebut terutama para ustadz dan syaikh.

Yang perlu kita perhatikan juga, jika menuntut ilmu dari seseorang yang pertama kali kita ambil adalah akhlak dan adab orang tersebut baru kita mengambil ilmunya. Ibu Imam Malik rahimahullahu, sangat paham hal ini dalam mendidik anaknya, beliau memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Imam Malik rahimahullahu mengisahkan:

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik )! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’. (Waratsatul Anbiya’, dikutip dari majalah Asy Syariah No. 45/IV/1429 H/2008, halaman 76 s.d. 78)

Hal inilah yang kita harapkan, banyak teladan langsung seperti ini. Para ulama pun demikian sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,

“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Maktabah Syamilah]

Sudah lama “ngaji” tetapi kok susah sekali memperbaiki Akhlak?

Memang memperbaiki akhlak adalah hal yang tidak mudah dan butuh “mujahadah” perjuangan yang kuat. Bahkan setingkat para ulama saja membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki akhlak.

Berkata Abdullah bin Mubarak rahimahullahu :

طلبت الأدب ثلاثين سنة وطلبت العلم عشرين سنة كانوا يطلبون الأدب ثم العلم

“Saya mempelajari adab selama 30 tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama 20 tahun, dan ada-lah mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu.” [Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro I/446, cetakan pertama, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Maktabah Syamilah]

Dan kita tetap terus menuntut ilmu untuk memperbaiki akhlak kita karena ilmu agama yang shohih tidak akan masuk dan menetap dalam seseorang yang mempunyai jiwa yang buruk. Jiwa yang tidak tunduk kepada aturan robb-Nya.

Imam Al Ghazali rahimahullahu berkata:

“Kami dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah taala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah taala.” [Thabaqat Asy Syafi’iyah, dinukil dari tulisan ustadz Kholid syamhudi, Lc, majalah Assunah].

Jadi hanya ada kemungkinan, ilmu agama tidak akan menetap pada kita ataupun ilmu agama itu akan memperbaiki kita. Jika kita terus menerus menuntut ilmu agama maka Insya Allah ilmu tersebut akan memperbaiki akhlak kita dan pribadi kita.

Mari kita perbaiki akhlak untuk dakwah.

Karena akhlak buruk, beberapa orang menilai dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang keras, kaku, mau menang sendiri, sehingga beberapa orang lari dari dakwah dan menjauh. Sehingga dakwah yang gagal karena rusaknya ahklak pelaku dakwah itu sendiri. Padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari.” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmi no.69]

Karena Akhlak yang buruk pula ahlus sunnah berpecah belah, saling sikut, saling menjauhi, sumber perpecahan adalah perasaan hasad dan dengki, baik antar ustadz ataupun antar muridnya. Dan kita patut berkaca pada sejarah bagaimana Islam dan dakwah bisa berkembang karena akhlak pendakwahnya yang mulia.

Jangan lupa berdoa agar akhlak kita menjadi baik

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu do’anya beliau mengucapkan:

,أَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ الأَخْلَاقِ, فَإِنَّهُ لَا يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّاأَنْتَ

وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَالَايَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَاإِلَّاأَنْتَ

“Ya Allah, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain Engkau.” (HR. Muslim 771, Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419)

Dan doa dijauhkan dari akhlak yang buruk.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlak, amal dan hawa nafsu yang mungkar.” (HR. Tirmidzi no. 3591, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Dzolalul Jannah: 13)

Islam begitu memperhatikan akhlak  pengembannya. Terlebih jika Islam diterapkan dalam bingkai syariah khilafah ala minhajinnubuwwah. Negara termasuk yang mengontrol perilaku masyarakatnya oleh wakil-wakilnya, hingga kerancuan seperti yang terjadi hari ini tak akan di jumpai.
Wallaahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post