Dzahir, Bathin Lillaah Masya Allaah

Oleh : Sumiati  
(Praktisi Pendidikan)

Sabtu 14 September 2019, kembali melukiskan sejarah perjalanan sang penimba ilmu. Seorang  penuntut ilmu harus memilih yang terbaik dari setiap ilmu. Selain itu, ia harus memilih ilmu yang ia butuhkan dalam urusan agamanya pada saat itu, kemudian ilmu yang ia butuhkan pada masa yang akan datang.

Tak henti-hentinya ku panjatkan syukur kepada Allaah ta'ala yang Maha Ghafur, selangkah demi selangkah di tengah keterbatasan segalanya, ku coba terus menapaki jalan musafir dalam cinta terhadap ilmu untuk raih cinta Allaah ta'ala. Lelah pasti, karena itulah sebuah perjuangan yang jauh tak sebanding dengan lelah Rasulullah saw dan para sahabat mulia.

Pembahasan kali ini bab tajwid, tak henti-hentinya Syeikh Husni mengingatkan tentang adab, kesungguhan, Lillaah, niat yang lurus dan lain-lain. Masjid al Muhajirin yang berada di Komplek Griya Mitra Posindo Cinunuk, Cileunyi Bandung menjadi saksi kesungguhan emak-emak, teteh-teteh, bp-bp dan remaja militan dalam kajian Muqodimah al Jazariyah. Semoga Allaah ta'ala mudahkan dan ridhai perjalanan kami. Semoga keberkahan Allaah ta'ala curahkan untuk guru-guru kami.

Membaca al Quran dengan tajwid hukumnya wajib 'ain, tak ada perbedaan antara para ulama qiro’at, namun dari segi teori para ulama ada berbeda pendapat, yang jumhur mengatakan fardhu kifayah, sebagian ulama mengatakan fardhu 'ain dan sebagainya lagi terbagi dua, yaitu al 'ammah (umum ) orang awam seperti para petani, pedagang dan lain-lain maka wajib kifayah, sementara yang khusus misalnya santri, guru, ustadz dan lainnya, wajib 'ain.

Masya Allaah, mengamalkan ilmu tajwid merupakan kewajiban, dan jika tidak memperbaiki hukumnya berdosa. Waktu bertambah, kesadaran umat Islam pula bertambah. Semoga dengan berbagai upaya dari seluruh aspek kehidupan, kemenangan Islam kian dekat, sehingga kondisi di masa kejayaan Islam segera terulang kembali, indahnya taat, nikmatnya mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, tidak terganggu dengan situasi dan kondisi lingkungan yang tidak berpihak kepada seluruh manusia, juga kondisi sistem yang menjauhkan diri dari Rabbnya. 

SubhanaLlaah

Syaikh berkisah tentang guru beliau di Mesir, banyak guru beliau yang tadinya melihat, namun Allaah ta'ala cabut penglihatannya, namun hafalannya luar biasa mengalahkan orang-orang yang normal penglihatannya. Mata beliau Allaah ta'ala tutup agar tidak melihat maksiyat, karena maksiyat merusak hafalan. 
Masya Allaah, bagaimana dengan kita yang berjibaku terus dengan maksiyat 😭😭😭.


Teringat dengan perkataan beliau, 
Sudah ma’ruf perkataan Imam Syafi’i di tengah-tengah kita mengenai jeleknya hafalan karena sebab maksiat. Tulisan ini sebagai ibrah bagi kita bahwa maksiat bisa mempengaruhi jeleknya hafalan dan mengganggu ibadah kita.

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,

شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي

“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa  ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).

Padahal Imam Syafi’i sebenarnya orang yang hafalannya sungguh amat luar biasa. Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, ia berkata, “Aku telah menghafalkan Al Qur’an ketika berumur 7 tahun. Aku pun telah menghafal kitab Al Muwatho’ ketika berumur 10 tahun. Ketika berusia 15 tahun, aku pun sudah berfatwa.” (Thorh At Tatsrib, 1: 95-96). Sungguh luar biasa hafalan beliau rahimahullah.

Namun kenapa hafalan beliau bisa terganggu?

Ketika itu Imam Syafi’i mengadukan pada gurunya Waki’. Beliau berkata, “Wahai guruku, aku tidak dapat mengulangi hafalanku dengan cepat. Apa sebabnya?” Gurunya, Waki’ lantas berkata, “Engkau pasti pernah melakukan suatu dosa. Cobalah engkau merenungkan kembali!”

Imam Syafi’i pun merenung, ia merenungkan keadaan dirinya, “Apa yah dosa yang kira-kira telah kuperbuat?” Beliau pun teringat bahwa pernah suatu saat beliau melihat seorang wanita tanpa sengaja yang sedang menaiki kendaraannya, lantas tersingkap pahanya [ada pula yang mengatakan: yang terlihat adalah mata kakinya]. Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya.

Lantas keluarlah sya’ir yang diucapkan di atas. Inilah tanda waro’ dari Imam Asy Syafi’i, yaitu kehati-hatian beliau dari maksiat. Beliau melihat kaki wanita yang tidak halal baginya, lantas beliau menyebut dirinya bermaksiat. Sehingga ia lupa terhadap apa yang telah ia hafalkan. 

Hafalan beliau bisa terganggu karena ketidak-sengajaan. Itu pun sudah mempengaruhi hafalan beliau. Bagaimana lagi pada orang yang senang melihat wajah wanita, aurat mereka atau bahkan melihat bagian dalam tubuh mereka?!

Sungguh, kita memang benar-benar telah terlena dengan maksiat. Lantas maksiat tersebut menutupi hati kita sehingga kita pun sulit melakukan ketaatan, malas untuk beribadah, juga sulit dalam hafalan Al Qur’an dan hafalan ilmu lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14).

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 14: 268).

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.” (Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7: 442).

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.” (Ad Daa’ wad Dawaa’,107.)

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,

بقدر ما يصغر الذنب عندك يعظم عند الله وبقدر ما يعظم عندك يصغر عند الله

“Jika engkau menganggap dosa itu kecil, maka itu sudah dianggap besar di sisi Allah. Sebaliknya, jika engkau mengganggap dosa itu begitu besar, maka itu akan menjadi ringan di sisi Allah.”

Imam Ahmad berkata bahwa beliau pernah mendengar Bilal bin Sa’id menuturkan,

لا تنظر إلى صغر الخطيئة ولكن انظر إلى عظم من عصيت

“Janganlah engkau melihat pada kecilnya dosa. Akan tetapi lihatlah pada agungnya siapa yang engkau maksiati (yaitu Allah Ta’ala).”

Ya Allah, berilah taufik pada kami untuk mudah melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat serta berilah hidayah pada kami untuk giat bertaubat.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ

Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran.

Astagfirullahal 'adziim
Astagfirullahal 'adziim
Astagfirullahal 'adziim

Wallaahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post