BPJS: Jaminan Kesehatan yang Sakit-Sakitan



Oleh: Eva Rahmawati 
(Komunitas Penulis Bela Islam)

Sejak kelahirannya hingga sekarang BPJS Kesehatan selalu dalam kondisi sakit-sakitan. Hal ini dapat dilihat dari sakitnya kondisi keuangan lembaga tersebut. Bahkan dari tahun ke tahun selalu mengalami defisit. Setelah defisit Rp3,3 triliun pada tahun pertamanya, di 2014 lalu, defisitnya kian bengkak hingga menyentuh Rp5,7 triliun pada 2015. 

Kemudian, menjadi Rp9,7 triliun pada 2016 dan Rp9,75 triliun pada 2017. Untuk tahun ini, defisit diproyeksikan mencapai Rp16,5 triliun, yang belakangan dikoreksi hanya tersisa Rp10,98 triliun berdasar hitung-hitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (cnnindonesia.com, 19/9/18)

Bukan hanya sakit pada anggarannya, BPJS Kesehatan juga sakit dalam mengelola pemasukan dan pengeluaran. Dalam perjalanannya pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini terseok-seok dalam memenuhi pembayaran di sejumlah Rumah Sakit dan obat-obatan. Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, per Januari 2019 utang BPJS Kesehatan yang jatuh tempo ke RS mencapai Rp12,97 triliun, dengan liabilitas pelayanan kesehatan dalam proses Rp3,93 triliun. Angka itu pun belum memperhitungkan pelayanan kesehatan yang belum dilaporkan yang sekitar Rp17,53 triliun. 

"Utang BPJS Kesehatan ke RS memang sangat besar dan tentunya sangat mengganggu cash flow RS, sehingga RS mengalami masalah dalam menjalankan operasionalnya. Dampak langsungnya adalah pelayanan kesehatan kepada peserta terganggu," katanya. 

Di samping itu, tunggakan utang untuk obat-obatan juga tak sedikit. Direktur Presiden PT Hexpharm Jaya Laboratories, Mulia Lie menyatakan sejak tender pertama JKN, KLBF aktif berkontribusi dalam penyaluran obat generik ke rumah sakit pemerintah. “Namun sampai saat ini total piutang BPJS terhadap KLBF sebesar Rp 200 miliar sampai Rp 250 miliar untuk total bisnis Pharma termasuk generik dan non generik,” kata Mulia kepada Kontan.co.id, Kamis (1/8).

Inilah kondisi riil BPJS Kesehatan yang sakit-sakitan. Untuk mengobati sakit tersebut pemerintah hanya berpikir untuk segera menaikkan iuran. Tak tanggung-tanggung pemerintah mengusulkan kenaikan iuran hingga 100%. Pemerintah berharap dengan kenaikan iuran tersebut tidak akan defisit lagi. Peraturan kenaikannya akan diteken oleh presiden, tertuang dalam peraturan presiden (perpres) kenaikan iuran BPJS Kesehatan. 

Langkah pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan mendapat respon keras dari berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para peserta non PBI. Dengan adanya kenaikan hingga dua kali lipat dapat dipastikan rakyat semakin tercekik. Padahal, rakyat sudah sangat terbebani dengan kenaikan kebutuhan pokok (papan, sandang dan pangan), BBM, TDL, gas dan juga biaya pendidikan. Belum ditambah kenaikan pajak. Rakyat terus diperas habis-habisan. Belum puaskah menambah derita rakyat? 

Dalam pengelolaan BPJS Kesehatan ada dua kebijakan yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi pemerintah hendak menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi rakyat hingga dua kali lipat, hal ini sesuai dengan usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani yaitu iuran BJKN kelas Mandiri I naik 100 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan mulai 1 Januari 2020 mendatang. Lalu, iuran kelas Mandiri II naik dari Rp59 ribu menjadi Rp110 ribu per peserta per bulan. Kemudian, iuran kelas Mandiri III naik Rp16.500 dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan. 

Di sisi lain pemerintah menaikkan gaji Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS hingga dua kali lipat. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 Tahun 2019 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS. Hal ini dapat dilihat dari Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan beban insentif kepada direksi sebesar Rp32,88 miliar. Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp4,11 miliar per orang. (cnnindonesia.com, 14/8/19)

Dari dua kebijakan tersebut dapat dilihat keberpihakkan pemerintah kepada siapa? Kalangan pejabat atau untuk rakyat? Uang rakyat disedot, sementara pejabat yang menikmatinya. Walaupun bukan dari APBN, tetap saja kenaikan gaji direksi tersebut diambil dari dana operasional BPJS, uang rakyat juga. Hal ini seperti diungkapkan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti pembayaran manfaat lainnya tersebut (termasuk di dalamnya adalah tunjangan cuti tahunan) menggunakan dana operasional BPJS dan tidak menggunakan sumber dana dari APBN.

Kehadiran BPJS Kesehatan digadang-gadang mampu memenuhi kebutuhan rakyat di bidang kesehatan. Semangat gotong royong yang diusung dalam pembiayaan BPJS Kesehatan menghasilkan sumber dana operasionalnya dari iuran peserta, hasil investasi Dana Jaminan Sosial (DJS), dan alokasi dana pemerintah dari APBN. Yang diperuntukkan bagi penerima layanan BPJS Kesehatan yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan oleh pemerintah dan non PBI yang membayar iuran secara mandiri. Yang terdiri dari kelas 1, 2 dan 3, pelayanan dari masing-masing kelas pastinya ada perbedaan. Tak salah jika dikatakan BPJS Kesehatan sama dengan asuransi. Yang mendapatkan layanan hanya bagi mereka yang membayar iuran. 

Bagi negara penganut sistem kapitalisme hal tersebut wajar terjadi. Terlihat jelas bahwa negara memainkan peran sebagai pedagang produk dan jasa layanan untuk publik. Kenaikan sejumlah kebutuhan pokok individu (papan, pangan dan sandang) dan kebutuhan pokok publik (kesehatan, pendidikan dan keamanan) menegaskan bahwa pengaturan urusan rakyat rezim neolib berkhidmat kepada kapitalis, tidak akan mungkin untuk rakyat. Yang ada rakyat diperas. Rakyat terus menjadi korban. 

Ketika rakyat sudah bersusah payah membayar iuran BPJS Kesehatan tiap bulannya, masih saja ada kasus penolakan pasien dengan rujukan dari BPJS Kesehatan dengan dalih kamar penuh, peralatan tidak lengkap atau alasan lainnya. Bahkan ada pasien yang ditelantarkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan yang diberikan kepada pasien peserta BPJS Kesehatan jauh dari pelayanan prima. 

Penyakit yang ada dalam BPJS Kesehatan tak cukup diobati dengan menaikkan iurannya. Meskipun kenaikannya melapaui 100%, tak akan mampu menyelesaikan masalah kesehatan jika aturan hidupnya masih bertumpu pada sistem neolib. Sejatinya masalah kesehatan masyarakat menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya tanpa ada diskriminasi. Kaya dan miskin tetap mendapatkan layanan kesehatan tanpa ada perbedaan. 

Dalam meriayah rakyat negara seharusnya menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok publik (kesehatan, pendidikan dan keamanan) tanpa membebani rakyat. Apalagi sampai membuat rakyat menjadi susah. Masa di mana rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan dengan sangat baik tanpa diskriminasi pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw dilanjutkan masa kekhilafahan. Tercatat dalam sejarah bagaimana Rasulullah Saw memberikan layanan kesehatan kepada delapan orang dari Urainah. Mereka datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Nabi Saw merintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal yang digembalakan di sana.  Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih. 

Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi Saw. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum Muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal.  Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan.  Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Mal. (helpsharia.com)

Terlihat perbedaan yang sangat mencolok pengurusan rakyat antara rezim neolib sekuler yang bekhidmat pada kapitalis dengan masa Rasul Saw dilanjutkan oleh para khalifah yang berkhidmat hanya untuk kepentingan umat. Dalam pandangan Islam, kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyat dan negara berkewajiban untuk memenuhinya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
Imam (khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).

Menyerahkan pengurusan umat kepada sistem neolib, rakyat justru dijadikan sapi perah. Untuk itu sudah saatnya umat sadar dan bergerak meninggalkan sistem yang terbukti tidak pro rakyat. Berganti dengan sistem yang memprioritaskan urusan umat yaitu sistem khilafah dengan Islam sebagai mabdanya, Alquran dan Assunah diterapkan. Dalam meriayah umat sandarannya dari wahyu Ilahi bukan aturan buatan manusia, sehingga dapat dipastikan umat diriayah dengan penuh tanggung jawab tanpa membebani rakyat.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post