Menyongsong "Hijrah"

Oleh : Fatmawati 
Pensiunan guru dan pegiat dakwah


Umat bin al-Khathab ra. pernah berpesan, "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat, red)."

Artinya, di dunia ini, sekaranglah waktu kita menghisab diri. Di mana posisi kita antara dosa dan pahala, kemaksiatan dan ketaatan atau pun neraka dan surga.

Di mana posisi kita terhadap Islam dan syariahnya, juga di tengah umat Islam. Sejauh mana berbagai larangan Allah SWT telah ditinggalkan? Sejauh mana perintahNya telah dikerjakan.

Muhasabah atau introspeksi diri ini penting dilakukan terus menerus. Tentu agar setiap dari kita bisa memperbaiki diri atau ber "hijrah".

Hijrah secara bahasa adalah perpindahan dari sesuatu ke sesuatu yang lain atau meninggalkan sesuatu menuju sesuatu yang lain. Jadi hijrah itu identik dengan perubahan. Tentu saja perubahan ke arah yang baik.

Ibnu Rajab al-Hambali dalam Fath al-Bari menjelaskan, asal dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan.

Kesadaran berhijrah tentu muncul karena adanya muhasabah diri. Karena itu muhasabah diri menjadi sangat penting.

Rasul saw. bersabda: 

Seorang Muslim adalah orang yang menjadikan kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya. Seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang Allah larang atas dirinya (HR al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Humaidi).

Meninggalkan apa saja yang Allah larang tidak menuntut kemampuan. Berbeda dengan melakukan apa yang Allah perintahkan, yang menuntut kemampuan maksimal. Rasul saw. bersabda: 

...Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sesuai batas kemampuan kalian (HR Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).

Selain dilakukan berdasarkan kemampuan secara maksimal, perintah Allah harus segera ditunaikan. Allah SWT berfirman:

Bersegeralah kembali kepada Allah. Sungguh aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian (TQS adz-Dzariyat [51]: 50).

Orang yang "hijrah" tidak menyukai apa saja yang menyalahi Islam dan syariahnya. Dia pun makin merindukan kehidupan islami, kehidupan yang diatur sesuai dengan Islam dan syariatnya.

Allah SWT telah mensifati umat Islam sebagai khayru ummah (umat terbaik), sebagaimana firman Allah: 

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengimani Allah (TQS Ali Imran [3]: 110).

Sifat sebagai umat terbaik ini tidak hanya berlaku pada kaum Muslim masa Rasul saw. saja, melainkan berlaku untuk umat beliau sampai kapanpun. Ali bin Abi Thalib ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: 

"Aku diberi apa yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku." Kami bertanya, "Apakah itu?" Beliau bersabda: 

Aku ditolong dengan rasa takut, aku diberi kunci-kunci bumi, aku diberi nama Ahmad, tanah dijadikan suci untukku dan umatku dijadikan sebagai umat terbaik. (HR Ahmad).

Hanya saja, sifat sebagai umat terbaik itu tidak datang begitu saja. Harus dipenuhi dulu karakteristiknya. Di dalam ayat ini, Allah menyebutkan karakteristik umat terbaik yaitu: melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengimani Allah.

Rasul saw. bersabda: 

Manusia terbaik adalah yang paling banyak membaca dan memahami (al-Quran), yang paling bertakwa kepada Allah, yang paling banyak melakukan amar makruf nahi mungkar dan yang paling sering menyambung silaturahim (HR Ahmad).

Dengan demikian kesempurnaan sifat khayru ummah itu terwujud ketika umat Islam beriman dan bertakwa. Ketakwaan mereka harus tampak dalam kehidupan mereka, termasuk dalam pengelolaan kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya, dengan syariah Islam.

Sayang, potret sebagai khayru ummah itu tidak tampak pada umat Islam saat ini. Sebaliknya mereka masih menjadi objek dan eksploitasi pihak lain. 

Boleh jadi salah satu penyebabnya karena amat makruf nahi mungkar belum tampak menonjol menjadi budaya umat Islam. Terutama yang ditujukan kepada penguasa. Padahal kemungkaran yang paling besar saat penguasa tidak menerapkan syariah Islam secara kaffah. 

Memang sebagian dari umat sudah dan terus melakukan amar makruf nahi mungkar. Namun tak jarang masih ada seruan-seruan sebaliknya. Yang makruf justru dipersoalkan sedangkan yang mungkar dipromosikan.

Dakwah untuk menerapkan syariah secara kaffah dihadang. Seruan ke arah liberalisme justru difasilitasi.

Kondisi umat yang terpuruk ini harus diubah. Aktivitas perubahan harus gencar dilakukan di tengah umat. Sebab perubahan itu tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan. Allah SWT berfirman:

Sungguh Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (TQS ar-Ra'du [13]: 11).

Maka "hijrah" harus dilakukan bukan hanya pada tataran individu, tapi juga pada tataran masyarakat, yakni perubahan menuju ketaatan kepada Allah SWT secara total.

Dan ketaatan total kepada Allah SWT diwujudkan dengan penerapan syariah Islam kaffah didalam seluruh aspek kehidupan. Ini menjadi tanggung jawab seluruh komponen umat Islam.

Wallah a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post