Membaca Kemerdekaan Secara Radikal

Oleh: Fatmawati 
Pensiunan guru dan pegiat dakwah

Peringatan hari kemerdekaan semarak dengan berbagai perayaan. Padahal jika kemerdekaan negeri ini dibaca sedikit 'radikal' maka mestinya yang muncul justru rasa keprihatinan. 

Benarkah bangsa Indonesia sudah merdeka? Secara fisik kita sudah merdeka sejak 74 tahun silam. Namun penjajahan non-fisik tetap menjerat negeri ini.

Fakta penjajahan non-fisik itu diantaranya, jeratan utang yang terus menggunung. Apa lagi karena utang itu disertai riba, yang Alquran menggambarkannya seperti orang mabuk yang sempoyongan akibat jeratan riba.

Ada sejumlah fakta yang harus menjadi perhatian:
Bahwa Indonesia terbelit utang yang makin parah sejak 2015 hingga saat ini.

Pada 2015 utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 3.165,1 triliun. Kini sesuai data yang dirilis Bank Indonesia (BI), utang luar negeri Indonesia pada akhir Mei 2019 telah mencapai U$$ 368,1 miliar atau sekitar Rp 5.153 triliun (KursJisdor akhir Mei Rp 14.313 ribu per dolar AS).

Dengan utang yang menggunung ini Indonesia digambarkan seperti dalam peribahasa, besar pasak dari pada tiang. Artinya pengeluaran uang negara lebih besar dari pada pendapatan/pemasukan. Tentu saja ini sangat berbahaya bagi negara.

Penambahan utang sebenarnya merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah sendiri. Sebagaimana diketahui utang tersebut digunakan untuk mengejar pembangunan infrastruktur yang menjadi target utama dan sebagai prioritas pemerintah karena termasuk hal yang mudah dilihat fisiknya, yang menggambarkan keberhasilan pembangunan. Padahal itu jelas menyimpan masalah besar karena pembiayaannya berasal dari utang.

Apalagi dalam jangka pendek hingga jangka menengah, pembangunan infrastruktur itu tidak banyak berpengaruh pada sektor pertanian, perikanan dan industri kecil. Sementara sektor tersebut merupakan bagian fundamental ekonomi Indonesia. Karena sebagian besar perekonomian rakyat bergerak di sektor itu. Hanya sektor yang terkait dengan pembangunan infrastruktur saja yang meraup untung. Seperti sektor industri semen, besi, baja dan sejenisnya yang umumnya dimiliki oleh pengusaha kakap dan mafia importir.

Utang merupakan instrumen penjajahan secara ekonomi dan politik suatu negara. Akibatnya negara yang terjerat utang menjadi mudah didikte untuk menjalankan kebijakan ekonomi dan politiknya sesuai kepentingan penjajah.

Jelas sudah, kebijakan pembangunan yang berbasis utang yang terjadi di negeri ini tentu menjadi paradoks ketika dikaitkan dengan upaya menyejahterakan rakyat. Fatalnya lagi, saat utang terus menumpuk untuk infrastruktur, sektor fundamental ekonomi rakyat seperti pertanian dan kelautan justru terabaikan. Sementara kekayaan migas dan tambang lainnya berada di tangan asing.

Dalam sistem Islam, negara mengelola dan memanfaatkan seluruh sumber daya alam sebagai modal dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, serta menjamin kesejahteraan warganya, salah satunya dengan dibangunnya infrastruktur bagi kepentingan rakyat.

Islam tidak membolehkan membangun infrastrutur meminjam dari harta haram/riba, sebagaimana firman Allah SWT: 

"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. (TQS Ali Imron [3]: 130).

Wallah a'lam bi ash- shawab
Previous Post Next Post