Islam Tuk Rakyat Papua

By. Sri Dewi, S.EI, M.E 
(Praktisi Pendidikan)

Akhir-akhir ini isu Papua menjadi trending topik di jagat raya karena adanya kericuhan yang terjadi akibat dugaan sikap rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Jawa Timur. Sekretaris Jenderal Forum Lintas Suku Asli Papua Raya Kota Sorong, Jerry D menuturkan pihaknya telah mengidentifikasi masalah rasisme ini adalah permasalahan adat dan Jerry D meminta Presiden Jokowi datang ke Papua untuk menyelesaikan kericuhan ini. (detik.com/22/8/2019). 

Potret gelap sejarah Rasisme pun pernah terjadi di negeri Paman Sam di saat kematian Jesse pemuda kulit hitam, yang dikenal insiden ini “Waco Harror”, merupakan momen kala sentiment rasial mampu menghilangkan nalar dan mendorong manusia melakukan tindakan barbar. Sebelas tahun sebelum Jesse tewas dibakar, seorang kulit hitam bernama Sank Majors lebih dulu mengalami hal serupa, digantung di Jembatan Washington. Apa yang dialami Jesse maupun Sank adalah fenomena umum di AS pada awal 1990-an tatkala orang-orang kulit hitam dihukum mati tanpa proses pengadilan yang memadai. 

Jika kita melihat tragedi yang terjadi di Negeri Paman Sam ini, maka kita tidak patut membebek dan berkiblat kepada Negara-negara barat dan Ideologi yang dianutnya. Karena dengan Ideologi Kapitalisme yang di anutnya mampu melahirkan kehidupan sekuler, liberal yang telah gagal membuat nyaman para penduduk sipil “berkulit hitam”. Namun, yang lebih uniknya muncul opini yang digerakan oleh pihak-pihak tertentu, seolah Islam, Syariah Islam dan Khilafah Islam itu anti kebhinnekaan. Ini menunjukkan dua hal: pertama, kebodohan tentang Islam, Syariah dan Khilafah Islam. Kedua, adanya niat jahat di balik tuduhan itu, karena kepentingan politik asing dan aseng di belakang mereka. Karena itu, penting dijelaskan, bagaimana Islam, Syariah Islam dan Khilafah merawat kebhinekaan tersebut? 

Islam, Syariah Islam dan Khilafah Islam telah membahas dan menerapkan jauh lebih dulu dari Barat masalah kebhinekaan atau kemajemukan. Bahkan, boleh dikatakan, hanya Islamlah yang mengakui keberagaman manusia, kemajemukan dan kebhinekaan dari aspek suku, bangsa, bahasa, kedudukan sosial, jenis kelamin, warna kulit, status ekonomi, posisi di tengah masyarakat bahkan agama. Keberagaman itu merupakan fakta, yang tidak bisa dinafikan. Di dalam al-Qur’an, Allah telah menjelaskan: “Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal (TQS. Al Hujurat 13). 

Islam juga mengakaui adanya perbedaan strata sosial-ekonomi sebagai anugerah dari Allah. Allah dengan tegas menyatakan; “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa (TQS. Al Hujurat: 13). Di bumi Allah ini pun Islam dan kafir juga fakta yang ada di tengah-tengah masyarakat, karena menjadi Muslim dan kafir adalah pilihan. Dengan segala konsekuensinya, maka pilihan itu pun di hormati oleh Islam. Allah Swt melarang kaum Muslim, termasuk Khilafah, memaksa orang kafir untuk memeluk Islam; tidak ada paksaan (bagi kaum kafir) untuk memeluk agama (Islam) (TQS al Baqarah:256). Nabi mengajarkan, dan menginstruksikan kepada para walinya di daerah. Dalam surat baginda, dinyatakan, Siapa saja yang tetap dengan keyahudian dan kenashraniannya, maka tidak boleh dipaksa atau dibujuk [untuk meninggalkan agamanya]. Ketentuan ini terus dipegang teguh dan diterapkan dalam sepanjang sejarah Khilafah. Umat Islam, Kristen, Yahudi, Majusi dan yang lain bisa hidup dengan damai di bawah naungan Khilafah, dengan pilihan keyakinan masing-masing. Meski orang-orang non muslim, diakui sebagai warga Negara Khilafah, dan disebut sebagai ahli dzimmah, tidak berarti mereka merupakan warga kelas kedua. Tidak. Hak-hak mereka sebagai warga Negara, seperti mendapatkan jaminan kebutuhan pokok individu, sandang, papan dan pangan, termasuk kebutuhan pokok masyarakat, seperti keamanan, kesehatan, dan pendidikan, semuanya dijamin oleh khilafah. 

Islam adalah sistem kehidupan yang telah menjamin kebersamaan dan keadilan bagi semua manusia. Dalam Islam tidak dikenal dikotomi masyarakat mayoritas-minoritas. Di dahapan Syariah Islam semua warga adalah sama. Kaum muslim juga dilarang untuk menghina keyakinan dan simbol-simbol agama kalangan non muslim. Karena, praktik kehidupan yang majemuk, plural, atau apapun sebutannya telah menjadi catatan emas sejarah yang ditorehkan umat Islam dan Negara Khilafah sepanjang 4 abad. 

Semua terwujud dalam satu wadah Khilafah, yang di dalamnya aturan Islam yang agung diterapkan dan memberikan jaminan kehidupan yang terbaik bagi masyarakat. Catatan apik ini diakui oleh para sejarahwan Barat. T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, yang menyatakan bahwa Uskup Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari Negara. Sesuatu yang justru tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para kaisar Byzantium. 

Keadilan dan kebersamaan status di mata hukum yang membuat kalangan non muslim tetap tunduk dan menjaga keutuhan Khilafah sekalipun ada masa jumlah warga non Muslim lebih dominan dibandingkan kalangan kaum Muslim.

Post a Comment

Previous Post Next Post