Bawaslu Kabupaten Pasaman Desak Judicial Review UU Nomor 10 Tahun 2016 ke Makamah Konstitusi.



Pasaman - nusantaranews.net,

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat menyatakan UU Nomor 10 Tahun 2016 harus direvisi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi sebelum pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020 dimulai. 
Ketua Bawaslu Pasaman, Rini Juita menilai adanya ketidaksesuaian wewenang dalam mengawasi dan penindakan dibandingkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Kami mencatat ada 28 point dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang harus diubah dan disesuaikan dengan posisi kami saat ini sebagai Bawaslu. Sebab dulu didalam UU Nomor tahun 2016 namanya Panwas. Didalam UU tersebut kami diberi wewenang dalam melakukan pengawasan masih tertulis Panwaslu, bukanlah Bawaslu,"kata Rini Juita saat menggelar rapat evaluasi pemilu menyongsong Pilkada 2020 di Lubuk Sikaping, Kamis (29/8/2019).

Rini Juita menegaskan UU tersebut harus direvisi agar kewenangan Bawaslu jelas dan kuat dalam mengawal Pilkada 2020 mendatang.

"Perubahan UU Nomor 10 Tahun 2016 itu adalah sebuah keharusan. Sebab jika dengan menjalankan UU itu, fungsi kewenangan lembaga pengawas Pemilu terancam kurang optimal dalam menjalankan tugas di Pilkada 2020. Jadi setidaknya dalam revisi tersebut mengacu kepada UU Nomor 7 Tahun 2017 dengan tugas kami yang lebih jelas,"tambahnya.

Disamping itu kata Rini Juita, Nomenklatur Bawaslu menjadi Panwaslu dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 menjadi persoalan serius. Sebab, lembaga yang tercantum tidaklah sama dan perlu kejelasan dengan adanya revisi.

“Kemudian harus ada ikhtiar merevisi UU 10 ini, terutama menyangkut eks napi koruptor yang harus ada larangannya untuk ikut kontestasi dalam Pilkada yang tercantum dalam UU 10 Tahun 2016. DPR harus satu suara dengan penyelenggara pemilu (Bawaslu dan KPU) terkait kelemahan dan kekurangan dalam UU Pilkada ini,” katanya.

Dia menyatakan, lantaran tidak adanya larangan eks napi koruptor yang tertuang dalam UU 10 Tahun 2016 mengakibatkan banyaknya celah mantan napi koruptor mengikuti kontestasi pilkada. Hal ini baginya memungkinkan budaya korupsi terulang kembali pasca terpilih. 

"Harus ada kepastian hukum yang memayunginya. Bawaslu ingin pemda bebas dari korupsi yang mungkin dilakukan oleh kepala Daerah setelah terpilih,"katanya.

Selain itu dalam UU Pilkada jangka waktu yang diberikan Bawaslu dalam menangani atau memproses dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan peserta juga terbatas, hanya lima hari atau lebih pendek dari UU Pemilu yang mencapai 14 hari kerja.

"Kelemahan-kelemahan ini yang harus direvisi. Kewenangan Bawaslu akan alami kemunduran dan tidak maksimal. Sedangkan proses pembuktian adanya pelanggaran jadi tidak mudah karena waktunya sangat pendek,"tutupnya.
{In Psm}.

Post a Comment

Previous Post Next Post