Anjing Menggonggong, Islam yang Dirongrong



Oleh: Dewi Nasjag
Member Akedemi Menulis Kreatif

Seakan tak kunjung usai prahara yang melanda di negeri tercinta ini. Seakan tak pernah jenuh untuk membuat kegaduhan. Kemepul asap Pilpres mereda, kini berganti meniup arang baru yang asapnya cukup  menyesakkan dada, membutakan mata.

Sebagaimana yang diberitakan Detik.com, seorang perempuan berinisial SM membawa anjing ke Masjid Al-Munawaroh, Sentul, Babakan Madang,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (30/6/2019) pukul14.00 WIB. Dia mengaku datang ke masjid  bersama anjingnya dengan tujuan untuk mencari suaminya."

Dalam kacamata awam, alasan mencari sang suami yang katanya menikah lagi dengan wanita muslim, sepintas masuk nalar. Namun, tidak begitu dalam paradigma orang yang berpikir dan beradab. Bagaimana mungkin motif mencari suami ke dalam masjid yang nyata-nyata tak tampak di sana bisa dibenarkan? Terlebih dengan membawa hewan dan tak melepas alas kaki, kemudian menerobos masuk dengan ucap dan sikap yang tak beradab. Apa tidak bisa dengan meninggalkan hewan di luar, kemudian melepas sepatu dan masuk dengan baik-baik? Terlebih di dalam Islam anjing merupakan salah satu hewan yang bernajis besar. Haram hukumnya jika bulu dan air liurnya mengenai diri apalagi lantai masjid adalah tempat ibadah yang memang harus suci dari berbagai najis. Marbot masjid yang berada di tempat dan menyaksikan itu tentu marah dan ini reaksi wajar yang manusiawi. Hati umat Islam mana yang tak bergemeretuk melihat rumah ibadahnya dinistakan penuh amuk?
Hati siapa yang tak geram ketika kesemena-menaan terjadi tepat di depan penglihatan?

Namun, apa yang terjadi kemudian? Tudingan salah, pemarah, kolot, intoleran dan sebagainya justru dilemparkan kepada pihak Islam.Ya, mereka ( kaum munafik ) seakan _all out_ mencomot dalil-dalil  secara parsial lantas dijejalkan dan disajikan di setiap lini masa dan portal. Hal itu dilakukan semata untuk menutupi penistaan yang terlanjur tersebar agar tak lagi viral dan dijadikan soal. Pernyataan bahwa pelaku penistaan mengalami  gangguan jiwa pun tak lupa dinobatkan sebagai pamungkas pemakluman. Sebagaimana keterangan Musyafak kepada  detik.com (1/7/2019) "Setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim dokter ahli jiwa dari RS Polri dengan dokter luar, yaitu Dr Laharjo, SpJ, dan Dr.Yeny, SpJ, yang bersangkutan menderita penyakit skizofrenia tipe paranoid."

Berbanding terbalik ketika seorang ustaz yang dengan tulus berniat mencerdaskan dan menyadarkan umat lewat ceramah dan tausiyah yang hendak disampaikan dalam mimbar masjid. Yang terjadi justru pengepungan, penghadangan dan pemboikotan. Misalnya Ustaz Felix Siauw saat di Pasuruan dan Lamongan. Begitu juga yang dialami oleh ustaz Ustad Abdul Shomad saat di Bali dan Malang. Para ustaz tersebut dianggap tak pantas memasuki masjid. Sebaliknya tudingan ustaz radikal, ustaz sesat dan sebagainya dibiarkan terjadi tanpa adanya pembelaan dari pihak berwenang. Diskriminasi terhadap Islam kian tampak benderang.

Begitulah kezaliman yang senantiasa dipertontonkan dalam galeri demokrasi. Nyaris tak ada keadilan yang hakiki bagi kaum muslim meskipun sebagai kaum mayoritas. Hanya kafir (kaum minoritas) sajalah yang dilindungi dan diayomi. Keadilan bagaikan oase di tengah padang tandus nan gersang. Sungguh, kezaliman bagaikan nasi dan lauk yang menjadi  makanan pokok sehari-hari yang harus dikonsumsi.

Selama demokrasi masih dijunjung tinggi, selama itu pula ketidakadilan terus terjadi. Demokrasi adalah sistem cacat yang berasaskan sekulerisme-kapitalisme. Demokrasi tidak mengenal dosa-pahala. Tipu-menipu, nista-menista adalah aksesori yang lazim demi ambisi duniawi. Karenanya,  membela dan melindungi yang berkuasa meskipun salah akan selalu menjadi hal yang lumrah. Kita tak lagi hidup dalam keadilan di bawah sistem yang adil dan handal. Sejak Kekhilafahan Ustmaniyah diruntuhkan oleh Mustafa Kemal 96 tahun silam,  ketidakrukunan, keterpecahan antar umat beragama dan segala macam bentuk diskriminasi rentan berulang kali terjadi, tak pernah menemukan titik akhir.

Sesungguhnya Islam adalah agama yang pernah hadir dalam sebuah institusi negara. Islam mampu menjadi ideologi, pandangan hidup, arah dan tujuan hidup bermasyarakat dan bernegara. Islam dengan seperangkat fikroh dan thoriqoh (ide, peraturan dan tata cara pelaksanaannya) telah memberikan pengaturan yang jelas tentang masalah hubungan antar umat beragama. Islam tidak mencampur adukkan yang _haq_ dan batil, yang halal dan haram, yang benar dan salah, yang Islam dan kufur.  

Allah Swt berfirman : _Lakumdinukumwaliyadin_ 
"Untukmu agamamu dan untukku agamaku." (TQS. Al-kafiruun: 6). 

Dalam kaitan dengan masalah akidah, mereka dibiarkan untuk menganut keyakinan mereka dan menjalankan kegiatan ibadah mereka. Mereka tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam.

Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, ”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.” [HR. Ibnu 'Ubaid]

Islam menghendaki kehidupan rukun, adil, nyaman dan saling menghargai antar umat beragama dan tidak ada sikap arogan dan sewenang-wenang. Dengan Khilafah keadilan antar umat beragama dalam kehidupan bernegara terwujud dengan baik, tanpa pertentangan, kekerasan dan penistaan. Sungguh segala bentuk diskriminasi  hanya mampu diakhiri dengan menegakkan sistem Islam kembali. Bukan hanya mampu mengenyahkan diskriminasi,  keberadaanya juga mampu memberi keadilan dan keberkahan kepada semua kaum baik muslim yang mayoritas maupun nonmuslim yang minoritas. Keberadaanya mampu membasmi sikap yang asal merongrong.

_Wallahu a'lam bishshawab_
Previous Post Next Post