Mudik Spesial Bersama Permata Surga*

Oleh : Sumiati 
(Praktisi Pendidikan dan Member AMK )

Idul fitri telah pergi, yang tersisa rindu ingin kembali, namun hari bertambah, saatnya untuk berpisah, minggu pun berlalu, sudah waktunya menata iman yang baru, yang lebih baik dari tahun sebelumnya, lebih bernilai dari pada derajat sebelumnya. Harus lebih takut kepada sang Maha Pencipta Allaah SWT. 

Di hari ke enam bada idul fitri suasana mudik masih sangat terasa, kemacetan panjang pun masih di rasakan. Lelah duduk di mobil berlama-lama, namun harus tetap sabar. Mensyukuri nikmat dari Allaah SWT,  manakala banyak saudara kita tidak mampu mudik, karena jarak tempuh mudik terlalu jauh, tidak memiliki biaya dan lain sebagainya. 

Berbahagialah bagi para pemudik, yang telah Allaah SWT berikan karunia, dapat berkumpul keluarga, memeluk Ayah Bunda yang mungkin sudah renta.
Teringat ketika mudik sempat mendengar tausiyah sang Ustad, beliau mengatakan "sudahkah meminta ridha Ibumu, memiliki anak seperti ini" ?

Masya Allaah tersentuh rasanya hati ini, sadar diri bahwa sebagai anak belum bisa membuat orang tua bahagia, semoga orang tua kita ridha dengan segala kekurangan kita, hingga hidup kita barakah dalam segala hal. Aamiin Yaa Rabbal'aalamiin 
😢😢😢.

Banyak berseliweran di beranda medsos berupa sindiran, namun itulah kenyataan, ketika seorang anak mudik, dengan sekaleng khong guan, sudah merasa bangga membawa oleh-oleh dari kota, namun tak malu ketika kembali ke kota membawa berkarung-karung beras atau berdus-dus oleh-oleh dari orang tua dan kerabat. Tentu siapapun yang memiliki hati nurani akan merasa tidak enak, tidak nyaman dengan kondisi ini.

Inilah fakta yang tidak bisa di pungkiri. Namun ada baiknya kita pun tidak bersu'udzan kepada mereka, siapa tahu oleh-oleh dari kota tidak banyak, tetapi memberi uang lebih banyak, atau barangkali memang tidak mampu memberikan materi, tetapi mereka memberikan budi pekerti atau akhlaq mulia yang memulyakan kedua orang tuanya. Dan juga husnudzan ini bukan dalam rangka membela diri dari ke-tidak-mampuan membawa oleh-oleh melimpah ruah, namun bisa juga ini adalah untuk mencoba bersikap bijak pada realita yang ada.

Allaah SWT maha tahu, tak perlu menghakimi, tetapi wajib merenung mengambil ibrah dari realitas dalam sistem kapitalis ini. Ketika bersu'udzan pun tidak ada manfaatnya, justru akan mendatangkan dosa yang tidak terasa, bahkan bisa jadi menghilangkan keberkahan ramadhan yang telah berlalu.

Mudik kali ini ada suasana yang sedikit berbeda, ketika kembali ke kota, saya dan anak yang kecil ikut mobil sahabat sedunia InsyaAllah sesurga, beliau keluarga kecil namun sangat mengagumkan, Allaah SWT karuniai putra dan putri, putra pertama sangat istimewa, InsyaAllah akan menuntun umi abinya ke surga, yang kedua tak kalah hebat, Hafalannya sudah empat juz, begitupun yang ke tiga, shalihah Masya Allaah. 

Kesabaran putranya yang pertama, duduk manis dari awal naik mobil di Jawa Tengah hingga Bandung luar biasa, hanya bisa terkagum-kagum. Anak istimewa ini tabungan bagi kedua orang tuanya. Barakallaah, perjalanan yang cukup lama karena macet pun tak begitu terasa, dari Jawa Tengah pukul 07.00 hingga sampai ke bandung pukul 21.30, perjalanan menyenangkan bersama keluarga yang menyenang.

Di tengah perjalanan ketika sedang macet, sempat bercengkrama perihal kemacetan, andai saja hukum Islam diberlakukan, tentu kemacetan dan lelahnya pemudik maupun ketika arus balik tidak terjadi. Dalam hal transportasi Islam telah mengaturnya, karena transportasi adalah kepentingan umum, maka pemerintah akan mengaturnya sedemikian rupa, supaya penumpang nyaman dan biaya tidak mahal. Salah satu penyebab kemacetan karena jumlah kendaraan yang semakin banyak, minim pengaturan dalam penjualan.

Pemudik pun enggan naik kendaraan umum, karena mahal dan tidak nyaman, sehingga hampir seluruh kendaraan pribadi baik roda dua atau roda empat, turun ke jalan yang akhirnya macet pun tidak terhindarkan. Besar harapan ke depan, transportasi ramah bagi masyarakat bawah. Dan itu akan terjadi, jika Islam diberlakukan dalam bingkai Kekhilafahan. 
Wallaahu a'lam bishawab.
Previous Post Next Post