Pemilu yang Menambah Pilu


Oleh : Hany Handayani Primantara, S.P.  (Pemerhati Generasi) 

Semarak pemilu telah usai, pesta demokrasi telah dirayakan. Semua yang menyambut gembira kini dirundung duka, terutama para keluarga korban yang meninggal yakni petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara). 

Data dari badan pengawas pemilihan umum mencatat sedikitnya 85 orang anggota KPPS menjalani rawat inap, tersebar di 21 provinsi 43 Kabupaten/kota. Korban yang menjalani rawat jalan 137 orang, tersebar di 20 provinsi 52 Kabupaten/kota. 

Mereka pun tak ayal mengalami kekerasan fisik, sebanyak 15 orang tersebar di 21 provinsi 14 Kabupaten/Kota. Kecelakaan 74 orang tersebar 20 provinsi 47 Kabupaten/Kota. Begitu pula dari data terakhir menurut Tribunnews.com bahwa ada sekitar kurang lebih 230 orang meninggal akibat kelelahan dan sakit usai pemilu diselenggarakan. 

Seakan menabur garam di atas luka, belum juga terpilih secara resmi siapa yang menjadi pemimpin negeri ini. Namun masing-masing kubu telah mengklaim menjadi pemenang atas pemilu kemarin. 

Banyak yang menaruh harapan besar akan pemilu tahun ini. Berharap kondisi negeri ini bisa jauh lebih baik dari sebelumnya usai pemilu. Bahkan hal tersebut diperkukuh dengan ijtima ulama, yang dalam pemilu-pemilu sebelumnya mungkin banyak yang tak turut aktif.

Namun dari sekian banyak yang berharap tadi, segolongan orang percaya bahwa sebuah perubahan besar yang mendasar tak akan pernah terwujud jika masih bersandar pada demokrasi. 

Hal itu dilandasi atas dasar kesadaran bahwa perubahan pemimpin dalam sistem yang sama tak akan mampu merubah apapun. Sekalipun pemimpin yang terpilih kelak adalah sosok yang baik.

Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang baik akan mampu melakukan perubahan kearah kebaikan jika berafiliasi dengan sistem sekarang. Sistem yang nyata-nyata telah menunjukkan geliat kerusakannya.

Jatuhnya korban serentak usai pemilu yang tidak sedikit seharusnya jadi bahan renungan. Bahkan bila perlu ditelisik lebih lanjut, kenapa bisa terjadi. Ada faktor apa dibalik itu semua, sebuah ketidaksengajaan atau hanya rekayasa.

Banyaknya dana yang menguap untuk menyongsong pemilu juga sangat disayangkan. Sebegitu mahalnya sistem demokrasi, padahal itu baru sekedar memilih pemimpin saja. Bukan hanya mahal tapi juga riskan kecurangan, ditambah lagi tak efektif maupun efisien.

Dan lagi tak ada jaminan. Siapa yang dapat menjamin bahwa dalam sistem demokrasi semua harapan masyarakat yang selama ini diinginkan dapat terwujud? Tak ada, sekalipun dari wilayah asal demokrasi itu sendiri. Buktinya di daerah asalnya sistem ini justru digugat oleh penduduknya. 

Mengingat banyaknya kasus dalam pemilu saat ini, kecurangan secara terang-terangan, korban jiwa ratusan orang, dana yang tak sedikit. Maka wajar jika ada sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa pemilu saat ini tak beda dengan pemilu sebelumnya. Pemilu yang justru menambah pilu. 

Siapapun presiden yang terpilih kelak, berharap mereka adalah orang baik. Orang muslim yang taat syariah. Orang muslim yang takut akan pertanggungjawaban seorang pemimpin diakhirat kelak. Orang yang mampu membalikan kondisi kepiluan ini dengan sebuah kebahagiaan abadi.

Kebahagiaan abadi bagi seorang hamba adalah tatkala dirinya bisa tunduk dan patuh dalam syariat-Nya. Bisa mengimplementasikan apa yang diperintahkan-Nya. 

Guna membuktikan pada dunia bahwa ketika suatu kaum mau tunduk dan patuh terhadap syariat-Nya. Maka Allah tak segan-segan akan memberikan keberkahan disegala lini kehidupan. Termasuk perkara akhirat yang tak kasat mata namun wajib dipercaya.

Wallahu a’lam Bishowab

Post a Comment

Previous Post Next Post