Pemilu Ala Demokrasi, Perlukah?

Oleh : Uqie Naima
(Alumni BFW 212)

Pesta Demokrasi 17 April 2019 baru saja berakhir beberapa hari yang lalu meski perolehan suara belum final karena penghitungannya masih belum berakhir. Pemilu sebagai hajat besar dengan persiapan luar biasa, baik materil maupun non materil menyisakan carut-marut dan duka bagi aktivis demokrasi. Fenomena kecurangan sebelum dan sesudah pencoblosan juga peristiwa memilukan yang menimpa anggota KPPS dibeberapa daerah,  menderita sakit dan meninggal dunia.
Menurut Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia terus bertambah. Saat ini jumlah yang meninggal dunia mencapai 272 orang, sementara jumlah yang sakit sekitar 1.878 orang. Jumlah tersebut akan terus meningkat mengingat sebelumnya banyak jumlah anggota KPPS yang sakit atau meninggal dunia belum dilaporkan (Detiknews, 27/04/2019).
Pada 11 April yang lalu, publik di dalam negeri dihebohkan dengan kabar surat suara yang tercoblos di Selangor, Malaysia. Nama Rusdi Kirana, Dubes RI untuk Malaysia dibawa-bawa dalam kasus ini. Pasalnya, di antara surat suara yang tercoblos diduga atas nama putranya Davin Kirana. Davin maju lewat partai Nasdem dan bersaing di Dapil Jakarta II yang mencakup wilayah Jaksel, Jakpus dan Luar Negeri. Namun, langkah KPU dan Bawaslu untuk melihat langsung surat suara masih terganjal. KPU beralasan, ruko tempat kejadian perkara sudah dipasangi oleh garis polisi. KPU belum memiliki akses karena polisi Malaysia masih menggunakan surat suara itu sebagai barang bukti dalam proses penyelidikan (Republika.co.id, 15/04/2019).  

Melihat fakta di atas, Pemilihan Umum dengan budget yang sangat besar yakni  24,9 triliun rupiah nyatanya menuai permasalahan yang cukup komplek. Baik indikasi yang mengarah kepada kecurangan maupun peristiwa miris yang menimpa “Pahlawan Demokrasi.” Pahlawan dalam kaca mata sistem saat ini, bukan pahlawan membela tanah air atau pahlawan mempertahankan jiwa di medan perang, namun pahlawan yang memperjuangkan ide-ide kufur dalam naungan demokrasi-kapitalis.

Pemilihan wakil rakyat sekaligus orang nomor satu RI dengan prosedur serta aturan demokrasinya, sudah bisa dipastikan menuai carut-marut diberbagai aspek. Bukan saja masalah individu tapi sistemik. Demokrasi sebagai faham yang dilahirkan dalam kondisi cacat, kemudian diambil, dipaksakan menjadi ideologi bangsa dan negara, tentu berakhir mengecewakan. Seumpama peribahasa “Jauh panggang dari api,” harapan negeri ini membawa kedamaian dan kemaslahatan bagi rakyat hanya isapan jempol belaka. Kedaulatan ditangan rakyat, nyatanya ditangan  kapital. Pemilihan wakil rakyat dengan dana fantastis dimanfaatkan oleh orang-orang dengan tujuan memperkaya diri, bukan mensejahterakan rakyat. Berulangkali Pemilu, pemilihan kepala negara, bongkar pasang rezim tak lebih mengulang kegagalan yang sama, bahkan lebih parah.
Semestinya masyarakat sudah bisa meng-indera. Kebobrokan sistem dengan kebijakan yang semakin menzalimi rakyat, ciri bahwa sistem tersebut tak lagi layak dipertahankan apalagi diterapkan. Sampai kapankah menunggu dan berharap bangsa ini maju sementara  pergantian rezim terus memperparah keadaan ?

Islam dengan seperangkat aturannya memiliki solusi terbaik mengatasi keterpurukan di negeri ini. Islam menawarkan institusi terbaik yang berasal dari Pemilik Aturan, Allah SWT yaitu sistem pemerintahan yang akan menerapkan aturan al-Quran dan as-Sunnah dalam bingkai Khilafah. Sebuah sistem pemerintahan basyariyyah (manusiawi) dengan pemimpinnya yang disebut Khalifah.

Negara  dengan sistem Khilafah-nya berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (Sparating of Fower) sebagaimana yang diusung oleh Montesque dalam sistem Demokrasi. Kekuasaan dalam pemerintahan Islam berada ditangan rakyat. Khalifah sebagai pemimpin dalam negara Khilafah berkuasa berdasarkan mandat dari rakyat yang diperoleh melalui bai’at in’iqad yang diberikan kepadanya. Namun rakyat bukan majikan Khalifah. 

Sebaliknya, Khalifah juga bukan buruh rakyat. Sebab, akad antara rakyat dengan Khalifah bukanlah akad upah-menguapah (ijarah), melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Selama Khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka ia tidak boleh diberhentikan. Yang berhak memberhentikan bukan rakyat tapi Mahkamah Mazalim. Mahkamah Mazalim adalah semisal Lembaga Kehakiman yang diangkat oleh Khalifah untuk menangani hal ikhwal yang berkaitan dengan Khalifah.
Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat Khalifah tentu bukan melalui Pemilu. Pasalnya, pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah, juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Ini adalah uslub (teknis). Bisa digunakan, bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Syariat Islam telah menetapkan bahwa metode  baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah (Meminta bantuan). Sedangkan metode untuk mengangkat Khalifah adalah Bai’at. Meski dalam praktiknya bisa juga dengan uslub pemilu.

Pemilihan dan pengangkatan Khalifah sangat jauh berbeda dengan pemilu dalam sistem demokrasi. Khalifah dipilih melalui Majelis Umat sebagai lembaga yang mengakomodir aspirasi rakyat. Kemudian dibentuk kepanitiaan untuk menetapkan calon Khalifah yang memenuhi kualifikasi. Majelis Umat akan menetapkan 6 calon, lalu digodok hingga mengerucut menjadi dua calon. Dua calon inilah yang salah satunya akan dipilih umat menjadi Khalifah hingga umat memba’iat kepadanya dengan bai’at in’iqad dan bai’at tha’at.

Pemilihan Khalifah dalam Islam tidak akan berlama-lama. Prosesi dari pemilihan dan penetapan calon, maksimal 3 hari 3 malam, dengan biaya sekecil mungkin. Tidak meresahkan, serta tidak membebani rakyat. Tidak ada kampanye hitam atau kecurangan sebagaimana dalam pemilu demokrasi. Sudahlah biayanya mahal, rakyat jadi korban, muncul kecurangan di sana-sini, ditambah lagi kebijakan zalim menimpa rakyat manakala calon pemimpin itu berkuasa.

Dengan demikian, memperjuangkan Islam dan syariatnya tidak perlu ditunda-tunda lagi jika ingin bersegera terlepas dari buruknya sistem dan UU buatan manusia. Khilafah adalah solusi  bukan ancaman, kehadirannya membawa rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bi ash-Shwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post