Khilafah, Tajul Furudh (Mahkota Kewajiban)



0leh: Nur Fitriyah Asri
Penulis Buku Opini Akademi Menulis Kreatif

Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam, warisan Rasulullah Saw. Sistem shahih yang diridhai Allah Swt, sehingga dapat mewujudkan rahmatan lil 'alamin. Sejarah telah mengabadikan dengan tinta emas, selama lebih dari 13 abad  khilafah memimpin dunia. Terkenal dengan peradabannya yang mulia dan agung, serta kejayaannya sehingga disegani negara-negara kafir imperialis.

Khilafah (Arab: الخلافة‎, al-khilāfah) didefinisikan sebagai sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut khalifah, dapat juga disebut imam atau amirul mukminin.

Sayang seribu sayang, kini khilafah tinggal sejarah. Sejak diruntuhkan oleh Kamal Attartuk agen Inggris keturunan Yahudi, tanggal 23 Maret 1924.
Khilafah yang semula menjadi negara kesatuan negeri-negeri muslim tanpa sekat, kini telah hancur cerai-berai menjadi 50 lebih negara bangsa-bangsa (nation-state). Menjadi negara yang terkungkung oleh nasionalisme dan asas sukularisme yaitu paham yang memisahkan agama dengan kehidupan.

Sejak itu negeri-negeri muslim menjadi lemah tidak berdaya dan dijadikan santapan negara-negara penjajah imperialisme. Sejatinya sekularisme inilah biang dari semua kerusakan dan kehancuran dalam tatanan kehidupan.

Lebih dari itu, dengan ketiadaan khilafah semua kaum muslim berlumuran dosa jariyah, mengapa? Sebab banyak hukum-hukum yang diwajibkan Allah tidak bisa dilaksanakan atau tidak bisa direalisasikan. Karena semua membutuhkan peran negara atau khilafah, misalnya: kewajiban melaksanakan hudud (had bagi pelaku zina dalam QS an-Nur: 2, had bagi pencuri dalam QS al-Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan lainnya.

Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Apalagi menegakkan khilafah adalah wajib menurut syariah Islam. Khilafah merupakan “Tâjul Furûdh (mahkota kewajiban)”. Pasalnya, tanpa khilafah  sebagaimana saat ini,  sebagian besar syariah Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik dalam/luar negeri, hukum/peradilan, dan lainnya terabaikan tidak bisa dilaksanakan. Padahal hukumnya wajib. Sesuatu yang diwajibkan Allah harus ditunaikan, jika tidak maka hukumnya berdosa. 

Di bidang pendidikan, misalnya, negara menerapkan sistem pendidikan sekular. Di bidang pemerintahan negara menerapkan demokrasi. Di bidang ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi ribawi kapitalis-liberalis. Di bidang sosial, negara mengadopsi HAM Barat dan liberal, sehingga zina dan pergaulan bebas, pornografi dan pornoaksi serta LGBT dibiarkan dan tidak dianggap kriminal. Demikian juga masalah hudud (sangsi), misalnya mencuri, membunuh, minum kamr, berzina dan lainnya, menggunakan hukum buatan manusia.

Padahal sudah jelas dan gamblang Allah telah memerintahkan dan mewajibkan untuk berislam kaffah (QS aL-Baqarah 208). Artinya Islam harus diterapkan secara menyeluruh baik oleh individu, masyarakatnya maupun negara

Sebagai kewajiban dalam Islam, khilafah tentu didasarkan pada sejumlah dalil syariah. Sebagaimana dimaklumi, jumhur ulama, khususnya ulama aswaja, menyepakati empat dalil syariah yakni: (1). Alquran; (2).as-sunnah; (3).  Ijma' sahabat; (4). Qiyas syar’iyyah.

Berkaitan dengan itu Imam Syafii menyatakan:

أَنَّ لَيْسَ لاَحَدٍ أَبَدًا أَنْ يَقُوْلَ فِي شَئْ حِلٌّ وَ لاَ حَرَمٌ إِلاَّ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةُ الْعِلْمِ الخَبَرُ فِي الْكِتَابِ أَوْ السُّنَةِ أَوْ الإِجْمَاعِ أَوْ الْقِيَاسِ

Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram,  kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (Alquran), as-sunnah, ijma' sahabat dan  qiyas.” (asy-Syafii, ar-Risâlah, hlm. 39).

Senada dengan itu, Imam al-Ghazali menyatakan:

وَجُمْلَةُ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ تَرْجِعُ إلَى أَلْفَاظِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ وَالِاسْتِنْبَاطِ

Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitab (Alquran), as-sunnah, ijma' sahabat dan istinbâth (qiyas).” (al-Ghazali, al-Mustashfâ, 2/273).

1. Dalil Alquran.

Dalil Alquran lainnya antara lain QS an-Nisa` (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Ad-Dumaji, al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda ahl as-sunnah wa al-jamâ’ah, hlm. 49).

Selain itu Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…” (TQS al-Baqarah [2]: 30).

Saat menafsirkan ayat di atas, imam al-Qurthubi menyatakan bahwa wajib atas kaum muslim untuk mengangkat seorang imam atau khalifah. Ia lalu menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah, red.) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm Alquran, 1/264).

2. Dalil as-Sunnah.

Di antaranya sabda Rasulullah Saw:

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib (ad-Dumaiji, al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda ahl as-sunnah wa al-jamâ’ah, hlm. 49).

3. Dalil Ijma' Sahabat

Telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun, “Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam syariah dari Ijma' Sahabat dan tabi’in.” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Ketahuilah pula bahwa para sahabat, semoga Allah meridhai mereka, telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting saat mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu, dengan menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah Saw.” (Ibnu Hajar al-Haitami, ash-Shawa’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Pada dasarnya para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang bertugas meri'ayah suun al ummah (pengaturan urusan umat) dengan hukum-hukum Allah. Khilafah pemersatu umat Islam seluruh dunia.

Sudah menjadi sunatullah sejak jaman Nabi Saw hingga kini, pasti ada individu-individu, kelompok-kelompok dan negara, sebagai penghalang dan penghadang tegaknya khilafah.

Karena itu tentu aneh bin ajaib jika pemerintah dan mereka yang dijuluki sebagai ulama dan pakar ketatanegaraan Islam ingin membuktikan bahwa khilafah bukan ajaran Islam. Lebih-lebih berani lancang menuduh khilafah mengancam negara. Ironis, hukum-hukum Allah masih dipilah dan dipilih, diambil sesuai hawa nafsu dan bahkan dicampakkan. Padahal mereka para penguasa  telah bersumpah diatas kepalanya dengan Asma Allah dan Alquran.
Mereka itulah golongan Abu Jahal dan Abu Lahab yang lebih senang menabuh genderang perang melawan Allah dan Rasulullah Saw.

Sangat jelas bahwa khilafah sebagai tajul furudh (mahkota kewajiban) hukumnya wajib ditegakkan bagi seluruh umat Islam. Dengan spirit Ramadhan marilah khilafah kita perjuangkan. Maha benar Allah dengan segala firmannya khilafah pasti tegak.

Wallahu 'alam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post