Sistem Pemilu Islam Jauh Lebih Baik



Oleh: Yanyan Supiyanti A.Md
Pengajar di Sekolah Tahfidz & Member Akademi Menulis Kreatif

Pemilihan pemimpin dalam demokrasi berbiaya mahal hingga mencapai anggaran Rp 25,58 triliun (Kemenkeu Pemilihan Umum/26/3/2019), rentan kecurangan dengan menghalalkan segala cara, bahkan menimbulkan korban, tercatat per 23 April 2019 sebanyak 119 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia setelah penyelenggaraan pemilu (CNN.com/24/4/2019). Pemimpin dalam demokrasi menerapkan aturan buatan manusia, memimpin secara berkala yakni selama 5 tahun maksimal 2 periode, dan menerapkan pembagian kekuasaan (trias politika produk Montesque).

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden dan kabinetnya, jika menganut sistem presidensil. Atau dipegang oleh perdana menteri dan kabinetnya, jika menganut sistem parlementer. Sedangkan kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen, dan yudikatif oleh lembaga kehakiman (peradilan). Namun, pembagian seperti ini tidak ada dalam negara khilafah. Karena itu, negara khilafah tidak mengenal parlemen model negara demokrasi, tetapi Majelis Umat, dengan fungsi yang berbeda dengan parlemen.

Parlemen dalam negara demokrasi berfungsi membuat Undang-Undang, mengangkat dan memberhentikan presiden (perdana menteri), serta fungsi check and balance. Adapun Majelis Umat dalam negara khilafah tidak mempunyai otoritas membuat Undang-Undang, karena otoritas ini sepenuhnya di tangan khalifah. Majelis Umat bisa mengangkat khalifah, tetapi tidak berhak memberhentikannya. Karena otoritas untuk memberhentikannya ada di tangan Mahkamah Madzhalim. Demikian juga fungsi check and balance, memang sepenuhnya di tangan Majelis Umat, namun pandangan mereka tidak selamanya mengikat.

Meski posisi Majelis Umat bukan sebagai legislatif, tetapi mereka tetap merupakan wakil rakyat. Anggota Majelis Umat yang muslim mempunyai hak syura dan masyura yaitu menyatakan pandangan tentang hukum syara', strategi, konsep dan aksi tertentu. Sedangkan nonmuslim mempunyai hak syakwa (komplain) tentang kesalahan pelaksanaan hukum Islam terhadap mereka, tentang kezaliman, tidak lebih dari itu. Karena itu, anggota Majelis Umat ini terdiri dari pria, wanita, muslim, dan nonmuslim. Sebagai wakil rakyat, maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Namun, harus mencerminkan dua hal yaitu pertama, sebagai pemimpin di dalam komunitasnya. Kedua sebagai representasi.

Pemilihan Majelis Umat didahului dengan pemilihan Majelis Wilayah, yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam Negara Khilafah. Mereka yang terpilih dalam Majelis Wilayah ini kemudian memilih anggota Majelis Umat di antara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Majelis Umat dipilih oleh Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi anggota Majelis Umat. Jika suaranya sama, maka bisa dipilih ulang. Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota Majelis Umat yang dibutuhkan. Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis Wilayah, karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa menetapkan masa jabatan mereka dalam UU pemilu, selama 5 tahun atau lebih, semua diserahkan kepada tabanni khalifah.

Pemilihan pemimpin dalam Islam melibatkan rakyat tapi bukan untuk menjalankan kehendak rakyat, tetapi dipilih untuk menerapkan hukum syara'. Khalifah dipilih oleh rakyat tetapi tidak bisa dipecat oleh rakyat, karena pemberhentian khalifah dilakukan oleh mahkamah madzhalim disebabkan pelanggaran hukum syara'.

Dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana khalifah meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Madzhalim atau dinyatakan batal kekuasaannya karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Madzhalim dan dinyatakan layak, karena memenuhi syarat: laki-laki, muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat. Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman 'Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar.

Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat ini. Baik Mahkamah Madzhalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Madzhalim dalam hal ini bertugas melakukan verifikasi calon-calon khalifah, tentang kelayakan mereka. Apakah mereka memenuhi syarat in'iqad di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan lolos oleh Mahkamah Madzhalim diserahkan kepada Majelis Umat. Selanjutnya Majelis Umat akan melakukan musyawarah untuk menapis (menyaring) mereka yang memenuhi kualifikasi. Pertama, hasil keputusan Majelis Umat akan menetapkan enam nama calon. Kedua, dari keenam calon itu kemudian digodok lagi hingga tinggal dua nama saja. Ini seperti yang dilakukan oleh 'Umar dengan menetapkan enam orang ahli syara', kemudian setelah itu mengerucut pada dua orang, yaitu 'Ali dan 'Utsman.

Pengangkatan khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi, maka khalifah bisa dibai'at dengan bai'at in'iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib membai'atnya dengan bai'at tha'ah.

Mekanisme di atas berlaku jika khalifah sudah ada, dan khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan berbeda jika khalifah belum ada seperti kondisi sekarang, maka solusi untuk mengangkat seorang khalifah tentu bukan melalui pemilu, karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan khilafah. Juga bukan metode untuk mengangkat khalifah. Namun, ini hanyalah uslub, bisa digunakan dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Islam telah menetapkan, bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku untuk mengangkat khalifah adalah bai'at. Meski dalam politiknya, bisa saja dengan menggunakan uslub pemilu.
  
Pemilu dalam negara khilafah jelas berbeda dengan pemilu dalam sistem demokrasi. Tujuan dan orientasinya pun berbeda. Hasilnya juga pasti berbeda. Islam nyatanya mempunyai sistem pemilu yang jauh lebih baik, ketimbang sistem pemilu yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi. Semuanya ini membuka mata kita, bahwa Islam adalah satu-satunya ideologi, yang mempunyai sistem yang sempurna. Karena Islam datang dari Allah Swt. Dzat yang Maha Sempurna dan Maha Tahu seluk beluk hamba-Nya.
Wallahu a'lam bishshawab.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post