Simtom Antikritik Menggurita

Penulis : Rismayanti Nurjannah

Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan menjadi peng – iya – an. Apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi. Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki menjadi marabahaya menjadi isi kebon binatang.

Sejarah kembali berulang. Rendra dengan judul sajaknya “Aku Tulis Pamflet ini”, seolah mengisahkan kondisi saat ini yang saat itu pun sebenarnya tengah terjadi. Pembungkaman suara kekritisan masyarakat. "Kita semakin melihat bentuk nyata dari rezim ini, mereka antidemokrasi. Anti terhadap suara-suara kritis. Penyebab utamanya karena rezim ini telah gagal membawa republik ini ke arah yang lebih baik. Sehingga cara-cara represif seperti inilah cara mereka untuk tetap berkuasa dan memenangkan Pemilu 2019," pungkas Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM), Bin Firman Tresnadi saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Senin (31/1).  

Akankah rezim ini mengembari Orde Baru? Dimana suara-suara kritis dibungkam telak oleh tangan-tangan besi. Tak peduli siapa yang bersuara, ia pasti dikebiri. Kini, giliran Ahmad Dhani yang tersandera. Ahmad Dhani dinilai melanggar pasal 45A Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Vonis hukuman satu tahun enam bulan diterima Ahmad Dhani. 

Sebelumnya, beberapa nama tercatut karena dianggap “menebar kebencian”. Alfian Tanjung, Jonru Ginting, dan sederet nama lainnya. Panik! Kepanikan pemerintah begitu kentara atas fenomena yang menggejala di masyarakat. Pemerintah cenderung mengambil langkah represif menanggapi kritik dan pendapat masyarakat tanpa ada klarifikasi dari pihak yang bersangkutan. Lambat laun rezim ini bergerak menjadi rezim yang antikritik. Rezim yang berjalan bukan karena asas keadlian, melainkan pelestarian gurita kekuasaan.

Rezim Hipokrit
Ade Armando, Viktor Laiskodat, Guntur Romli, serta sejumlah nama lainnya berbeda nasib dengan ADP. Mereka tak tersentuh hukum. Nama-nama yang dikenal sejalan dengan rezim, bahkan mendukung rezim terus menggurita seolah memiliki kekebalan hukum. Hukum pun dipolitisasi. Tebang pilih. Suka-suka rezim, selama tak mengancam kedudukan. 

Sikap hipokrit pemerintah kian tampak. Simtom antikritik kian terbuka. Langkah represif kian masif. Negara pun kehilangan identitas diri. Katanya demokrasi, menjunjung kebebasan berpendapat. Nyatanya, tangan besi yang kini berkuasa. Media masa dikooptasi, hukum dipolitisasi. Bukankah negara ini negara demokrasi?

Demokrasi, Lips Service Kekuasaan
Demokrasi dijajakan sebagai santapan lezat bagi masyarakat dalam bernegara. Sistem terbaik bagi masyarakat Indonesia, begitu katanya. Seolah tak ada pilihan lain yang lebih baik. Sistem yang senantiasa digadang-gadangkan dalam perhelatan akbar lima tahunan. Seakan menjadi “ide suci” yang harus ditakdiskan. 

Konsep demokrasi hanya dijajakan di altar perhitungan perpolitikan saja. Sebagai pemanis meraih tampuk kekuasaan. Faktanya, tak jarang pengampu negeri mengkhianati komoditasnya sendiri. Nyatanya ide demokrasi tak seindah realisasi. Bahkan, di negeri pengusungnya sekalipun, Amerika Serikat. 

Ide demokrasi berhasil membawa penduduk AS pada jurang kehancuran.  Di satu sisi, dengan konsep kebebasannya, negara ini hampir mengalami lost generation. Degradasi moral bak jamur di musim penghujan. Di sisi lain, diskriminasi terhadap penganut agama Islam begitu kentara. Bahkan, sering dijadikan tertuduh atas teror yang melanda.

Sebagai konsep yang lahir dari pemikiran manusia yang bersifat terbatas. Bahkan cenderung mengikuti standar kepentingannya, wajar demokrasi melahirkan kecacatan. Sepanjang penerapannya, tak ada ekses saat negara melanggarnya. Sebutlah AS yang paling kencang berteriak hak asasi manusia, tapi justru negara inilah yang paling sering melakukan pelanggaran.
Pun di Indonesia. Politisasi hukum menjadi hal lumrah, selama dapat melanggengkan dinastinya. 

Islam Memberikan Ekses Dunia Akhirat
Sebagai sebuah paradigma luhur dan juga wahyu yang diturunkan Sang Pencipta, Islam membentuk individu menjadi manusia bertakwa. Manusia-manusia yang takut akan pelanggaran hukum syara’. Hingga, amar makruf nahi munkar menjadi sebuah keharusan supaya manusia tetap berjalan sesuai dengan koridor syara’.

Amar makruf nahi munkar tak terbatas hanya pada rakyat biasa, tetapi juga untuk pemimpin negeri. Muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa) menjadi sebuah keharusan yang tidak boleh hilang dalam bernegara. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Kala itu, seorang sahabat Khudzaifah bin Al Yaman mendapati Umar dengan raut muka muram, penuh kesedihan. “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?” Jawaban Umar sama sekali tak terduga oleh Khudzaifah. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemunkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku melakukannya. Karena segan dan rasa hormatnya padaku.” Ujar Umar pelan.

Ketakwaan menjadi poin utama yang harus dimiliki seorang pemimpin. Sehingga pemimpin-pemimpin yang hadir di tengah-tengah masyarakat tidaklah antikritik, tetapi justru mengayomi supaya urusan masyarakat terpenuhi dengan sempurna. Sayangnya, sulit di era saat ini dimana ketakwaan menjadi nomor sekian. Bahkan mungkin tidak diperhitungkan dalam percaturan perpolitikan. Lain halnya dalam Islam, Islam menggariskan pemimpin bertakwa itu syarat utama. Namun, tak hanya sekadar pemimpin bertakwa, sistem bernegaranya pun harus berlandaskan syariat Islam, hingga ketakwaan itu menyelimuti seluruh penduduk negeri. Wallahu a’lam bi ash-shawab

Penulis adalah anggota Komunitas Revowriter Tangsel
Previous Post Next Post