Menteri PU :"Hak Pengawasan dan Pengelolaan Air Harus Ditangan Pemerintah"

Nn, Jakarta ~ Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa hak pengawasan dan pengelolaan air harus di tangan Negara. Hal tersebut akan ditunjukkan pada peraturan pemerintah (PP) tentang pengusahaan sumber daya air (SDA) yang akan dibentuk.

“Pada bulan April ini akan kami keluarkan PP pengusahaan SDA, PP ini akan merefleksikan 6 butir prinsip putusan MK,” tutur Basuki saat peluncuran buku “Tata Kelola Air di Paris” dan diskusi “Pengelolaan Air oleh Pemerintah Kota: Belajar dari Kesuksesan Paris” di gedung Kompas Gramedia (8/4).

Disebutkan bahwa pokok pengaturan dalam RPP tentang pengusahaan SDA adalah dasarpenyelenggaraan pengusahaan SDA, jenis-jenis pengusahaan SDA, perizinan, hak dan kewajiban pemegang izin, pengusahaan SDA yang meliputi satu wilayah sungai, pengawasan dan sanksi administratif.

Lebih lanjut, Basuki mengungkapkan target di 2015 ini adalah dibentuknya UU baru untuk pengelolaan air, agar lebih sesuai dengan kebutuhan saat ini, maka yang harus ditekankan adalah pembatasan campur tangan swasta/asing, namun juga tidak diharamkan.

Basuki menyatakan, pasca pembatalan UU No. 7/2004 diambil sebagai momentum untuk kembali kepada konsep bahwa sumber daya air harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun Basuki juga mengingatkan bahwa di Indonesia saat ini tidak semuanya diserahkan pada swasta.

“Success Story adalah PDAM Banjarmasin yang secara penuh berhasil dan sukses memberikan akses air bagi masyarakatnya,”tambah Basuki.

Basuki menganggap bahwa UU No. 7/2004 tersebut bukan merupakan UU yang buruk, namun juga tidak berarti putusan pembatalan dari MK juga salah, karena di butir putusan MK memperbolehkan peran swasta dengan izin yang lebih ketat.

“Kuncinya ada di perizinan, sebelumnya izin dianggap sebagai hak untuk kekuasaan bukan sebagai pengawasan, hal inilah yang harus dirubah,” tutur Basuki.

Seperti diketahui pasca pembatalan UU SDA No.7/2004 maka UU No.11/1974 kembali diberlakukan, UU tersebut dianggap masih belum cukup untuk mewakili kondisi terkini dalam hal pengelolaan air.

Untuk mengakomodir kondisi kekinian saat ini sedang dibuat dua PP yaitu PP Pengusahaan SDA dan PP Penyelenggaraan SPAM, 1 Raperpres tentang Dewan SDA, dan 1 Rakepres tentang pembentukan Dewan SDA Nasional, dan beberapa Rapermen, dengan menginduk pada UU No. 11/1974 tentang Pengairan beserta PP nya dan UU No. 23/2014 tentang pemerintah daerah.

Selanjutnya, terkait perjanjian kerjasama yang diterbitkan sebelum putusan MK, Basuki sudah meminta fatwa kepada Kementeriah Hukum dan HAM yang memutuskan bahwa perjanjian tersebut harus dilakukan renegosiasi kontrak atau evaluasi terhadap izin dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan 6 prinsip dalam putusan MK.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan dengan dicabutnya UU no. 7/2004, dan dikembalikannya kepada UU 11/1974 tidak berarti swasta tidak mungkin masuk.

“Namun masuknya swasta harus sangat diminimalisir, terlebih lagi jangan sampai memberikan kepada swasta yang itu-itu saja. Pemerintah harus percaya diri agar mampu memberikan penghematan-penghematan, jangan sampai terdapat biaya-biaya yang tidak perlu dikeluarkan jadi dikeluarkan  karena pihak swasta,” tutur Yenny.

Dengan dikembalikannya pengelolaan air kepada pemerintah, Yenny mengutip survey yang dilakukan oleh penerbit  Amarta, bahwa akan terdapat penghematan sampai Rp 700 Miliar.

“ Bukti keberhasilan Paris dalam mengelola air adalah penghematan sebesar 35 juta euro atau Rp 493,3 miliar, dan dana itu kembali ke pemerintah dan digunakan untuk pengembangan infrastruktur,” kata Yenny.

Sementara itu Penasihat Sekjen PBB untuk Bidang Air dan Sanitasi, David Boys mengatakan, sudah lebih dari 230 kota di dunia yang mengembalikan pengusahaan air kepada pemerintah setempat atau deprivatisasi air.

“Semakin banyak kota di dunia yang tidak puas dengan kerjasama swasta dan pemerintah, permasalahannya merupakan biaya yang tinggi, dan profit yang dihasilkan oleh swasta tidak memecahkan permasalahan akses, karena keuntungan tidak diperuntukan untuk peningkatan akses namun untuk profit swasta semata,” tutur David. rel/nrm
Previous Post Next Post