Oleh: Ummu Almahira
(Aktivis Muslimah)
Dalam episode kehidupan manusia, ada satu episode yang biasanya manusia ada dalam kondisi paling optimal, paling bersemangat dan paling produktif. Episode ini bernama episode "Pemuda". Tak heran, para pemuda menempati posisi pertama sebagai agent of change. Namun apa jadinya jika generasi pemuda kini beramai-ramai pamer gangguan mental (mental illness) di sosmed dengan diagnosis pribadi (self diagnosis)?
Mental Health and Mental Illness
Kesehatan mental (mental health) adalah salah satu isu yang menjadi perhatian di kalangan generasi muda. Media sosial para remaja pun dibanjiri dengan konten yang menunjukkan gangguan kesehatan mental (mental illness) yang mereka rasakan.
Cuplikan video remaja yang menunjukkan mental illness seolah menjadi hal yang dipamerkan di medsos, seperti menyakiti dirinya sendiri, memotong rambut pendek bagi perempuan, menangis di kamar yang gelap dan diiringi dengan lagu-lagu sedih. Terkadang mereka juga suka bercerita tentang penyebab mereka memiliki depresi.(Detik.com, 7/6/2022).
Celakanya, gangguan kesehatan mental yang mereka pamerkan adalah hasil diagnosis pribadi (self diagnosis), sehingga setiap mereka mengalami kesedihan atau kekecewaan, diartikan sebagai gangguan kesehatan mental. Padahal, untuk mengatakan seseorang memiliki gangguan mental harus melalui penilaian dari ahli, bukan self diagnosis!
Ketika generasi muda memamerkan gangguan mental justru membuat mereka jatuh ke pusaran negatif thinking, terpuruk, menderita, hingga semakin memperburuk fisik dan psikisnya. Hal ini pun berdampak buruk terhadap orang disekitarnya. Misalnya Sedih putus cinta, merasa dirinya stress dan depresi. Panik menghadapi sidang skripsi, dianggap sebagai kejadian traumatis. Beberapa kasus justru malah berujung bunuh diri akibat hiperbola dalam menyikapi sesuatu. Ya, sosok pemuda lambat laun berubah menjadi generasi berjiwa rapuh yang pandai membesar-besarkan masalah namun justru sulit mencari solusi hidup akibat tidak mengenal jati diri hakiki.
Self Healing
Fenomena mental illness menumbuhkan budaya self healing. Self healing ialah sebuah proses penyembuhan luka batin yang bisa mengganggu kondisi emosi seseorang, hingga generasi muda latah melakukan kegiatan senang-senang, foya-foya, hedonis dengan dalih “self-healing”. Maunya santai saja, yang penting dirinya bahagia demi menjaga kesehatan jiwa.
Kalau fenomena ini dibiarkan, lama-lama self-healing bisa bikin remaja Indonesia jadi selfish (egois). Seperti inilah hidup di era kapitalisme, lama-lama membuat para pemuda menjadi sosok egois yang menuntut untuk selalu dipahami tapi tidak peka dengan sekitarnya!
Para remaja pun latah menggunakan istilah-istilah yang sedang tren, seperti memiliki keluarga tidak harmonis yang mereka sebut dengan broken home, memiliki orang tua yang ketat dan terlalu kaku disebut strict parent, mengalami lingkungan yang buruk disekitarnya disebut toxic environment, menerima sedikit perkataan yang kejam dan melukai hati disebut verbally abuse, dan masih banyak istilah-istilah yang dipakai para remaja ini agar terlihat keren dalam menyampaikan betapa menderitanya mereka.
Saat usia remaja, seharusnya mereka bisa fokus belajar agar kelak menjadi individu yang bermanfaat bagi umat. Namun, alih-alih bermanfaat bagi diri dan keluarga, mereka malah serupa beban. Lihat saja fenomena generasi Z yang terkenal dengan sebutan “generasi stroberi”, psikis mereka begitu lemah dan rapuh. Jadilah mereka menjadi “generasi mental illness“.
Faktor Keluarga
Keluarga yang seharusnya menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya dan tempat ternyaman bagi seluruh anggota keluarganya. Nyatanya, fungsi rumah ini sudah sedemikian langka. Ibu yang seyogianya menjadi guru pertama bagi anak-anaknya dan orang yang memberikan limpahan kasih sayang, malah sibuk di luar rumah membantu ekonomi keluarga.
Para ayah yang seharusnya hadir menjadi teladan para anak-anaknya pun malah absen. Fungsi ayah dikerdilkan sebatas pencari nafkah yang pergi sebelum anak-anak bangun dan pulang setelah mereka tidur. Padahal, ayah turut bertanggung jawab terhadap pembentukan kepribadian anak-anak mereka.
Pola komunikasi yang buruk ditambah dangkalnya agama juga mengantarkan keluarga pada perceraian. Bukankah ini semua menjadi pintu menuju terganggunya mental si anak?
Faktor Sekolah
Faktor selanjutnya adalah sekolah. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat terbaik bagi anak-anak membangun kepribadiannya, malah menjadi tempat perundungan merajalela. Padahal, korban perundungan sangat rentan terkena gangguan mental.
Sistem pendidikan berasaskan sekularisme juga terbukti menjauhkan anak-anak dari agamanya. Sudahlah jam pelajaran agama hanya sedikit, ditambah dengan program moderasi yang terus ditancapkan. Semua ini tentu dapat membuyarkan ajaran Islam yang sesungguhnya, padahal agama adalah pedoman hidup manusia.
Jika generasi sudah tidak mengenal agamanya, jangan heran jika mereka menjelma menjadi individu-individu labil yang tidak mengenal jati diri. Mereka tidak bisa memahami hakikat penciptaan ataupun tujuan hidupnya. Perjuangan yang harus mereka kejar pun menjadi samar. Bukankah ini pula yang menjadikan seseorang rentan terkena gangguan mental?
Lebih jauh lagi, generasi mental illness ini bisa menjelma menjadi sampah masyarakat. Terkena gangguan mental saat usia sekolah jelas berdampak pada proses pembelajaran. Alih-alih bergairah untuk belajar, mereka malah bersemangat untuk melakukan aktivitas nirfaedah, bahkan kemaksiatan, seperti pacaran, seks bebas, narkoba, dsb. Bukankah jika saat usia sekolahnya saja sudah begitu, tentu masa depannya akan lebih suram? Inilah sebab mereka mudah sekali menjadi sampah masyarakat.
Faktor Sosial
Sistem sosial yang disetir kapitalisme telah nyata menciptakan kerusakan pada manusia. Kehidupan liberal yang serba bebas menjadikan manusia merasa bisa berbuat semaunya. Tidak peduli perbuatannya menzalimi sekitar atau tidak, atas nama HAM, perbuatan itu akan terus dilakukan selama merasa puas dan bahagia.
Makna kebahagiaan ini pun hanya digantungkan pada kepuasan jasadi, merasa bebas berekspresi dalam semua hal. Bukankah ini pula yang akan mengantarkan pada terciptanya gangguan mental semacam bipolar disorder?
Selain itu, teknologi informasi yang disetir peradaban kapitalisme turut menciptakan penyakit gangguan mental anti-social personality disorder (ASPD). Lihat saja, betapa banyak remaja yang tidak peduli sekitar tersebab mengidap gangguan antisosial yang dipicu oleh kecanduan gawai.
Padahal, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Namun, kapitalisme merusak fitrah tersebut. Jika sudah begini, mereka hanya akan menjadi sampah bahkan predator yang siap melakukan onar.
Faktor Negara
Kondisi ekonomi kian terpuruk. Kesejahteraan masyarakat kian hilang. Para ayah makin sulit mencari kerja. Kaum perempuan pun dituntut membantu ekonomi keluarga hingga mengabaikan kewajiban utamanya di rumah.
Pendidikan di sekolah juga kian sekuler. Tatanan sosial makin rusak. Semua itu adalah konsekuensi diterapkannya kapitalisme dalam seluruh kehidupan, termasuk bernegara. Artinya, seluruh faktor yang mendukung terwujudnya gangguan mental di kalangan remaja sejatinya berpangkal dari penerapan kapitalisme.
Disadari atau tidak, kapitalisme telah menjadi platform penguasa dalam mengatur rakyatnya. Kebijakan yang ditetapkan dalam upaya menyelesaikan persoalan gangguan mental pada remaja nyatanya mandul karena tidak menyentuh akar persoalan.
Kebijakan menghadirkan bimbingan konseling di sekolah-sekolah, misalnya, tentu tidak akan efektif. Ibarat kebakaran hutan, bimbingan konseling serupa air dari selang yang sangat kecil, tentu tidak akan mampu memadamkan api.
Kapitalisme ibarat api tersebut yang telanjur merusak seluruh sendi kehidupan, termasuk menciptakan gangguan mental pada generasi. Oleh karenanya, satu-satunya solusi adalah mencabut kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam.
Islam Menyelesaikan Gangguan Mental
Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki aturan yang dapat menyelesaikan permasalahan generasi, termasuk gangguan mental. Penyakit ini sebetulnya lahir dari peradaban Barat yang memiliki pandangan sekuler kapitalisme.
Akan tetapi, berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki gambaran ideal mengenai karakter pemuda. Dalam Islam, pemuda tidak akan mengalami gangguan mental sebab sedari buaian ia kenyang akan kasih sayang orang tuanya. Sang ibu akan benar-benar menjalankan fungsinya sebagai ummun warabbatul bait. Ia akan serius mengurus anak-anaknya dan menjadikan rumah seolah baiti jannati. Artinya, dari rumahlah kebahagiaan dan ketakwaan akan disemai oleh seluruh anggota keluarga.
Anak yang kenyang akan kasih sayang dan dididik dari ibu yang bersungguh-sungguh dalam pengasuhan, tentu akan menjadi kuat, stabil, dan bermental baja. Ini karena ia akan fokus pada tujuan dari hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah Taala.
Pendidikan di sekolah pun berbasiskan akidah Islam yang akan melahirkan pemuda cerdas bersyahsiah Islam. Sedari dini, ia menimba ilmu tanpa direcoki dengan “gangguan mental”. Ia akan fokus belajar dan mendalami ajaran agamanya sebagai bekal hidup dan menjadi sebaik-sebaiknya manusia, yaitu yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
Sistem sosial budaya Islam yang khas, yaitu budaya amar makruf, akan menjadikan setiap individu saling memperhatikan sesamanya. Perundungan tidak akan marak sebab semua anak paham bahwa menyakiti sesamanya adalah dosa besar.
Begitu pun sistem informasi yang berkembang, dikontrol penuh oleh negara sebab fungsi media adalah wasilah siar Islam yang akan makin menumbuhkan suasana keimanan di tengah masyarakat.
Negara sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya juga akan sigap terhadap seluruh permasalahan. Ia akan mengkaji secara bersungguh-sungguh atas problem rakyatnya, kemudian menetapkan kebijakan yang fokus pada penyelesaian masalah dan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunah.
Khatimah
Sesungguhnya, gangguan mental lahir dari peradaban sekuler kapitalisme. Peradaban Ini menjauhkan manusia dari agamanya sehingga menyebabkan seseorang, termasuk remaja, kehilangan jati dirinya sebagai muslim yang tidak memahami hakikat penciptaan.
Oleh sebab itu, menyelesaikannya haruslah dengan mencabut mesinnya, yaitu kapitalisme, lalu menggantinya dengan sistem kehidupan Islam yang jika diterapkan secara kafah akan memberi keberkahan bagi kehidupan umat manusia.