Pajak “Anak Emas” Pendapatan Negara



Oleh Sitti Hadijah 
(Pendidik dan Pegiat Literasi)

Wacana revisi peraturan perpajakan di negeri ini kembali menuai pro dan kontra. Setelah ramai pembicaraan mengenai pemberlakukan NIK sebagai NPWP, kini pemerintah kembali membuat masyarakat ‘gaduh’ dengan wacana kenaikan tarif PPN.

 Sebagaimana dilansir dari kompas.com (07/10/21), pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April tahun 2022 mendatang. Kedua kebijakan ini merupakan buah dari UU Harmonisasi Perpajakan yang digodok oleh pemerintah. UU HPP sendiri dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian. Serta mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, perluasan basis perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela WP (kompas.com, 10/10/21).

Sektor pajak akhir-akhir ini nampaknya menjadi sumber yang terus digenjot oleh pemerintah dalam menaikkan pendapatan negara. Hal ini dapat dilihat dengan begitu rutin dan cepatnya pemerintah merevisi dan membahas serta menghasilkan kebijakan-kebijakan terkait perpajakan dalam beberapa waktu terakhir ini. Masyarakat tentu tidak lupa dengan wacana pengenaan pajak pada sembako dan pendidikan yang sempat diperbincangkan beberapa waktu yang lalu. 

Meskipun wacana tersebut belum terealisasi, namun hal ini cukup untuk membuat masyarakat ‘gaduh’. Bukan saja karena tarif maupun JKP/BKP yang akan dikenakan pajak, namun juga karena kondisi masyarakat yang masih terus bertahan di tengah kondisi pandemi, membuat kebijakan ini bagai ‘tangga yang menimpa masyarakat di saat mereka sudah jatuh.’

Sistem ekonomi yang saat ini diterapkan di negeri ini memang menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang vital. Selain hibah dan penerimaan negara bukan pajak. Berdasarkan hal ini, pernahkah terpikirkan oleh kita, mengapa pemerintah terus memaksimalisasi pajak untuk meningkatkan pendapatan negara? Bukankah ada sektor lain yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi negara tanpa harus terus ‘menekan’ rakyat lewat kebijakan perpajakan yang diterapkan? 

Jika merinci pos penerimaan bukan pajak pemerintah Indonesia, penerimaan sumber daya alam merupakan salah satu pos yang menjadi sumber pendapatan negara, baik sektor migas maupun nonmigas. Melihat potensi SDA Indonesia yang begitu melimpah, harusnya pos ini dapat dimaksimalkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan pendapatan negara. Lantas mengapa pemerintah tidak memaksimalisasi sektor ini untuk meningkatkan pendapatan negara? 

Nampaknya, hal ini sudah bisa dijawab oleh siapapun yang paham akan pengelolaan SDA di negeri ini. Pengelolaan SDA di negeri ini sudah tidak sepenuhnya dimiliki oleh negara dimana sebagian besar dikelola oleh pihak asing. Oleh karena itu, berharap meningkatkan pendapatan dari sektor ini adalah hal yang cukup rumit bagi pemerintah. Namun, rumit bukan berarti tidak bisa dilakukan bukan?

Jika pemerintah bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya melayani rakyat, harusnya hal ini dapat dilakukan. Adapun langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengeksekusi hal ini adalah dengan menerapkan sistem ekonomi islam yang sesungguhnya terutama dalam hal pengaturan kepemilikan dan pengelolaan SDA. Dalam sistem Islam, pengelolaan SDA tidak boleh diserahkan kepada individu. Pihak yang berhak mengelola SDA sepenuhnya adalah negara dengan memaksimalisasikannya dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat. Adapun pajak (dharibah) hanya dikenakan pada kondisi di baitul maal (kas negara) tidak ada uang/harta. Pengenaannya pun hanya diberlakukan atas mereka yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkapnya secara sempurna.

 Penerapan pajak ini diberlakukan jika pendapatan tetap baitul maal tidak mencukupi untuk menutupi pembiayaan wajib baitul maal, baik untuk berbagai kebutuhan maupun pos-pos pengeluaran lain yang harus dipenuhi. Pemberlakuan pajak dibatasi hanya sampai kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan tersebut telah tertutupi.

Dalam sistem Islam, negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan atau untuk pungutan dalam urusan administrasi negara. Pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat -suratnya, gedung-gedung, timbangan (atas barang-barang dagangan) juga tidak boleh diberlakukan. Jika negara memberlakukannya apalagi mewajibkannya, berarti negara telah berlaku zalim sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai.” (HR. Ahmad, ad-Darami dan Abu Ubaid)”. 

Melihat kemampuan pemerintah dalam merumuskan berbagai kebijakan dalam beberapa waktu terakhir ini, harusnya mekanisme seperti ini bukanlah hal yang mustahil untuk dikaji dan diterapkan di negeri ini. ‘Alat’ dan ‘bahan’ telah tersedia dimana-mana. Lantas, maukah pemerintah mengambil dan meramunya menjadi sebuah kebijakan dalam rangka menyejahterakan rakyatnya? Semoga.
Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post