Krisis Afghanistan: Munculkan Narasi Buruk tentang Nasib Perempuan

Oleh: Eva Erfiana, S.S

 

Untuk kedua kalinya, Afghanistan diambil alih kembali oleh Taliban. Dalam pengambilalihan ini artinya ada negosiasi, bahkan disebutkan sampai ada 9 ronde. Seperti salah satunya di Doha, Qatar membicarakan tentang perdebatan antara Amerika Serikat (AS) dan Taliban. Poin yang paling menonjol dalam perjanjian Doha seperti yang diterbitkan oleh BBC News, disebutkan AS akan menarik pasukan mereka dari Afghanistan dalam waktu 14 bulan.

Pengumuman tersebut disampaikan dalam pernyataan bersama antara AS dan Afghanistan dan dikeluarkan di Kabul. Kemudian pada 15 Agustus 2021, Taliban sepenuhnya mengepung ibu kota Kabul. Hal itu membuat kedutaan besar AS dan Inggris mengevakuasi para pejabat dan staf lokal yang takut akan pembalasan dari Taliban. Setelah itu Taliban memasuki Kabul dan menduduki istana presiden yang ditinggalkan oleh presiden sebelumnya.

Dari peristiwa yang terjadi di Afghanistan, muncullah berbagai pengakuan yang diangkat  berbagai media, baik internasional atau lokal terkait pengakuan para perempuan yang khawatir terhadap hak-haknya. Salah satu aktivis perempuan yang terkemukan, yakni Zarifa Ghofari, pada Senin, 23 Agustus 2021, dia melakukan berbagai upaya untuk sampai di Airport. Ia mengatakan betapa mengerikannya kondisi di Afghanistan.

Zarifa adalah walikota perempuan di Afghanistan yang akhirnya melarikan diri ke Jerman. Di Jerman ia di terima bukan sebagai pengungsi tapi justru diberikan keistimewaan. Dari situlan kemudian ceritanya dibesarkan oleh media Jerman dan disuarakan secara luas oleh media-media lokal termasuk di Indonesia yang menyuarakan berkaitan dengan ketakutan para perempuan.

Beberapa media Internasional yang menyuarakan berkaitan tentang ketakutan para perempuan yakni: Pertama, Swiss Info, pada 27 Agustus 2021 menuliskan artikel yang berjudul Perempuan Afghanistan Menghadapi Masa Depan yang Tidak Pasti.

Kedua, BBC Online, pada 21 Agustus 2021 memberikan headline perempuan Afghanistan ketakutan, keputusasaan dan sedikit harapan di bawah kekuasaan Taliban. BBC juga melakukan wawancara eksklusif dengan feminis Pakistan Malala Yousafzai. Malala meminta presiden AS mengambil langkah berani melalui rakyat Afghanistan. Dia juga mengirim surat kepada perdana menteri Pakistan Karan Khan agar menerima pengungsi Afghanistan dan anak-anak untuk memberi akses pendidikan, keselamatan dan perlindungan.

Ketiga, CNN memberitakan Taliban mengatakan perempuan Afghanistan untuk tetap di rumah selama bekerja, karena tentara tidak dilatih untuk menghargai mereka para wanita.

Keempat, Voice of Amerika, pada 27 Agustus menuliskan aktivis hak perempuan mendesak AS untuk tidak melupakan Afghanistan. Disebutkan lebih dari 10 hari setelah pengambilalihan Taliban. Siraj pendiri jaringan wanita Afghanistan tetap berada di Kabul dan hari itu dia sama kritisnya dengan penanganan administrasi baik dalam penarikan terhadap penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan, karena dia khawatir tentang hak-hak perempuan di bawah Taliban.

Narasi-narasi media Internasional ini mengarah pada nasib buruk yang mengancam perempuan Afghanistan yang dikaitkan dengan penerapan syariat Islam oleh pemerintahan Taliban dengan opini syariat Islam mengekang hak-hak perempuan. Sementara Taliban merespon mereka akan memberi porsi yang besar pada perempuan di dalam pemerintahan.

Kelemahan dan performa Taliban akan selalu jadi makanan bagi media-media dan wajar jika yang diangkat sosok-sosok perempuan, karena Taliban memberikan warisan trauma yang cukup dalam, dalam memori publik tentang bagaimana perlakuan perempuan yang sangat dikekang.

Begitulah upaya musuh-musuh Islam dalam mempropagandakan Islam. Mereka menggunakan standar ganda bagi Islam. Mereka mencari kesalahan-kesalahan pada setiap Muslim yang berusaha menerapkan syariat Islam secara praktis. Mereka lupa, di negeri mereka sendiri sebenarnya mungkin setiap menit terjadi pemerkosaan, kekerasan terhadap perempuan, kriminalisasi, pelecehan seksual di ruang publik maupun di domestiknya.

Syariat Islam adalah seruan Allah dengan perbuatan manusia. Dalam syariat Islam, perempuan sangatlah dimuliakan. Islam memandang perempuan dengan penuh kemuliaan, karena perempuan adalah kemuliaan yang harus dijaga. Jadi bukan dihinakan, bukan di intimidasi atau seperti fakta-fakta yang beredar bahwa syariat Islam itu mendiskriminasi, mengancam hak-hak perempuan. Jadi syariat Islam itu harus digali dari nash-nash syari.

Islam bukan hanya tentang konsep atau fikrah. Dalam Islam ada fikrah dan thariqah atau metode. Ada keyakinan dan ada amalan. Jadi dua hal itu harus dipadukan, baru dikatakan itu Islam. Ketika diklaim ini adalah negara Islam yang menerapkan syariat Islam, maka harus dilihat bagaimana konsepnya. Benar tidaknya konsep tersebut digali dari sumber-sumber nash syari. Kemudian konsep yang sudah digali itu dilaksanakan dengan metodenya atau thariqahnya.

Karena tidak cukup hanya klaim sebagai konsep Islam tapi penerapannya mengambil dengan demokrasi atau bahkan boleh jadi thariqahnya ada pengaruh dari komunis sosialis. Jadi harus dipahami betul-betul sehingga kita tidak terjebak klaim, tidak terjebak dengan pengakuan semata, tapi tidak boleh juga bersuudzan. Kita harus proposional, harus objektif. Jadi dilihat dari nash-nashnya, dilihat dari fikrah dan thariqahnya bahwa Islam itu tidak boleh dicampur aduk, karena Islam mempunya aturan sendiri.[]

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post